Mentari pagi menyapa gedung-gedung tinggi di depanku. Lalu lalang kendaraan pribadi seolah-olah menjadi ciri khas di kota ini. Semilir angin menyeruak memainkan rambut, tentu itu terasa geli. Setiap kali kakiku melangkah terdengar suara "clup", itu karena jalanan ini basah oleh air hujan semalam.
Pagi ini aku bisa mencium aroma kesukaanku, aroma hujan. Entahlah aku tidak bisa mendefinisikan bagaimana rasanya. Aku selalu suka dengan sesuatu yang berbau hujan.
"Hai Rain!"
Aku melambaikan tangan saat sapaan lembut terdengar di telingaku. Itu Nenek Fala."Astaga Rain, pakaian itu yang selalu kulihat" Aku menanggapinya dengan tertawa.
Ya, hoodie ungu dengan bawahan biru. Aku suka itu.
Aku kembali berjalan dan menikmati suasana pagi hari. Hingga akhirnya kegiatanku terhenti oleh cipratan air hujan dari kubangan jalan. Baiklah, tidak semua yang bersangkut paut dengan hujan aku menyukainya.
Hei! Lihatlah lelaki itu, berdiri di sana menatapku sambil menahan tawa.
"Aku suka pakaianmu, bercorak kubangan jalan"
Ingin rasa melempar lelaki itu dengan sepatuku."Namaku Maheta, panggil saja Heta"
Apa peduliku, siapa dia? Kenal saja tidak
"Sungguh,wajahmu yang terlipat seperti itu membuat perutku terguncang"
Sial! Tidak bisakah Heta pergi dari hadapnku sekarang.
"Baiklah aku akan pergi, dadah gadis kubangan jalan"
Sekarang juga ingin sekali menendang perut lelaki itu. Untung saja Heta berlalu pergi, tidak usah repot-repot menendangnya sungguhan.
Gerimis mulai membasahiku, itu bukan masalah. Masalahku sekarang adalah kenangan demi kenangan itu terus menghantamku. Aku terduduk sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Sepertinya hujan tahu apa yang kurasakan saat ini.
°°°°
Malam hari yang menyenangkan bersama keluarga kecil ini. Di hadapanku ada Papa dan Mama yang sedang bertarung dengan sendoknya masing-masing.
Di sini aku bisa mendengar suara gemericik air hujan. Bahkan jika dicermati dengan baik, suara gemericik air hujan akan berubah menjadi irama-irama yang membuatku merasa ingin terbang. Terbang dan memetik lintang di sana.
Aku merasakannya, tidak tahu apakah semua orang bisa merasakannya. Atau jangan-jangan hanya aku seorang?
Jika memang ada yang bisa melakukannya selain aku, pasti orang itu sangat beruntung."Rain, bagaimana sekolahmu? Kamu tidak sengaja merobek kertas ulangamu lagi bukan"
"Sudahlah Pa, nanti wajah Raina bisa berubah seprti kepiting sedang berjemur"
"Ma, Pa!" Benar kata Mama, pasti detik ini juga wajahku terlihat seperti yang Mama bilang.---Semu-semu-merah---
"Tuhkan apa kata Mama"
Seperti biasa selesai makan malam atau sarapan pagi Papa akan membahas hal-hal menakjubkan.
Papa, ia selalu bisa mencari topik yang menarik untuk dibahas. Bahkan pernah, saking menarik dan serunya membahas banyak hal bersama Papa aku lupa akan sekolahku.
"Rain, kamu membuat Papa malu saja. Lupakan kejadian itu"
Aku dan Mama tertawa melihat wajah Papa yang tampak kusut, tapi terlihat lucu di mataku dan Mama.
"Rain, kali ini Papa akan membahas tentang hujan"
Semangatku bergejolak mendengar kata "hujan". Ingat! Aku suka dengan hujan.
"Kalian bisa mendengar suara gemericik air hujan di luar sana?" Tanya Papa antusias.
Aku dan Mama mengangguk.
"Coba tebak apa yang bisa kalian dapatkan selain suara gemericik air hujan?"
"Suara jangkrik" jawab Mama asal yang membuatku tertawa dan juga Papa.
"Lihatlah Rain, Mamamu selalu tidak bisa diajak serius"
Aku hanya mengangguk lalu kembali memikirkan pertanyaan Papa, itu pertanyaan mudah kenapa aku tidak terpikirkan sejak tadi.
"Selain gemericik air hujan, ada sebuah irama-irama yang tersembunyi di balik hujan. Teratur, saling melengkapi, dan menyatu. Irama-irama itu tentu membuat orang yang mendengarkannya merasa ia memiliki sebuah keberuntungan"
"Keberuntungan yang membuatnya tak bisa mengutarakan apa-apa"
"Boleh jadi, lihat Ma anak kita"
"Tadinya jawaban Mama juga seperti Itu"
Kami kembali tertawa, sepotong namun berharga. Aku menyebutnya seperti itu. Walau hanya terjadi sesaat tetapi sangat berarti.
°°°°
Aku kembali menutup wajahku dalam-dalam, kenapa kenangan-kenangan itu selalu muncul? Aku masih ingat jelas semua detail kenangan-kenangan bersama Papa, Mama, dan juga Heta. Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan Heta, sebenarnya Heta adalah seorang yang baik bahkan sifatnya hampir mirip dengan Papa.
Lupakan, itu hanya sebuah kenangan. Aku menatap nanar gundukan tanah didepanku. Semua orang berpakaian hitam mengelilingi gundukan tanah itu, aku kembali menangis.
Bagaimana bisa?
Persis di samping kananku Mama dan Papa terus meneriaki nama ku berkali-kali sambil terisak. Aku sudah berusaha mencoba menggapai tangan Mama tetapi itu sia-sia.
Aku hanya bisa menangis, tidak ada yang bisa melihatku! mengerikan.
Setengah jam berlalu kerumunan orang berpakaian hitam berlalu pergi sambil mengangkat payung tinggi-tinggi agar tidak terkena hujan. Mama dan Papa? Mereka masih terisak.Aku mengamati nama di nisan tersebut, aku tahu itu namaku. Sudah berkali-kali aku melihatnya kembali tetap saja, tidak berubah. Di nisan tersebut tertulis namaku dengan jelas.
"Waktunya kita pulang"
Sebuah tepukan tangan mendarat di pundakku, itu terasa hangat. Seolah-olah ada sebuah energi yang ia salurkan.
"Apa yang kamu tunggu lagi, kita harus pulang"
"Bagaimana dengan Mama, Papa, Heta, dan yang lainnya?"
"Sudahlah, Ia lebih menyayangimu. Ia ingin kamu pulang"
Aku mengangguk lalu bergegas pergi bersamanya. Meninggalakn Mama, Papa, dan gundukan tanah itu. Aku rasa setelah ini Heta akan merasa kesal. Aku tidak ada disisinya lagi mulai detik ini. Yeah, pasti tidak ada orang yang bisa ia ganggu. Mama, Papa, teman, semuanya ada di bawah sana. Mereka bersama-sama, jadi tidak ada yang kesepian.
Begitu juga denganku, aku tidak akan merasa kesepian. Nenek, kakek, akan menjagaku jika sudah sampai tujuan nanti.
Sampai jumpa.
°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah dari Hujan
Short StoryHujan. Rintik. Hukum alam? Langit tahu sudah waktunya. Embun pagi tahu sudah waktunya. Jadi, apa yang harus ditakuti? Tidak ada. Ini urusan hujan. Hujan selalu membawa semua kenangan-kenangan itu. Kenangan dari dahulu sampai sekarang. Kenangan-kenan...