Duapuluh

8K 899 239
                                    

Hari demi hari telah terlewati memasuki waktu dimana hari sudah bisa dikatakan minggu. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu atau bisa dibilang satu bulan. Total sudah dua bulan lebih 2 minggu keadaan Namjoon berantakan. Namjoon kacau.

Sesekali Namjoon harus digantikan oleh orang kepercayaannya di kantor karena dirinya yang dalam keadaan tidak maksimal. Selain pekerjaan yang kacau pola tidur Namjoon pun kacau. Dia sulit tidur yang membuat keadaannya semakin parah. Badannya menjadi kurus karena bobot tubuhnya yang semakin menurun. Namjoon memang tidak sakit secara fisik namun sakit secara psikologis. Itu sama parahnya atau bisa dibilang lebih parah.

Malam hari setelah membersihkan diri serta menggunakan piyama, Namjoon merebahkan diri di atas ranjang luas nan empuk miliknya yang terasa kosong. Dengan posisi tengkurap, kepala menengok ke kanan dan mata terpejam, Namjoon berusaha menenagkan dirinya yang kacau. Namjoon sadar sejak si kecil lahir keadaannya benar-benar berantakan. Dia tidak menyalahkan si kecil lahir. Mana mungkin dia menyalahkan si kecil kala dia mencintai si kecil begitu besar dibandingkan mencintai dirinya sendiri. Dia menyalahkan dirinya yang tidak bisa berbuat apapun selain pasrah yang membuat dirinya sendiri berantakan.

Baginya tidur adalah hal yang mewah baginya karena sudah lebih dari dua bulan pola tidurnya terganggu atau bahkan dia tidak tidur sama sekali. Dan akhirnya Namjoon tertidur.

Detik jam terdengar di kamar ini namun tak lama setelah keheningan yang hanya di isi oleh suara detikan jam terganggu oleh suara tangisan bayi. Tangisan bayi yang begitu kuat sampai membuat Namjoon yang tidur bangun.

Bayi itu menangis begitu kuat sampai membuat mukanya yang putih menjadi merah. Dengan mata setengah terpejam, Namjoon memaksa dirinya untuk bangun. Namjoon mengendong bayi tersebut; menimang ke kanan dan kiri membuat bayi itu agar berhenti menangis. Bayi itu menyandar di dada Namjoon dan terus menangis.

Matanya terpejam, tangannya menepuk pantat si bayi dengan bibir bergumam pelan menyanyikan sebuah lagu bersuara lirih. Dia ingat ibunya selalu bilang bayi itu kalau menangis kalau tidak lapar ta berarti buang air entah itu buang air besar atau kecil.

Matanya terbuka, menatap si bayi yang masih menangis walau tidak separah tadi.

"Kau lapar?"

Namjoon di jawab oleh tangisan.

"Atau kau kencing dan poop?"

Namjoon kembali menaruh bayinya di atas ranjang, memeriksa keadaan popok si bayi. Kering. Tidak ada masalah dengan buang air. Namjoon kembali mengendong bayinya.

"Seperinya kau lapar. Ayo daddy buatkan susu." Dengan bayi di gendongannya Namjoon keluar dari kamar untuk ke bawah, dapur untuk membuat susu.

Bayi itu perlahan berhenti menangis dan beralih nengeluarkan suara bayi.

"Iya, kenapa?" Tanya Namjoon dengan langkah hati-hati menuruni tangga.

Bayi itu masih mengoceh dengan suara bayinya. Gemas dengan sang bayi, Namjoon mengangkatnya sedikit dan mencium pipi gembil bayinya. Bayinya ini memiliki mata seperti Seokjin, hidung bangir seperti Seokjin namun bibir seperti Namjoon. Memang separuh lebih gen Seokjin diwarisi anaknya namun Namjoon bangga bibir bayinya seperti miliknya.

Sesampainya di dapur, Namjoon menyalakan lampu dapur. Masih dengan menggendong bayinya, Namjoon kepayahan membuat susu. Suasana dapur tidak terlalu sepi karena bayinya ini terus mengoceh.

"Iya, kamu lapar kan? Sebentar daddy kesusahan membuat susu karena menggendongmu, bayi," Namjoon menatap mata sang anak yang selalu mengingatkannya dengan Seokjin.

Mata anak itu mengedip lalu tersenyum.

"Dih senyam-senyum."

Bayi itu mengoceh lagi. Namjoon benar-benar kesusahan membuat susu anaknya.

Be(lie)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang