Chapter 2 - Selembar kertas itu kau remuk

34 7 2
                                    

Pernah mendengar konspirasi semesta? Well, aku pernah beberapa kali membaca buku tentang betapa baik juga menyebalkannya semesta mempertemukan sepasang anak adam atas nama kebetulan. Kadang menghancurkan luapan harapan sebab semesta terbiasa bermain-main dengan perasaan manusia. Itulah tugasnya, itulah yang dimauinya.

Kendati aku membenci sebuah kebetulan, nyatanya aku juga tidak bisa menampik uluran tangan semesta, menolaknya mentah-mentah seperti ungkapan hati yang kusimpan selalu. Kukira aku tidak akan tertipu, tidak. Tidak.

Sekarang aku salah paham dengan perasaanku sendiri.

Sore ini, aku berterimakasih kepada semesta yang menangis, menurunkan bulir-bulir bening semenjak selama beberapa minggu atap rumahku dirundung panas yang menyengar bak sengatan lebah. Kau juga lebih tahu daripada ranting kering itu, bahwa Kim Taehyung akan kembali keluar saat hujan menyelesaikan urusan marahnya dengan dataran kota kecil Greenland.

Aku melukis sesuatu didalam kamar, mulai melompat girang seperti anak kecil yang menang lotere dan membawa kaki keluar rumah dengan suka cita. Warna-warna luntur dari telapak tangan, meluruh berwarna pelangi tepat dibawah kakiku. Aku tidak mempunyai waktu mengganti baju dan membersihkan diri. Lebih memilih melompat pagar dengan bar-bar sembari mengetuk pintu kayu berwarna kecokelatan milik Kim Taehyung.

Kepalanya mengintip, mendadak terkejut mendapati presensiku yang terlihat seperti seorang pelukis gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Bajuku hanyalah kain besar yang menutupi sampai paha, berwarna putih berhiaskan cat warna yang telah luntur. Rambutku lepek terkena air, kemarin kuwarnai menjadi ungu—seperti warna permen karet—juga celana pendek ketat menampilkan kaki jenjang yang terhiaskan bulu-bulu halus.

Aku lupa mencukur di hari sabtu, juga lupa bahwa tangan yang kupakai untuk menariknya terlalu kotor dengan warna. Aku hanya tau bertingkah sinting dan terus-terusan melanggar norma kesopanan dengan mengajaknya paksa menyelami rintikan dari kesedihan semesta.

Sore ini aku ingin meneguhkan hatiku, menikmati pilu yang keluar secara kebetulan, dengan semesta yang mulai merencanakan sesuatu yang harus segera kutahu. Selain wajah kaku yang tersemat, Kim Taehyung tidak melepaskan genggaman itu barang sedikitpun. Lebih erat, semakin erat. Seolah jika air itu menyentuhnya, ia bisa mencair seperti air. Melebur hancur diudara dengan aku sebagai pelakunya.

"Kamu bisa rasakan air asin ini?"

"Sangat buruk," ia membalas, kurenggangkan tautan tangan, menggodanya sementara Taehyung mengeratkan lagi sembati menatapku tanpa ekspresi. "Aku mau pulang,"

Ia terlihat tidak nyaman di bawah sini, dengan gestur memohon ia menatap wajahku. Aku tertegun beberapa saat, baru tersadar matanya sudah memerah. Pemuda ini menangis di tengah-tengah hujan, terlihat mengalir lambat diatas pipi. Aku benci sebab semesta terlalu jahat menurunkan air cabai. Warna merah dari langit.

Taehyung pasti menangis karena itu, bukan? Sebab, mataku juga basah.

***

Taehyung sudah lebih hangat, aku tidak mengijinkannya pulang kendati rumahnya hanya berjarak lima meter dari rumahku. Menahanan tetanggamu pulang lebih lama tentu tidak masalah, bukan?

Well, saat ini aku yang sedang mengeringkan rambut, melirik kearah Taehyung yang terlihat cocok memakai bajuku yang berwarna hitam. Celananya masih sama seperti yang tadi, sudah kering bersama selimut putihku yang melilit tubuhnya.

"Ambil ini," aku memberikannya selembar kertas dengan satu pena. Tidak bertanya apapun dan malah mengekoriku dengan tatapannya yang tajam.

"Jangan melihatku seperti itu," aku tertawa kecil, duduk diatas kursi kesayanganku yang berada tidak jauh darinya. Taehyung berada di tepi kasurku, sementara aku sedikit condong kearah jendela tempatku biasa mengintipinya seperti seorang psikopat.

"Untuk—apa?"

"Aku ingin kau melakukan sesuatu dengan kertas itu," aku menatapnya sekilas, tersenyum kalem bersama segaris warna hitam diatas kanvas. Kembali melanjutkan lukisan yang tertunda sebab hujan tadi. "Ungkapkan segala sesuatu diatasnya. Seperti rasa marahmu, atau ketakutan terbesarmu. Kau bisa lihat selembar kertas akan menjadi luar biasa hanya karena kau mengisinya. Lebih dari siapapun di dunia ini, aku harus menyelamimu lebih jauh."

Kim Taehyung tidak merespon, setengah lukisanku hampir selesai jika saja pemuda ini melemparkan sesuatu, berhenti tepat dibawah kakiku. Rematan kertas itu tidak terisi apapun. Penanya juga patah.

"Aku tidak tertarik," ia bangkit secara perlahan, mataku berkaca-kaca menahan tangis. Masih menggenggam kertas rematan itu, dadaku bertalu kencang sekali.

Tahu-tahu Kim Taehyung sudah berada di sebelahku, tersenyum penuh arti. "Apa ini aku?" ia bertanya dengan suara beratnya, aku membalas menganggukkan kepala. Secara perlahan dipenuhi kekecewaan yang luar biasa.

Aku hampir menyentuh wajahnya jika saja ia tidak menahan tanganku, menyisipkan kuas di jari-jarinya yang panjang, memoles warna pada kanvas dengan terburu-buru dan fokus.

Aku menanti harap-harap cemas, lukisan itu berubah disebelah kanan sisinya, berwarna ungu diselingi hitam dan merah jambu. Warna meluruh sebab Taehyung memoles dengan cepat, kuas terendam semua didalam cat air. Hijau dan abu-abu menyusul, lalu merah dan biru. Semua warna digunakan, sesekali ia mencuri-curi tatapan wajahku.

Tangan kirinya masih menggenggam, kekecewaanku hilang begitu saja ketika lukisan itu selesai, ditutup dengan tatapan lama dan isyarat untukku memalingkan wajah. Aku terkejut, Taehyung menambahkan titik hitam diatas pipi, menandakan itu adalah aku yang menyatu dengan dirinya didalam lukisan. Tahi lalat juga kutambahkan didalam potretnya, hampir terlewatkan. Di pucuk hidung, setitik tipis yang menggemaskan.

"Aku lebih tertarik menyelesaikan ini," ia bergumam, melepaskan cekalan, lalu melepaskan selimut yang bertengger di bahu.

Aku terdiam selama beberapa detik, pipiku kebas bukan main. Tidak ada yang lebih berharga dari Kim Taehyung yang mulai membuka diri. Ia bahkan memiliki jari-jari penuh magis, membuktikan bahwa Tuhan mungkin sedang dalam mood yang baik sewaktu meracik dirinya. Dan jari lentik itu, juga telapak tangannya yang lembut, adalah hal terakhir yang ingin kugenggam lagi sebelum aku mati.

"Aku harus pergi, ibuku akan pulang dalam lima belas menit,"

Aku ingin bertanya kenapa ia menambahkan diriku di sudut kosong kanvasnya? Kenapa? Perbedaan terjadi di sini, dengan aku yang hanya mencoretkan hitam dan abu-abu untuk potretnya, sementara Taehyung menggunakan seluruh warna untuk potretku. Bibir Taehyung segaris hitam yang tipis, bersama bibir merah mudaku yang terlihat manis disebelah miliknya.

Aku berteriak dari lantai atas, tidak tahu Taehyung dapat mendengar atau tidak. Hatiku berdegup malu-malu, pengharapan paling tinggi terasa mengawang di kepala.

Ini bukan karya seni semesta, ini karya seni Kim Taehyung.

"KIM TAEHYUNG, AYO KELUAR DAN BERMAIN!"

[]

Come Out, Kim TaehyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang