(25)

3.2K 314 27
                                    

"Ya terus masalahnya apa? Dia bahagia itu wajar, Julia berhak." Mau menikah terpaksa atau enggak, Julia memang harus bahagia, dia udah cukup menderita terus apa masalahnya? Juna jangan aneh-aneh dengan cara masalah di acara keluarganya sendiri.

"Kamu jadi orang jangan bodoh banget bisakan?" Juna ngatain gue?

"Kamu ngatain aku?" Gue salah apalagi sampai harus denger kata nggak enak keluar dari mulut Juna?

 "Enggak, aku ngatain semut lewat, denger ya Rana, memang nggak salah kalau dia bahagia tapi cara dia natap kamu meremehkan itu yang bikin aku nggak suka." Juna menjelaskan dengan tatapan sangat kesal sekarang.

"Memang dia natap aku gimana? Contohin coba? Aku nggak begitu perhatian tadi soalnya." Gue memang nggak sempat memperhatikan karena terlalu sibuk nahan air mata di depan Mas Zian tadi.

"Kamu ngajak aku ngelawak sekarang?" Lah? Kapan gue ngajak ngelawak, gue serius.

"Aku serius ini." Gue nggak lagi becanda, perempuan mana yang masih bisa fokus natap muka orang lain di saat dia harus berdiri dihadapan laki-laki yang beberapa minggu lalu masih menjadi calon suaminya?

"Parah banget memang." Menatap gue malas, Juna berjalan cepat ngambil posisi duduk di samping Mama tanpa banyak bicara lagi, gue sendiri yang memang nggak ngerasa ada yang salah juga ikut duduk.

Sesekali gue masih nyoba ngajak Juna bicara tapi responnya malah ngeselin, alhasil gue ikut mendiamkan Juna sepnajang acara, lagian udah tahu gue nggak paham, bukannya di jelasin baik-baik tapi malah ngatain gue seenak jidatnya begitu, siapa yang nggak bakalan ikut kesal coba?

"Kalian berdua kenapa lagi?" Tanya Kak Vanya yang memang mulai duduk lebih dekat di samping gue.

"Nggak tahu tu, lagi datang bulan kali, dari kemarin ngegas mulu kalau ngomong, dikit-dikit emosi, entah dimana salahnya aku juga nggak tahu." Jawab gue asal, ya lagian memang bener, dari kemarin Juna kerjaannya ngomelin gue mulu, kesannya apa aja yang gue lakuin itu salah, nggak pernah bener, yang bener cuma dia.

"Ck, kalian pengantin baru tapi kelakuan nggak ada manis-manisnya." Kak Vanya menertawakan.

"Kakak kenapa malah ketawa? Beneran nggak ada yang lucu Kak, lagian kenapa kata pengantin baru jadi Kakak bawa-bawa? Kan Kakak tahu sendiri hubungan aku sama Juna itu gimana? Juna nggak punya perasaan apapun sama aku." Gue nggak mau berharap apapun karena gue sadar, Juna bersedia menikahi gue karena apa.

Juna setuju menikah karena itu permintaan Mama untuk terakhir kalinya, Mama mau mastiin kalau ada yang akan ngejagain gue setelah Mama nggak ada, Mama mau memastikan kalau gue beneran punya anggota keluarga baru yang bisa dia percaya dan saat itu, cuma Juna orangnya.

Tapi walaupun Juna bersedia menikah tapi gue juga tahu pasti hati dan perasaan Juna untuk siapa, rasa sayang dan cinta Juna cuma untuk Dewi, gue nggak akan mengabaikan hal itu jadi gue memang nggak berencana memaksa Juna untuk bertahan terlalu lama bersama gue, gue akan membiarkan Juna memilih kebahagiaannya sendiri.

"Kata siapa Juna nggak punya perasaan apapun sam kamu? Kamu denger dari siapa, Dek?" Kak Vanya semakin memperlihatkan senyumannya dengan jelas, ya gue nggak perlu denger kalimat kaya gitu dari siapapun karena gue sendiri cukup tahu dan cukup paham juga.

"Kakak nggak usah nanya kaya gitu, Kakak sendiri tahu pasti perasaan Juna itu untuk siapakan? Masih Dewi orangnya dan aku rasa akan selalu Dewi." Kalau Juna bisa melupakan Dewi, dia udah merelakan Dewi sejak lama tapi buktinya apa, dia masih bertahankan.

"Mungkin sekarang perasaan Juna memang untuk Dewi tapi masa depan nggak ada yang tahu." Memang masa depan nggak ada yang tahu tapi tetap aja, gue rasa sulit untuk mengubah perasaan Juna.

"Lihat keadaan kita semua sekarang, lihat kamu sama Zian, kita semua nggak ada yang tahukan kalau kejadiannya akan kaya gini, Zian yang sangat-sangat mengutamakan perasaannya untuk kamu tapi berakhir dengan perempuan lain yang Kakak sendiri juga nggak terlalu kenal, itu semua takdir Ran dan Kakak yakin mungkin akan ada takdir yang lebih baik menunggu kamu sama Juna." Gue tersenyum menanggapi ucapan Kak Vanya.

Ya mungkin kedepannya akan ada takdir yang lebih baik untuk gue sama Juna, takdir yang harus gue sama Juna jalani bersama atau bahkan mungkin takdir yang harus kita berdua jalani masing-masing.

.

"Kalian mau nginap di rumah atau mau langsung pulang? Bukan maksud Kakak mau ngusir nih tapi di rumah masih cukup ramai dan berantakan banget juga jadi Mbak saranin kalian pulang ke rumah kalian aja, kalian butuh istirahat." Kak Vanya menawarkan dan gue juga mengiakan.

Sebenernya gue nggak masalah dengan rumah masih berantakan, kalau gue sama Juna nginep kita berdua bisa ikut ngebantu tapi yang jadi pertimbangannya adalah masih ada beberapa orang yang ngomongin gue dibelakang jadi karena Kak Vanya sadar, makanya dia nyaranin gue sama Juna untuk pulang.

"Kita pulang aja Kak, kasian Rana butuh istirahat, nanti kalau butuh bantuan apapun, Kakak kabarin aku." Juna mewakili memberikan jawaban, kalau Kak Vanya aja bisa sadar banyak orang yang ngomongin gue, Juna pasti lebih tahu.

Tadi Fara juga sempata ngajakin gue pulang tapi gue yang nolak, gue pikir kalau gue pulang gitu aja dan ninggalin Juna sendirian yang ngadepin semua pertanyaan orang-orang, gue akan semakin mmerasa terbebani, gue nggak mau Juna kerepotan sendirian lagi, gimana juga Juna ada di posisi dia yang sekarang karena ngebantuin gue.

"Yaudah kalau gitu kalian hati-hati, kabarin kalau udah dirumah." Mengedipkan mata cepat, Juna nepuk bahu gue dan mendorong gue pelan untuk berjalan lebih dulu, jangannya pamitan sama Mama, nyalim sama Kak Vanya aja kagak sempat itu.

"Senyum, santai, masih ada banyak orang yang ngeliatin kita berdua." Bisik Juna beralih menggenggam tangan gue, walaupun nggak dikasih tahu, gue juga nggak berniat nangis sekarang.

"Udah tahu, ini juga udah santai banget." Gue menatap Juna sekilas dengan tangan yang masih tertaut, apa akan ada masa depan yang jauh lebih baik untuk kita berdua?

"Kenapa natap aku kaya gitu? Ganteng ya?" Muka gue langsung berubah malas mendengar kalimat Juna barusan, perasaan tingkat rasa percaya diri Juna naik drastis belakanga ini, wajar nggak sih orang ganteng kepedean begini?

"Ganteng sih tapi aku juga cantik." Gue juga bisa kaya gini.

"Ya memang cantik, paling cantik malah jadi nggak perlu terus nunduk kaya tadi, nggak ada yang salah sama istri aku." Gue yang awalnya memang sedang tertunduk langsung tertegun mendengar kata istri aku keluar dari mulut Juna.

"Istri? Maksudnya apa?" Dan sekarang udah ada Dewi yang berdiri tepat dihadapan kita berdua, melihat raut wajah kaget Dewi, Juna melepaskan genggamannya di tangan gue gitu aja.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang