Senjata Makan Tuan

26 5 0
                                    

"Kalian?" Aku masih menatap takjub. Bagaimana tidak, dihadapanku tengah berdiri 12 bocah tengil yang entah dari mana datangnya tiba-tiba sudah ada di sini. Iya 12, aku sudah menghitungnya, tak ada seorang pun anggota yang kurang.

"Gabung?" Cicitku. Mereka serempak mengangguk antusias.

"Silakan," ucap Gabrian yang sudah sadar dari keterkejutanny. Mereka yang dipersilakan duduk langsung berebut bangku kosong. Malah Restu dan Johan sudah mengangkat bangku panjang yang ada di sebelah pintu masuk kantin untuk dipindahkan ke meja kami.

Kegiatan kelas kami menjadi perhatian siswa lain yang tengah berada di kantin. Beberapa masih merebutkan tempat duduk. Aku memijat pelipisku agar pening di kepalaku sedikit berkurang.

"Udah jangan rebutan lagi," perintah Gabrian. Bocah-bocah itu langsung diam seketika.

"Kalian mau pesan apa? Rina kamu catat pesanannya!" Aku yang sudah tau maksud mereka langsung menyuruh Rina.  Rina bangkit untuk menuju ke stand bakso yang merupakan stand yang letaknya paoing dekat dengan meja kaki lalu kembali dengan sebuah buku dan bolpoint.

Mereka mulai menyebutkan pesanan mereka satu persatu. Aku heran kenapa mereka tau jika Gabrian mengajak Rina dan Gibran untuk makan bareng. Atau jangan-jangan, aku langsung menatap Gibran dan Rina silih berganti. Aku melihat Gibran mengedipkan mata ke arah Erlang.

Oh jadi gibran toh, batinku

Aku tiba-tiba punya ide yang akan membuat mereka berpikir ulang untuk menjailiku. Kita liat aja nanti, aku tersenyum dalam hati.

Mereka sangat bising, ya meskipun Erlang dan Tantra tetap jadi anak pendiam, tapi yang lain? Sudah seperti anak TK. Saat makanan Gabrian telah habis, aku langsung merogoh handphoneku dan berpura-pura jika ada yang menelpon. Let's start the game.

"Halo,"

"...."

"Oh ya bu, saya lagi di kantin," aku menengok Gabrian.

"....."

"Iya, Pak Gabrian sama saya,"

"...."

"Oh begitu, baik kami segera ke sana," aku memutus sambungannya. Dan langsung menghadap ke arah Gabrian.

"Kita harus segera ke ruangan anda, Pak Tama sudah menunggu di sana," kataku dengan nada serius.

"Oh OK," Gabrian hendak mengambil dompetnya di saku celana, tapi emang dasar tanganku yang licin sampai saat aku mengambil dompetnya ia tak merasakannya. Ia terlihat menepuk-nepuk semua kantongnya untuk memeriksa dompetnya. "Aduh, dompetku ketinggalan," katanya panik.

"Loh, terus?" Aku berusaha menahan tawa.

"Kamu bawa dompet?"

"Dompetku di tas, tadi kan aku gak sempet ke ruang guru," aku mencoba memeriksa saku bajuku, ada selembar uang 50ribuan.  "Aku cuma bawa uang 50 aja. Rina tolong nanti bayar ya," aku menyerahkan uang itu pada Rina.

"Loh kok cuma 50 Bu?" Celetuk Gibran yang dari tadi memerhatikan aku dan Gabrian.

Mampus lo sekarang, "Emang kenapa? Kurang?" Tanyaku polos. "Ah iya, palingan kurangnya gak nyampe 10ribu. Rina nanti kamu talangin ya, saya buru-buru. Ayo Pak," aku dan Gabrian bangun lalu pergi keluar kantin.

Saat sudah diluar kantin, aku langsung tertawa ngakak. Gabrian yang melihatku tiba-tiba tertawa, mengernyit bingung. Ia menempelkan punggung tangannya di dahiku. Aku langsung menepis tangannya.

"Gak panas,"

"Apaan sih?" Protesku.

"Kamu yang apaan, tiba-tiba ketawa,"

Perfect TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang