Bagian 1
Menarche Mbak Tina
Bulan Agustus akan berakhir dan masih saja panas. Jum’at siang yang sepi, meski sekolah pulang lebih awal dan TPQ sore juga libur. Anak-anak yang biasanya ruwet, ramai berseliweran mendekam dalam rumah. Telepon pintar pastinya yang menenangkan dan menghipnotis mereka berjam-jam.Sebenarnya secara fisik desa itu tak tampak sepi, mereka para penduduk adalah warga yang suka hiburan. Desa itu juga indah, warga taat aturan dan menjaga kebersihan serta kerapian lingkungan. Agustus seperti ini, rumah-rumah ramai berhias lampu-lampu led warna warni, bunga-bunga merah dan putih dari plastik kresek yang tak terpakai sudah menjadi cantik tergantung di ring plafon, juga pada seutas tali memanjang, kertas layangan yang sekarang bisa langsung dibeli sudah berbentuk bendera kecil-kecil terangkai rapi di sepanjang jalan melambai-lambai diterpa angin, aneka bentuk hand made dari gelas air mineral yang dicat merah putih, pun umbul-umbul yang berjuntai, dan yang wajib pastinya sang merah putih dengan tiangnya.
Namun, yang paling khas adalah rumah Mbah Min dan Mbah Nah, sepasang renta itu memanfaatkan baskom plastik bekas kondangan yang banyak sekali dimilikinya. Mereka dengan tlaten mengecat bagian luar dengan cat merah atau putih, lalu melubangi sisi-sisinya untuk mengaitkan benang yang mengikat buntut-buntut panjang plastik atau kertas layangan. Walhasil, rumah mereka serasa di kelilingi gurita merah putih. Mereka tak kesulitan menaruhnya karena atap yang tanpa plafon, kayu-kayu usuk menonjol sempurna. Bahkan para tetangga sering nitip menggantung hanger-hanger pakaian yang dijemur. Dan tinggal bersama Mbah Nah dan Mbah Min, Audi cucu tercinta mereka.
“Assalamualaikum, Nduk ... Audi,” Audi segera meletakkan ponselnya. Gadis kelas empat SD itu sedang melihat video tik toknya.
“Nggih, Bulek? Waalaikumsalam,” ia bergegas ke pintu kupu tarung yang terbuka satu sisi.
“Di, Mbahmu mana?”
“Mbah Dok maksudnya? Itu sama Mbah Nang pergi ke kebun bambu untuk ambil bahan besek. Ada apa, Bulek?”
“Bancaan Di ...”
“Bancaan apa, Bulek?” Audi mencoba mengingat apa hari ini ulang Anes.
Anes anak Bu Asiyah adalah teman sekelas Audi. Tapi ia hapal ulang tahun sahabatnya, dan bukan. Apa mungkin rabu legi ini weton Anes sehingga dibancai, tapi tak biasanya Bulek Asiyah bancaan weton.“Sudah ah, kamu saja yang datang ke rumah! jangan banyak tanya,” jawab Asiyah.
“Sekarang Bulek?”
“Iya!”
Audi langsung bergegas ke rumah Anes. Karena rumahnya agak dekat, baru ada beberapa orang yang datang karena Bulek Asiyah mengundang dari rumah ke rumah, diurut yang paling dekat. Audi melihat Anes di luar bersama kakaknya, Tina.
“Bancaan apa sih?” tanya Audi begitu saja, begitu ia datang. Ia hanya melihat piring-piring berisi bubur merah di ruang tamu. Tak melihat jajan ulang tahun seperti biasa. Di dekat piring itu disediakan es dawet yang sudah diplastiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menarche
Teen FictionAudi Ayu Magani, gadis belum genap sepuluh tahun itu belum siap saat harus mengalami menstruasi di usia dini. Perjalanannya memasuki usia remaja semakin banyak yang membully karena ia yang lahir dari seorang Cina majikan ibunya.