1

173 11 3
                                    



Ada satu nama suatu masa dulu
Pernah bawa dan beri bahagia

Hingga saat ini
Masih kuabadikan di dalam hatiku

Dengan satu rasa dalam satu cinta
Sewaktu kita bersama dulu
Hanya kita yang tahu
Dalam mana telah cinta
Kita memutik

Walau akhir ini seakan terpisah
Oleh masa dan suasana tak dipinta
Namun percayalah tidak sedikit pun
Kasihku kepadamu surut dan berubah

Pasti suatu masa 'kan bersama lagi
Engkau dan aku pasti jua nikmati
Cinta yang istimewa

Walau 'ku tak pasti bilakah masanya
Kau dan aku akan bertemu

Untuk kita kembalikan
Keindahan dulu

Walau akhir ini seakan terpisah
Oleh masa dan suasana tak dipinta

Namun percayalah tidak sedikit pun
Kasihku kepadamu surut dan berubah

Pasti suatu masa "kan bersama lagi
Engkau dan aku pasti jua nikmati
Cinta yang istimewa

Walau 'ku tak pasti bilakah masanya
Kau dan aku akan bertemu
Untuk kita kembalikan
Keindahan dulu

Dengan satu rasa dalam satu cinta
Sewaktu kita bersama dulu
Kusemat di dalam hati
Hingga kita 'kan bertemu
Kemudian hari

Lagu ini mengalun indah dari handfree yang saat ini terpasang di telingaku. Dan mataku, menatap seseorang di ujung sana. Duduk sendiri dengan pandangan kosong.

Wajahnya ... sama sekali tak berubah. Ia cantik dan menawan. Mata bulatnya, hidung bangir dan bibir tipis yang melengkapi kecantikannya, tak ada yang berubah kecuali pipi yang dulu chubby kini terlihat tirus.

Setiap kali aku merindukannya, aku pasti melihatnya dengan cara seperti ini. Diam-diam dan tersembunyi. Jaket hoody yang aku kenakan, lengkap topi hitam dan masker warna senada membuatnya tidak akan mengenaliku.

Masih teringat jelas saat kami harus terpisah karena tidak kudapatkan restu dari orang tuanya dulu.

"Apa yang bisa kamu berikan untuk putriku?!" sinis dan penuh hinaan kalimat yang diucapkan ibunya.

"Masa depan seperti apa kalau kamu itu cuma modal BALUNGAN KERE!"

Sakit ... namun demi cintaku padanya kuberanikan diri melamar kekasihku. Aku duduk dikursi sofa yang terlihat mahal. Kaos yang kurasa paling bagus nyatanya terlihat lusuh. Mata kedua orang tuanya menatap sandal jepit yang terpasang di kakiku.

Merasa kecil dan malu kaki ini seolah menjepit erat dengan sendirinya.

"Heeh!"

Dengkusan itu terdengar setelah menilai kembali penampilanku. Yah ... miskin dan tak bermodal. Begitulah aku saat itu.

"Ndak usah buang-buang waktu kami!"

"Kamu ndak sebanding dengan putri kami."

Wajahku yang sedari tadi menunduk kuberanikan menatap mereka. Bapaknya yang lebih banyak diam namun tegas dan jelas. Tegas memutuskan juga jelas menolak niatku.

Sedangkan ibunya, airmuka merendahkan terlalu kentara. Baginya aku hanya pemuda tanpa masa depan yang bermimpi meminang putri semata wayangnya.

"Sa saya"

Belum sempat aku melanjutkan kalimat.

"Pergilah, kami tidak bisa menerimamu."

Kalimat itu bagai vonis mati akan tujuanku.

"Pintunya di sebelah sana."

Dan ... kata-kata itu adalah pengusiran pertama dan terakhir atas kedatanganku.

Saat kakiku melangkah keluar rumah. Suara panggilan Ara menghentikan langkahku.

"Mas ... Mas Bayu ... tunggu, Mas."

Ara menangis dan berusaha mengejarku, namun langkahnya terhenti karena tangan ibunya menahan.

"Jangan kesana kamu!"

"Laki-laki seperti itu tidak pantas untukmu!"

"Bu, Ara mohon, Bu. Ara cinta sama Mas Bayu."

"Jangan membantah kamu, Ara!"

Sambil terus memegang lengan Ara.

"Ngapain masih berdiri disitu?!"

"Cepetan pergi sana!"

Saat itu nyaliku benar-benar tidak ada. Seorang yatim piatu tanpa saudara, miskin dan tidak berpendidikan. Rasanya cinta hanya khayalan semata.

Meski berat, namun kakiku melangkah pergi. Membawa luka dan cinta yang tak mampu kugapai.

Masih terngiang jelas tangis kekasihku hingga langkah terakhirku keluar gerbang rumah megahnya.

Dan setelah sepuluh tahun lamanya. Cintaku masih tetap bertahta di dalam hati. Cintaku tak berubah walau sedikit. Wanita itu masih tetap menjadi kekasih hati meski kini ia telah bersuami.

Seperti biasa di hari minggu ia akan duduk sendiri di kafe ini. Entah apa yang membuatnya seolah tak bahagia. Karena yang kutahu suaminya kini adalah seorang dokter yang tidak hanya tampan tapi juga mapan dan terpandang.

Begitulah pilihan orang tuanya.

Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang aku ketahui adalah suaminya. Tempat dudukku tidak jauh dari tempat duduk mereka hanya berjarak satu meja. Sehingga telingaku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Kumainkan ponsel agar tak begitu nampak bahwa aku tengah menperhatikan mereka.

"Nanti malam aku pulang telat."

Ku lihat raut muka Ara biasa saja. Tidak ada keterkejutan meski ada sedikit kesedihan. Hanya sedikit, namun aku memahaminya.

"Kemana?"

Tanyanya lembut, begitulah Ara-ku.

"Bukan urusanmu!"

Laki-laki itu nampak acuh, bisa dibilang mengacuhkannya. Nada suaranya cukup menjadi alasan.

Ia mendekat mengikis jarak diantara mereka. Lalu setengah berbisik, dan bisikan itu cukup jelas di telingaku.

"Istri mandul, tidak berhak tahu urusan suami!"

Kalimat itu, menghujam jantungku. Ditambah seringai bibirnya juga tatapan matanya yang mengejek. Membuat detik itu juga. Wanita yang ku kasihi seolah tengah disiksa batinnya. Wajahnya mendung, matanya berkabut dan aku tahu ia tengah menahan sesak di dadanya.

Disini aku hanya mampu mengepalkan kedua tangan. Menahan emosi yang tiba-tiba menguasai hati.

"Aku pergi dulu."

Setelahnya ia melenggang pergi. Meninggalkan istrinya seorang diri. Mataku nanar menatap air matanya yang seketika luruh. Sakit yang tadi ia tahan kini ia tumpahkan. Bahunya terguncang seiring tangisnya yang memilikan.

Ara ... kehidupan seperti apa yang kamu jalani?

Sesakit apa hatimu saat ini?

Bolehkah aku kembali datang menghapus lukamu?

Aku Bayu ... Bayu Samudra.
Kekasihmu yang dahulu.

MantanWhere stories live. Discover now