b a b - 1

31 9 4
                                    

Tuhan takkan menguji manusia diluar batas kemampuannya

______________

Jogjakarta. Kota dengan sejuta kesenian dan kehangatan yang dipenuhi dengan ribuan orang berhati lembut. Sekaligus kota yang menjadi tempat tinggal seorang gadis sederhana, selama beberapa tahun silam. Melody Caramella Edelweis. Seorang gadis sederhana dengan kehidupan yang sederhana pula. Kesehariannya pun sederhana, tak ada yang menarik. Pergi ke kampus lalu bekerja part-time dan mengerjakan tugas, seputar itu. Seperti pagi ini misalnya, di dalam sebuah bus Melody terlihat tenang dengan putaran radio prambros yang mengalun melalui earphone di kedua telinganya. Lantunan lagu berjudul Adu Rayu terputar, seakan pas diputar untuk memulai hari ini. Sepasang matanya menatap luar jendela yang menampakkan kesibukan Kota Jogja dipagi hari.

Drtt drtt

Melody merogoh saku celananya tatkala merasakan ponselnya bergetar. Ia tersenyum hangat tatkala membaca seseorang yang mengiriminya pesan pagi ini. Ibu, sesosok malaikat yang mengirimi pesan tersebut.

Ibu
Nak, sebelum pulang nanti bisa
tolong belikan Ibu obat yang seperti biasa?

Melody
Tentu saja bisa, Bu. Nanti Melody belikan sepulang bekerja. 😊

Ibu
Maafkan Ibu ya, untuk kondisi yang seperti ini.

Melody
Tak ada yang perlu dimaafkan, Bu. Toh Melody tak masalah dengan kondisi yang seperti ini, yang penting Ibu istirahat saja. Jangan terlalu banyak berpikir. Sudah. Tak usah dibalas😊😊 Melody sayang Ibu.

Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, Melody menghela napasnya sembari memejamkan matanya. Hatinya terus berucap, memohon kepada Sang Kuasa agar terus menjaga Ibunya. Karna Ibunya lah kebahagiaan yang tersisa untuknya.

● ● ●

Membosankan.

Satu kata itu rasanya pas untuk menggambarkan kelas umum yang terjadwal dipagi ini. Terlihat seisi kelas merasa bosan dan malas mendengarkan sang Profesor berbicara di depan sana. Hanya beberapa saja yang benar benar memperhatikan. Itupun bisa dihitung dengan jari. Sisanya? Hmm, tertidur dengan buku yang ditegakkan di depannya, bermain ponsel, menggambar, dan lain sejenisnya, pun dengan sahabat Melody. Elie namanya, tertidur pulas dengan sebuah modul referensi yang ditegakkan di depannya tuk menutupi aksinya itu.

Melody? Tentu saja membaca novel. Sebuah novel karangan Jane Austen. Baginya itu lebih baik dari pada tertidur, bermain ponsel, atau yah sejenisnya. Tapi mau bagaimanapun, Ia juga sama dengan yang lain bukan?

"Baik. Penjelasan cukup sampai disini dulu saja. Materi selanjutnya, kita bahas dipertemuan berikutnya." Ucap sang Profesor mengakhiri penjelasan membosankannya itu.

Melody menutup pelan novelnya dan dimasukkannya ke dalam tas ransel berwarna mocha miliknya. Ia mengguncang bahu sang sahabat perlahan, "bangun putri tidur. Itu bapaknya sudah keluar kelas."

Merasa terganggu sang sahabat membuka mata perlahan. "Sudah pergi?"

"Sudah. Baru saja."

Mereka segera bangkit dan berjalan keluar kelas menuju loby, disertai perbincangan kecil yang menemani langkah kaki mereka.

"Mel, habis ini bisa temenin?"

"Kemana, hmm?"

"Ambarrukmo." Melody menyerngitkan keningnya mendengar jawaban dari Elie barusan, "ngapain, eh?"

"Beli kado untuk Mama. Mama seminggu lagi ulang tahun. Dirayain lho. Dateng ya? Bisa toh¹?"

Melody menimbang-nimbang ajakan Elie. Ya, sepertinya ia akan mengiyakan ajakan tersebut. Tak enak jika menolaknya. Selain karna Elie adalah sahabat satu satunya, keluarga Elie pun turut berjasa dalam hidupnya. Terlebih Mamanya merupakan sosok yang sangat baik dan menganggapnya seperti putri sendiri.

espressoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang