°°°"Nak... Sekali-kali, pandang bapakmu sebagai seorang bapak. Bukan sebagai anak pengkhianat negara. Terlepas dari apapun... dia bapakmu."
Aku menatap satu keluarga yang baru saja keluar dari mobilnya. Si Pria dewasa menggenggam erat tangan anak lelakinya. Si Wanita menggendong balitanya. Mereka terlihat sangat bahagia dan harmonis. Penuh cinta dan kasih. Memantik kecemburuan dalam hatiku.
Tidak. Aku bukan cemburu karena sampai sekarang belum juga bertemu dengan jodohku. Apalagi sampai punya dua anak menggemaskan seperti mereka. Aku cemburu karena tangan Si Pria menggenggam tangan anak lelakinya.
Hari ini, umurku tepat tiga puluh tahun. Berarti sudah delapan tahun aku keluar dari rumah. Sudah delapan tahun aku tidak bertemu bapak. Dan, untuk pertama kali aku merasakan rindu yang begitu dalam kepada beliau.
"Nak... Apa pernah sebagai seorang bapak, dia melakukan hal yang buruk padamu?" Lalu lintas dalam kepalaku sepertinya lebih ramai ketimbang lalu lintas di balik kaca jendela ini. Suara ibu dengan halus singgah sebagai komando terdepan atas keberisikan ini.
Pelan, aku menggeleng. Aku tau ini terlambat. Ibu tidak lagi bisa melihat jawabanku. Suara ibu hanya kaset rusak dalam otakku. Kaset rusak yang terus menerus menerorku.
"Apa sebagai seorang bapak, dia pernah mengajarimu cara mengkhianati negara?"
Lagi-lagi aku menggeleng pada angin. Pandanganku mulai buram saat akhirnya menangkap bayangan keluarga tadi sudah duduk tak jauh dari mejaku. Dadaku semakin sesak mendengar tawa mereka.
"Bapakmu sama kaya kamu, Nak. Dia juga nggak pernah minta lahir sebagai anak dari pengkhianat negara. Kamu tau kalau sebenernya bapak tidak punya kewajiban untuk minta maaf. Tapi... Bukannya udah berkali-kali dia mengatakannya padamu?"
Aku menunduk dan mengusap mataku. Rinduku pada bapak semakin menggebu. Menepikan rinduku pada ibu.
"Harusnya karena bapak tau susahnya jadi keturunan pengkhianat, bapak tidak egois untuk mempunyai anak yang nasibnya nggak akan jauh beda dengannya! Bapak... tidak seharusnya mengharapkan kehadiran anak!"
Itu adalah perkataan terakhirku di depan bapak dan ibu sebelum akhirnya memutuskan keluar dari rumah. Perkataan yang membuat bapak memucat seketika. Dan perkataan yang membuat ibu untuk pertama kalinya menamparku.
Dan... Perkataan yang saat ini melubangkan penyesalan besar di hatiku.
Apa yang aku katakan?
°°°
"Selamat ulang tahun, Mas." Aku tersenyum lebar mendengar ucapan adik semata wayangku. Dia yang sedari dulu membuatku merasa aku tetap memiliki keluarga meski aku tidak pernah mau menapakkan kaki di halaman rumah sekalipun. Dia yang akhirnya, tiga tahun lalu, membawa ibu bertemu denganku. Memberikanku kesempatan meminta maaf padanya. Dia yang walaupun terang-terangan kecewa dengan sikap ku pada bapak, tetap saja datang membujuk dengan lembut dan memintaku menemui bapak.
"Apa kabar?" Tanyaku membuatnya menoleh dengan tatapan jengah.
"Serius nanya kabarku? Kita ketemu tiap hari, Lo, Mas!"
Aku dan Mia -adikku ini- memang setiap hari bertemu karena kita selalu makan siang di tempat yang sama. Janjian. Tempatku bekerja bertetangga dengan tempatnya bekerja. Entah dia sengaja atau tidak. Dan hari ini, walaupun akhir pekan, dia mengajakku bertemu untuk setidaknya merayakan ulang tahunku.
"Kamu baik..."
"Udah tau nanya!"
"Kalo... Bapak?" Tanyaku pelan-pelan. Mia langsung menoleh heran. Memang selama ini, aku tidak pernah menyebut kata bapak atau menyinggung sesuatu tentangnya. Setiap Mia membicarakan bapak, aku akan mengalihkan pembicaraan bahkan pura-pura tidak mendengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1/1] Kepada Bapak
Short StoryAku benci terlahir sebagai anak bapak. Aku benci karena bapak membawa darah pengkhianat negara ke dalam darahku. [Depok, 2 Oktober 2019]