Time-1

173 18 13
                                    

Getar suaranya terdengar jelas menyayat hati. Yoona menangis dalam pelukan suaminya. Sebuah fakta baru kembali mengoyak pertahanan semua orang yang ada di sana.  Mereka terdiam begitu seorang pria berjas putih meninggalkan sebuah ruangan beraroma khas obat-obatan. Tak ada yang lebih menyakitkan dibanding harus menerima kenyataan bahwa seseorang yang kita sayangi harus dikejar waktu.

"Aku yakin Nana tak akan tega meninggalkanku, Ma. Adikku adalah manusia terkuat. Adikku tak akan menyerah!"

Haechan memandang nanar seorang pemuda yang terbaring lemah di hadapannya. Tangannya terulur mengusap helaian rambut Jaemin, adik kembar kesayangannya yang tadi pagi berhasil membuat seisi rumah heboh karena tak sadarkan diri.

"Adikku sendiri yang mengucap janji untuk selalu bersamaku hingga tua!"

"Aku akan berjuang lebih keras, Kak. Aku ingin kita tua bersama-sama."

Janji itu terucap saat vonis itu pertama kali datang. Jaemin yang ceria mendapat sebuah 'anugrah' dari Tuhan, sebuah penyakit yang kini bersarang di tubuhnya. Haechan tahu, adiknya kala itu begitu hancur, sekalipun Jaemin menutupinya dengan senyuman bodoh.

"Nak ... Nana mungkin sudah lelah. Kau dengar sendiri kan kalau--"

"Dokter bukan Tuhan, Yah! Aku akan memohon pada Tuhan agar mengizinkan Nana untuk tetap hidup bersamaku!"

Haechan menatap tajam Siwon selama beberapa saat, kemudian ia melarikan kakinya keluar dari ruang rawat milik adiknya.

"Aku pun tak akan rela anakku pergi, Oppa...."

Yoona duduk di samping Jaemin. Seperti biasa, wanita itu akan mengusap-usap helaian rambut hitam anaknya. Mengabaikan atensi sang kepala keluarga yang menatapnya sendu.

***

"Tuhan ... aku datang lagi. Kuharap Kau tak bosan mendengar semua permintaanku."

Kedua tangan Haechan mengatup di depan dada. Matanya terpejam, menghayati setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Beberapa jemaat yang juga berada di dalam gereja pun berusaha mengabaikan, sudah terlalu hapal setiap rapalan doa yang dipanjatkannya.

"Adikku adalah sumber kebahagiaanku. Tolong izinkan dia untuk menikmati hari tua bersamaku. Angkatlah penyakitnya, ya Tuhan."

Setitik air mata mengalir melewati kedua pipinya. Haechan urung menghapusnya. Bahkan ia tak menyadari ada seorang pria paruh baya yang mengamatinya dari samping.

Setiap mengingat rintihan kesakitan Jaemin, pemuda itu selalu merasa dadanya tertimpa jutaan beban, sesak. Lima tahun berlalu sejak vonis itu, tapi Haechan tak pernah merasa biasa saja. Ketakutan akan kehilangan adiknya selalu membayangi pikirannya.

"Tuhan selalu punya rencana indah di balik setiap cobaan yang Dia berikan, Nak."

Haechan terperanjat. Dia menoleh ke samping dan mendapati seorang Pendeta memandangnya lembut. Pemuda itu menunduk. Kalimat itu setiap hari menyapa indra pendengarannya. Namun entah kenapa, perasaan pesimis mampu menyingkirkan kalimat positif itu dari pikirannya.

Air matanya semakin deras mengalir. Tuan Jaehyun, sang pendeta seakan tahu isi hati Haechan. Pria itu menepuk pelan bahu pemuda Na itu.

"Kalau kau mulai meragu akan keagungan Tuhan, maka, renungkanlah tentang apa yang Tuhan telah berikan padamu," Tuan Jaehyun menatap lembut Haechan, "kau dan seluruh keluargamu telah diberi kehidupan hingga sekarang. Jikalau Tuhan memberi adikmu cobaan, itu artinya Tuhan menyayangi adikmu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Time (Na Jaemin Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang