(30)

3.2K 374 55
                                    

"Serius lo ngomong begitu? Wah bakalan awet kayanya jodoh kalian." Gue mengangguk pelan, sadar nggak sadar, gue memang ngomong kaya gitu kemarin.

"Terus Juna jawab apa? Jawaban Juna yang bakalan jadi penentu soalnya." Fara terlihat sangat antusias tapi gue nggak sama sekali, entahlah, setelah gue ngomong kaya kemarinpun, gue masih mikir kalau hubungan gue sama Juna nggak akan bertahan lama.

"Hmmm, mungkin." Gumam gue menanggapi.

"Heh perempuan, gue nanya kenapa jawaban lo singkat padang dan kurang jelas, jadi Juna jawab apa?" Fara masih sangat antusias tapi gue ni yang sekarang bawaannya malas, nggak ada yang menarik untuk diceritakan menurut gue.

"Jangan maksain diri." Ini jawaban Juna dan ekspresi Fara langsung berubah, raut wajah antusiasnya hilang seketika berganti dengan raut wajah kusam.

"Gue salah, nggak ada harapan ternyata." Fara bahkan nepuk bahu bahkan mengusap kepala gue sekarang.

"Memang bisa ada harapan apa? Kan dari awal udah jelas semuanya cuma sekarang, selama gue masih jadi istrinya Juna, gue akan mencoba yang terbaik, kalau udah enggak, kan beda lagi urusannya." Ini yang jelas makanya menurut gue nggak ada yang menarik, Fara aja kadang suka berlebihan.

"Yah, gue pikir bakalan ada peningkatan atau kemajuan pesat dalam hubungan lo sama Juna ternyata tetap di tempat, nggak ada pergerakan sama sekali, cenderung mundur malah." Memang, gue juga ngerasa begini.

"Yaudah pisah aja buruan, Abang gue juga lagi nganggur tu, tar gue jodohin." Saran Fara yang rasa gila, stres menurut gue.

"Gampang banget mulut lo." Dikata gue sama Abang Jaz nggak punya perasaan apa, main jodoh-jodohin segala.

"Kan siapa tahu jodoh gitu." Gue tersenyum tipis dan nggak memperpanjang apapun, walaupun Fara masih ngoceh dan terus menunjukan kekesalannya tapi gue nggak akan memberikan respon apapun lagi, memang nggak ada yang perlu gue ceritain, begitu aja udah.

.

"Lo yakin nggak mau gue anter?" Fara memastikan sekali lagi padahal gue udah jelasin kalau gue ada agenda lain.

"Nggak usah, Juna jemput soalnya." Gue sama Juna di suruh pulang ke rumah keluarganya Juna, Mama mau ngomongin hal penting dan udah hampir semingguan juga gue nggak kesana, udah kangen juga sama Mama.

"Jangan terlalu lo pikirin." Gue tersenyum kecil.

Gue nggak mau mikirin apapun tapi nggak gue pikirin juga aneh rasanya, Mama nyuruh gue sama Juna pulang pasti ada hal penting, belum lagi gue yang harus ngadepin Mas Zian sama Julia, memang gue udah sangat ikhlas dan perlahan perasaan gue memang jauh lebih membaik tapi berhadapan langsung tetap beda rasanya.

Kita nggak sengaja ketemu mantan aja pasti ada rasanya nah ini apalagi mantan gue berubah status jadi saudara ipar gue, yang pertemuannya bakalan di sengaja bahkan tar duduknya bisa semeja, tatap muka di depan keluarga, ngaruh nggak tuh.

"Yaudah gue duluan ya, Juna udah di depan kayanya." Melambaikan tangan ke Fara, gue berjalan menuju gerbang kampus dan ternyata Juna belum ada, nunggu lagi.

"Kirana." Panggil seseorang yang membuat gue menoleh, Kak Vanya orangnya, nggak perlu nunggu lama, gue masuk ke mobil Kak Vanya dan langsung pulang, gue sempat mau nanya kenapa Kak Vanya yang jemput tapi Kak Vanya lebih dulu ngasih penjelasan, Juna agak telat katanya.

Mendengar jawaban Kak Vanya, gue memutar bola mata malas, bukannya semalam gue udah minta Juna ngabarin gue tapi kenapa Juna seolah mengabaikan? Dia bahkan nggak ngasih tahu gue kalau dia nggak jadi dateng.

"Loh Jun, kenapa malah udah di rumah? Bukannya tadi katanya bakalan telat?" Kaget Kak Vanya begitu sampai di rumah dan Juna udah ada, gue juga sama kagetnya.

"Acara nggak jadi jadi bisa langsung kemari." Jawab Juna santai, sangking santainya malah masih bisa senyam senyum ngeliatin gue.

"Oke, Ran, Kakak masuk dulu ya, kamu sama Juna kalau mau istirahat nggak papa, palingan nanti obrolan pentingnya nunggu Zian pulang kantor dulu." Kak Vanya nepuk pelan lengan gue dan berbalik arah masuk ke kamarnya.

"Ayo." Mata gue langsung membelalak mendengar satu kata dari Juna barusan.

"Kemana?" Gue bahkan udah siap menyilangkan tangan didepan dada.

"Masuk ke kamar, memang mau kemana lagi? Kamu mau istirahat di dapur?" Tertawa kecil, Juna bangkit lebih dulu dari duduknya dan gue mengikuti dengan sangat tidak yakin, beneran harus gitu masuk ke kamar Juna?

"Kenapa lagi? Bukannya mau berusaha jadi istri yang baik?" Tanya Juna memperhatikan gue yang berdiri kaku di ambang pintu kamar.

"Memangnya kalau mau jadi istri yang baik harus di kamar?" Mata gue langsung terpenjam, gue salah tanya, Juna langsung mengerutkan keningnya mendengarkan pertanyaan gue barusan.

"Nggak harus sih, tapi kalau kamu mau disini juga nggak papa, aku turutin." Juna gila.

"Hah?"

"Makanya jangan hah heh hah hoh, masuk terus tutup pintunya." Memutar mata malas, gue masuk ke kamar Juna dan menutup pintu cukup keras.

"Kamu marah sama aku?" Juna buka suara lebih dulu.

"ENGGAK!" Jawab gue ketus.

"Kalau enggak, kamu nggak akan duduk jauh kaya gitu, kemana perempuan yang berani masuk ke kamar aku dadakan cuma untuk nemenin dia pergi keluar?" Pukulan telak lagi dari Juna, gue nggak bisa ngelak ya karena itu kenyataan.

"Jadi kamu marah kenapa?" Ulang Juna sekali lagi, yaudah ayo jujur aja, katanya mau belajar lebih terbuka.

"Bukannya mau tahu atau banyak tanya tapi kemarin malam aku udah bilangkan, kemanapun itu kabarin aku, terus kenapa tadi malah nggak ngabarin apapun? Aku udah nunggu tapi yang dateng malah Kak Vanya." Keluh gue jujur, ya memang gue kesal karena ini.

"Jadi kamu serius?" Tanya Juna balik bahkan sedikit kaget.

"Maksudnya apa? Apa kamu mikir kalau aku nggak serius ngomong sama kamu kemarin?" Wah, gue butuh keberanian besar untuk bisa ngomong ke Juna kemarin tapi dia malah mikir kalau semua ucapan gue nggak serius, parah banget.

"Kirana, aku pikir ka__"

"Nggak usah kamu pikirin lagi, udah nggak penting soalnya." Potong gue cepat, nggak usah dipikirin lagi, lewat aja udah.

"Kirana dengerin aku, aku beneran nggak bermaksud, aku pikir kamu cuma lagi ngerasa bersalah makanya kamu ngomong kaya gitu, aku nggak nyangka kalau kamu bakalan serius, aku yang salah." Juna terlihat cukup menyesal.

Juna berjalan cepat duduk di samping gue dan mencoba menggenggam kedua tangan gue erat tapi gue tolak, gue udah keburu kesal, bisa-bisanya dia mikir gue becanda, yang sakit siapa sebenernya?

"Butuh keberanian untuk aku bisa ngomong kaya gitu ke kamu tapi, ah udahlah, nggak usah dilanjutin." Kehabisan kata gue soalnya.

"Aku salah dan aku minta maaf tapi kalau memang kamu serius, aku bisa lebih serius Kirana." Juna menangkup kedua pipi gue sekarang.

"Apa? Mau apa?" Tanya gue panik karena Juna malah natap gue nggak karuan, maksud tatapannya apa? Gue yang semakin panik malah milih nutup mata gue rapat, Juna jangan aneh-aneh.

"Kenapa malah nutup mata? Memang aku mau ngapain?" Gue bahkan bisa mendengar suara tawa tertahan Juna sekarang.

"Kamu yang mau ngapain natap aku kaya gitu?" Tanya gue balik membuka mata lebar-lebar.

"Mau ini." Yak.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang