Aku menghela napas panjang. Setelah perbincanganku dengan Mama beberapa minggu lalu, aku sudah bertekad untuk melakukan apa yang seharusnya dari dulu kulakukan. Kuambil handphoneku di atas meja belajar yang berdebu entah setebal apa. Kamar ini sudah kutinggalkan setengah tahun. Mungkin selama itu pula adikku tak pernah mengelap, atau bahkan memperhatikannya pun ia enggan.
To: Juna
Malam ini bisa datang ke rumah? Aku pengen ngomong.
Send
Message delivered
Aku menatap kosong ke arah jendela. Menikmati terpaan cahaya kekuningan matahari sore yang masuk lewat kisi jendela kamarku. Ah, aku masih belum percaya aku sudah berada di kamar ini. Kamar dengan cat dinding berwarna biru muda, lemari besar di sudut kanan, meja belajar tepat di hadapan lemari, dan meja komputer di samping ranjang yang berseberangan dengan lemari. Semua furniture berwarna coklat muda, warna yang netral, menurutku.
Kurebahkan tubuhku di atas spring bed. Sungguh berbeda dengan kasur di kostku.
"Oh rumah, seandainya kau bisa kuperkecil, kulipat, terus kubawa kemana-kemana." Kataku sambil memeluk guling dan menatap langit-langit kamar. Hpku berbunyi tanda sms masuk.
Ya.
From: Juna
Aku berdehem pelan. Mungkin dia masih marah karena janji ketemu di terminal kemarin kubatalkan gitu aja.
Malam ini langit cerah, bintang bertebaran membentuk formasinya masing-masing, bulan menggantung indah, manis sekali. Aku duduk di ayunan halaman samping rumah, tak banyak yang berubah dari taman ini. Hanya saja bunganya semakin banyak dan ramai.
"Udah kubilang, kalo keluar rumah itu pake baju tebal." Suara itu, suara yang setengah tahun belakangan hanya kudengar lewat ujung telepon.
Aku berbalik. Hanya melontarkan senyum tanpa henti memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Cowo manis, tidak tampan, dengan tinggi 170 cm dan berat yang ideal, kulit sawo mentah, hidung yang gak mancung dan gak pesek juga, rambut sedikit jigrak ala-ala artis korea, ntah iya pun. Bibir tipis tanpa senyum dan matanya hampir dikatakan sayu, putih bersih dengan kornea yang hitam, sangat kontras.
Tanpa banyak bicara, cowo yang terpaut usia satu tahun di atasku itu langsung mengambil posisi tepat di sampingku. Mengenakan sepatu converse abu-putih, celana jeans hitam, dan kemeja biru muda. Menatap ke langit malam. Entah apa arti tatapannya itu, lagi dia tersenyum.
Aku mengikutinya. Menatap kosong, hanya tatapan kosong. Tiba-tiba tanganku menghangat. Juna menimpakan tangan kirinya di atas tangan kananku, untuk kemudian menggenggamnya. Aku terdiam, tanpa komentar. Kulihat tangan kami sangat akrab. Aku selalu iri dengan tangan Juna, jarinya panjang, lentik, sangat cantik untuk seukuran laki-laki yang hobi volly seperti dia. Berbeda dengan tanganku yang berjari pendek, gendut pula.
"Kau kok makin putih? Pasti disana jalannya cuma kosan-kampus doang yah? Udah kubilang, hidupmu itu membosankan." Cerocosnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku, masih setia dengan langit.
Aku diam. Masih memutar otak bagaimana cara mengutarakan apa sebenarnya maksudku menyuruh dia datang ke rumahku malam ini.
"Aku udah pernah cerita kan, tentang Mama?" Aku memulai poinnya. Masih dengan menatap langit. Aku tau Juna langsung menoleh kepadaku, namun aku mengabaikannya.
Sejenak taman itu lengang. Juna semakin erat menggenggam tanganku. Aku pasrah. Aku selalu suka genggamannya, hangat.
"Cha, kita hidup di abad-20. Mama, Ayahku jelas-jelas beda sama Ayah-Mamamu. Aku bukan abangmu, kau bukan adikku, bukan sepupuh, bukan keponakan. Kita sodara-an, itu pasti. Tapi bukan karna nama belakang kita yang buat kayak gitu, tapi Nabi Adam. Jelas emang agama kita ngajarin kayak gitu. Al-Qur'an itu gak pernah bilang kalo satu marga gak boleh nikah. Atau kau pernah baca ayatnya? Bilang, sini tunjukin samaku." Perlahan nada suara Juna semakin tinggi.
Tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya diam. Diam. Dan kemudian, sebening jatuh di pipiku.
"Kau sayang samaku?" Kata Juna sembari mengangkat wajahku yang tertunduk kemudian menghapus air mata di pipiku. Aku hanya diam.
"Apa harus aku jauh dulu, Cha? Supaya kau tau gimana sayangnya aku samamu?" Suara Juna mulai bergetar menahan ntah sedih, ntah sesak. "Aku gak mungkin berjuang sendirian, kalo kau juga udah nyerah, apalagi yang aku perjuangin?"
Dadaku sesak. Tak mampu aku menjawab ucapannya. Ingin rasanya aku menumpahkan tangisku di pelukannya. Tapi ntah apa yang membuatku begitu kuat malam itu.
Angin berembus menerpa kerudung merah mudaku. Juna selalu suka menarik kerudungku ke belakang. Katanya, kalau aku memakai kerudung terlalu menutupi wajah. Padahal itu taktik menutupi pipi tembemku. Ia menatap sendu.
"Juna." Kataku pelan. Mata kami bertemu.
"Aku sayang kau, Cha." Kemudian dia melempar pandangannya ke sembarang arah. Aku tau matanya mulai berkaca.
Sejurus kemudian, aku menyerah. Aku menjatuhkan kepalaku di bahu Juna. Tangannya tetap menggenggam tanganku. Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya sebatas basa-basi jam berapa sampai rumah, sudah makan, sudah mandi, dan jam berapa sekarang.
"Aku lapar." Juna memecah keheningan. "Mau temenin cari makan dekat-dekat sini? Aku gak mau beli sendirian." Sekali tembak. Dia bilang begitu karena aku gak pernah mau jalan berdua dengannya di sekitar kompleks rumahku. Kau harus tau, ada hati lain yang harus aku jaga.
Aku menggeleng. Belum mengubah posisi. "Biar aja kayak gini dulu." Akhirnya ia pasrah. Aku tak peduli kalau pun Juna benar-benar lapar malam itu. Yang ku tau, dia selalu punya banyak alasan untuk mengajak aku keluar rumah.
"kenapa gak makan dulu tadi?" kataku sambil mengangkat kepala dari bahunya.
"Udah."
'Terus?"
"Laper lagi."
"Tahan aja dulu."
"Suka?"
"Suka apa?"
"Kalo aku kelaperan."
"Enggak."
"Terus sukanya apa? Jangan bilang aku. Alay."
Aku tertawa.
Aku ingin malam itu begitu saja. Terlupa dari waktu. Terlupa dari dingin. Terlupa dari adat. Terlupa dari larangan Mama. Aku hanya ingin begini saja dengan Juna. Biarlah akhirnya seperti apa, aku tak mau tau. Aku hanya ingin begini saja dengan orang yang berhasil membuatku menyerah atas nama cinta. Biarlah esok, esok, dan esok esoknya lagi datang. Nanti saja kupikirkan bagaimana kami menghadapinya.
Selepas malam itu, kami masih terus berhubungan seperti biasa. Ntah setan apa yang merasukiku hingga aku bagai tak perduli lagi dengan apapun yang seharusnya aku nomor satukan. Aku masih belum bisa terbiasa tanpa Juna. Dia itu sudah seperti dompet untuk uang. Sebenarnya uang bisa saja ditaruh di saku celana, tapi dengan dompet, rasanya uang lebih tertata rapi. Entahlah, aku pun bingung kenapa bisa menganalogikan Juna dengan dompet. Itu terjadi begitu saja.