Mobil jeep putih berhenti di sebuah pelataran halaman rumah megah di atas bukit. Rumah bercat putih dengan nuansa klasik dan sentuhan tradisional, mengundang decak kagum siapa pun yang melihatnya. Empat orang turun dari mobil tersebut membawa tas ransel masing-masing di punggung. Mereka mengamati rumah besar di depannya. Tampak megah juga penuh misteri.
"Kamu yakin rumah ini yang dikatakan orang-orang itu?" Tanya Bela sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Yakin banget. Aku dan Dian pernah survey ke sini, yaa meski tak sampai masuk ke dalam." Surya menjawab tanpa menatap Bela. Dia sibuk mengagumi arsitektur rumah megah di depannya.
"Rumahnya megah banget loh. Nggak ada serem-seremnya. Aku sih bakal betah tinggal di sini." Vian mengamati setiap jendela yang berada di sisi kiri. Jendela berukiran dedaunan dengan gaya aristokrat. Mungkinkah pemilik rumah ini keturunan bangsawan? Pikir Vian.
"Huu ... belum aja kamu dicekik pas tidur nanti," celetuk Bela mencibir. Vian mendelik yang kemudian dibalas pelototan gadis manis berwajah bulat itu.
"Sudah, kalian jangan mulai!" Kandisha dengan malas menegur dua orang tersebut.
Dengan langkah hati-hati, ia bergegas menapaki undakan tangga teras yang menghubungkan halaman dengan teras utama. Semakin dekat dengan pintu rumah, hatinya bergetar tak menentu. Entahlah, seakan-akan rumah ini sangat familiar dengannya.
Melihat Kandisha telah mendahului mereka, ketiganya segera menyusul, mengekor di belakang gadis berkepang dua tersebut.
Sesampai di teras utama, Kandisha menghela napas. Jantungnya berdegap, irama yang tak senada tetapi entah mengapa menggetarkan rasa yang kuat. Rasa ingin segera memasuki rumah ini.
"Kenapa tak ada orang-orang?" Surya menengok ke kanan dan kiri. "Kata Dian akan ada orang yang menyambut kita. Mengapa tak ada satu pun."
Kandisha menghela napas jengah. Dian. Bagaimana mungkin Surya begitu percaya pada wanita itu. Jika Dian memang ingin membantu mereka, setidaknya pasti wanita metropolitan itu akan menyarankan mereka menginap di hotel yang nyaman.
"Tidak usah mengharapkan bantuan wanita itu," ketus Kandisha menghentikan Surya yang akan kembali berucap.
Vian dan Bela memelototi Surya. Gemas. Kenapa pria itu tak peka juga bahwa Kandisha tentu saja tak menyukai segala hal yang berhubungan dengan Dian. Mana mungkin ada wanita yang bersedia mendengarkan semua hal tentang wanita lain yang merebut calon suaminya.
"Bego lu ya," bisik Bela sambil menyodokkan sikut ke lengan Surya.
Surya meringis dan mencebik, tetapi dia menunduk merasa tak enak hati. Dia melupakan hal sensitif ini. Melihat Kandisha yang mematung di depan pintu, membuat rasa bersalah itu semakin membesar.
Vian maju selangkah, menyejajari Kandisha. Wanita itu tidak terlihat sedih, tetapi mengamati ukiran di pintu masuk. Pada akhirnya ia pun ikut mengamati ukiran tersebut.
"Ini ... huruf apa ini? Aneh, ini bukan huruf sansakerta." Vian mengamati dalam-dalam.
Mendengar apa yang diucapkan Vian, Bela dan Surya maju berdesakan dan mendorong Vian ke belakang. "Hei! Rese kalian," cerca pria berambut sebahu itu.
Lain dengan ketiga temannya, Kandisha mengamati huruf-huruf itu dengan kerutan di dahinya. Ia begitu familiar dengan huruf-huruf ini. Namun, di mana ia melihat huruf ini?
"Kau datang, maka kusambut. Kau pergi, tak akan pernah bisa kulepas lagi. Masuklah, maka kau akan menemukan jawabannya."
Vian, Bela, juga Surya menoleh pada Kandisha. Bibir wanita berkepang dua itu bergumam merdu membaca huruf-huruf aneh yang berada di pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang (Tak) Mati
FantasyKandisha, gadis pendiam yang diam-diam memiliki kekuatan abnormal, menyembunyikan kekuatannya dari siapa pun. Dia ditinggalkan sang tunangan yang berselingkuh dengan gadis lain yang terkenal cantik, modis, dan sangat berbeda dari Kandisha. Suatu ha...