je bent mijn thuis

102 19 1
                                    


------

"siapa rumahmu?"

pertanyaan itu seolah terus berputar di kepalaku. manusia pada umumnya tidak akan pernah terpikirkan untuk melontarkan pertanyaan penuh ambiguitas semacam itu. namun, dirimu lain. kau bukannya seorang yang senang berbicara kosong. kata-katamu memiliki filosofi tersendiri. gadis sepertimu itu terlalu cerdas sehingga kalimat yang keluar dari mulutmu terlampau sulit dipahami.

omong-omong soal itu, kau mengucapkan pertanyaan tersebut saat cakrawala berwarna jingga dan mentari hampir tenggelam di ujung sana.

di dalam sebuah bangsal serba putih beraroma desinfektan.

dengan wajah pucat, kau menatapku lewat sepasang obsidian sayu. mata indah itu dulu sering memancarkan kebahagiaan seiring dengan senyum anti-artifisial yang terpatri di kedua sudut bibirmu.

saat itu aku belum bisa menafsirkan apa yang kau maksud. aku masih terlalu bodoh untuk mengerti akan ucapanmu.

"kamu mau pulang?" tanyaku sebagai sebuah respon putus asa.

kau menggeleng. "aku sudah di rumah."

aku memperhatikanmu dengan bingung ketika kau meraih setangkai lili layu dari atas nakas. dirimu menghirup aromanya sejenak kemudian berkata, "aroma menjadi tolak ukur untuk keindahan sebuah bunga, bukan?" kemudian menyodorkan lili putih itu kepadaku. "bagiku itu anggapan yang keliru. apa yang penting dari sebuah bunga adalah makna di dalamnya."

aku menerimanya, kemudian kau beranjak meninggalkanku.

bunga itu tidak memiliki aroma apapun.

-------

aku masih ingat. esoknya kau duduk menghadap jendela yang terbuka, membiarkan angin sore menerbangkan anak rambutmu yang berwarna sekelam malam. aku tak yakin apa yang tengah kau tatap; entah hiruk-pikuk jalan raya yang macet atau matahari yang sebentar lagi hilang dari pandangan.

"kamu tahu aku benci manusia. mereka rakus dan tamak." kau berucap datar.

aku berpikir, ucapan itu ada benarnya juga. tapi mengetahui fakta bahwa kami berdua adalah manusia membuatku melontarkan sebuah pertanyaan konyol, "apa kamu menganggap diriku adalah seekor musang lagi?"

kau menatapku lagi; tatapan yang sama seperti saat kemarin. kemudian kau menjawab, "matahari berbeda dengan manusia."

-------

dirimu penuh enigma. kau pernah berkata kalau ingin terus bersamaku bahkan, sempat melarangku untuk pergi. saat kutanya, jawaban yang keluar darimu adalah,

"dulu kamu terus bersamaku. bahkan saat setangkai anyelir tak berbau seperti biasanya. kenapa sekarang mau pergi?"

walau akhirnya aku tetap pergi sebab tak mungkin aku terus bersamamu karena waktu kita bertemu hanya sebatas satu jam tigapuluh menit. lagipula aku tak tega melihatmu meringis ketika permukaan kulitmu dilubangi dan ditancapkan selang panjang. aku tahu itu menyakitkan, tapi air mukamu tak menunjukkan ekspresi kesakitan apapun selain ringisan kecil. kau benar-benar satu dari sekian banyak gadis yang sangat tegar.

------

apa kau sadar kalau dirimu adalah gadis yang sangat cerdas? bahkan saat awal pertemuan kita. aku ingat betul kau duduk di sudut ruangan bersama dengan kawanmu. aku mulai sering memperhatikanmu semenjak kau mengerjakan soal logaritma di papan tulis yang sumpah aku dibuat pusing olehnya.

aku memberanikan diri untuk menyapamu saat jam istirahat. kau cantik tanpa cacat. namun, dirimu hanya menatapku datar tanpa ekspresi.

"kalau nanti asternya mekar, ayo kita petik bersama!"

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang