Bulan Malam Ini Indah Ya?

13 0 0
                                    

Sudah lama kami tidak bertemu. Dua tahun mungkin? Atau bahkan tiga tahun? Aku tidak tahu pastinya, bagiku terasa seperti sepuluh tahun. Sup tomat yang sudah tersaji sebagai makanan pembuka sudah tidak lagi mengepul. "Ayo makan supnya mumpung masih hangat" adalah kata yang daritadi ingin kukatakan untuk memecah sunyi itu, tapi kalau aku mengatakannya sekarang nampaknya malah membuatku terdengar bodoh.

Hanya alunan lembut musik sunda saja yang mengisi keheningan diantara kami. Senin malam memang bukan waktu biasa orang-orang menghabiskan waktu makan malam bersama di tempat makan di Dago Pakar.

"Rasanya malam ini lebih dingin ya?" akhirnya aku berbicara.

Tah, nyarios ning ayeuna (nah, akhirnya kamu ngomong juga), larik dari musik yang teralun pas sekali dan terasa menusuk dengan keadaan saat itu. Aku yakin pipiku sekarang memerah malu. Aku tahu Rina mengerti Bahasa Sunda.

"Iya, kemarin-kemarin rasanya lebih hangat. Kamu apa kabar?"

Rina mengiyakan basa-basi ku yang basi itu. Padahal jelas dari telefon genggamku yang terletak di sisi meja bahwa malam itu lebih hangat dari malam-malam sebelumnya.

"Baik, kamu gimana?"

"Baik kok."

"Ohiya, ayo makan, nanti supnya semakin dingin."

Lalu dengan demikian, percakapan singkat kita berakhir. Hal yang akhirnya kembali memecahkan keheningan kita hanya suara sendok yang kemudian berganti dengan suara pramusaji yang mengantarkan makanan berikutnya.

"Gimana pekerjaan kamu Za?" tanya Rina memulai percakapan kembali.

Hina sekali diriku ini sebagai laki-laki. Memulai percakapan saja aku tidak mampu.

"Syukurnya lancar kok Rin, kamu sendiri gimana? Kalau tidak salah kamu dapat proyek menerjemahkan novel kan ya?" suaraku terasa kikuk. Mataku bahkan tidak menghadap kearah Rina.

Rina adalah sarjana Sastra Jepang yang sekarang bekerja di sebuah penerbit sebagai alih bahasa. Terakhir kali kami bercerita tentang pekerjaan, Rina dipercaya untuk memimpin tim alih bahasa untuk novel yang akan segera terbit di Indonesia. Sementara aku, ya hanya karyawan biasa saja di divisi RnD. Tidak ada hal prestisius yang bisa aku ceritakan padanya. Terkadang aku merasa gagal.

Aku dan Rina sudah saling kenal sejak kami masih mahasiswa. Kami yang berasal dari universitas yang berbeda berkenalan karena agenda acara lintas kampus. Berawal dari bekerja di divisi yang sama, saat itu ketika rapat Rina sering mewakili pendapatku karena aku merasa malu untuk mengatakannya, kemudian kami semakin sering berdiskusi hingga akhirnya kami mengetahui bahwa kami memiliki hobi yang sama yaitu membaca. Akhirnya kami sering berbincang via media sosial atau pesan elektronik tentang berbagai bacaan, kebetulan kami memiliki minat yang sama, yaitu budaya Jepang, baik itu sejarah, kesenian, ataupun budaya sehari-harinya. Kami bermimpi suatu saat nanti dapat mengenyam pendidikan di sana.

Aku masih ingat satu hal yang membuatku terpana padanya. Saat itu tepat setelah penutupan acara lintas kampus kami selesai. Aku dan Rina memutuskan untuk membeli sekoteng sebagai penghangat di tengah udara malam Kota Bandung.

"Aku dikatai aneh lagi sama teman-temanku." Kata Rina membuka ceritanya.

"Loh kenapa lagi?"

"Iya, pas presentasi pagi tadi, aku sedang membahas budaya bahasa Jepang. Dari zaman sengoku jidai sampai sekarang, aku lebih fokus pada hal dimana para petinggi-petinggi di zaman dulu itu sering sekali memakai perumpamaan, yang menurutku itu indah banget, tapi semakin kesini jarang dipakai. Padahal menurutku perumpamaan atau kata-kata yang tidak langsung itu rasanya bijak banget, bahkan malah romantis." Kata Rina.

Bulan Malam Ini Indah Ya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang