of past memories and a wedding

17.2K 1.1K 60
                                    

Udah kebiasaan kalau yang namanya akhir minggu pasti dimanfaatkan para mahasiswa tahun menuju akhir buat leyeh-leyeh; entah di kosan, rumah atau yang lebih beruntung sikit: apartemen. Seminggu kemarin digeber kelas sana-sini lanjut bimbingan; giliran Sabtu sama Minggu kakinya dimanjain. Rendam air bunga kalau perlu.

Pengennya, Taehyung melakukan rutinitas akhir minggunya juga; minimal mengeluarkan pikiran berat dari kepala. Masih banyak film dan anime hasil download yang belum ditonton, kado novel masih terbungkus rapi sampe ajakan sahabatnya untuk hang out.

Iya, maunya.

Tapi nyatanya bocah itu sedang galau—bahasa terupdate jaman sekarang. Dan sumbernya berada pada selapis kartu undangan yang berdiam cantik di sebelah tumpukan buku di meja belajar.

Taehyung udah usaha ngumpetin benda itu—ditumpuk buku, diselipin di antara bekas boks handphone, mouse, blablabla you name it, bahkan sempat berpikiran buat masukin ke ransel Jimin waktu sahabatnya itu main ke kosan. Hah.

Tapi kemudian nama di depannya tertangkap matanya lagi; lalu Taehyung urung.

(Sebenarnya mau dibuang atau gak pun sama saja. Tanggal undangannya udah ditetapkan, kok. Membuang invitation bukan berarti mantan gebetannya gagal menikah kan—ups).

Jadi berakhirlah Taehyung di ruang makan kosan, sendirian. Jarum jam baru bergeser ke angka sepuluh, dan dia sangsi ada penghuni kosan lain yang sudah bangun di jam-jam ini. Pada hari Minggu.

Susu cokelatnya berangsur hangat terlupakan; secara Taehyung hanya bolak-balik mengaduk isinya yang jelas-jelas dia ambil dari karton susu cair di kulkas.

Acaranya hari ini. Pukul sebelas, tepatnya, pas jam makan siang. Mahasiswa rantau yang tinggal di kosan tentu berpikiran terima kasih Tuhan, makan gratis dan banyak. Tapi menurut Taehyung, datang ke acaranya sama saja dengan menabur garam di luka yang hampir tertutup. Aw. Kata kunci: hampir.

Jadilah dia urung—lagi.

Padahal tadi malam sebelum tidur, hatinya sudah mantap—dan berkat hasil konseling dari teman-temannya pula—Taehyung tidak akan datang. Persetan makan gratisnya; masih ada warung nasi terbaik sepanjang masa di deket kosan yang ikhlas ngasih kasbon kok.

"Lho, Tae? Kok minumannya cuma diaduk-aduk doang?"

Imagine: kalau di film, biasanya backsound music tiba-tiba mati, adukan di gelasnya berhenti, pun wajah karakter utama yang tersenyum tapi lebih terlihat seperti menahan nyeri.

Kurang lebih mirip keadaan Taehyung sekarang.

Ditambah lagi kursi di seberang meja lantas diokupasi. Taehyung yang awalnya pusing mikirin masalah undangan dan segala tetek-bengeknya dalam hitungan detik riweuh dalam hati: ya kok munculnya tiba-tiba begini toh, mas, adek kan kaget.

"Oh, pantesan, mau nyiapin perut buat acara kondangan ya makanya minumnya sedikit-sedikit," sapa suara yang sama; sepertinya sadar akan kehadiran undangan sakral di sebelah gelas Taehyung.

"E—eh, nggak juga sih, mas. Ini aja aku gak tau mau dateng apa engga." Taehyung menjawab; nadanya miris.

"Kenapa gitu? Bukannya enak makan gratis?" Lalu ada tawa yang dilepas—sumpah ketawa aja ganteng, Tuhan. "Ajakin sekalian tuh yang lain, pasti pada seneng ga ketulungan."

Bibir Taehyung dimajukan; tiba-tiba lupa maksimal akan misinya selama ini untuk jaim. Jaim dalam artian untuk di depan orang tertentu sih, yang sekarang ada di meja makan tepatnya.

"Anu ... gitu deh." Hela napas. "Um, histori aku sama dia gak terlalu bagus, jadi ya ... ngapain dateng juga kan?"

Sebelah alis si lawan bicara mengangkat penasaran. "Mantan?"

"Gebetan."

"Oh."

Lalu, hening. Ada suara gedebruk di kejauhan, mungkin Mingyu berguling di kasur lalu jatuh—seperti biasa; karena selanjutnya ada suara misuh-misuh.

"Ya udah, mas temenin kalo gitu. Gimana?"

WTF—boleh misuh nggak sih. Mingyu aja boleh.

"Eh ... emang mas Jeongguk nggak ada acara gitu?" Taehyung balik tanya—walaupun dalam hati auto diiyakan ajakannya. "Aku nggak apa kok, mas. Paling juga nanti bisa ngajak Jimin, atau bang Yoongi. Atau bertiga aja sekalian, hehe."

Di hadapannya, pasang alis Jeongguk menukik. "Nggak papa, toh mas gak ada kerjaan juga," katanya, senyum kecil—ya Lord. "Jam berapa acaranya?"

Taehyung pura-pura nengok ke arah undangannya lagi, padahal dia sendiri udah hafal di luar kepala. Iya, efek menggalau seminggu. Sampai nama orang tua pengantin pun Taehyung hafal mampus sekaligus gelar-gelarnya.

"Jam 11 sih, mas. Aku juga rencananya nggak mau lama-lama. Dateng, salaman, pulang," tambah Taehyung lagi; akhirnya—akhirnya—setelah setengah jam duduk merenung di ruang makan, diminumlah itu susu cokelatnya. He's being petty, he knows. Fakta bahwa dia bakal pergi dengan Jeongguk membuatnya salting plus ingin merajuk.

Taehyung mengangkat pandang waktu kekeh kecil mampir ke telinganya, dan tampak di seberang, Jeongguk menumpu dagu di tangan. "Mau cobain kafe langganan mas kalo gitu? Kalo kamu nggak keberatan aja sih. Tapi misal kamu ada aca—"

"Mau mas!" Taehyung auto kaget sendiri. "Eh, maksudnya, iya mas, mau."

Jeongguk ketawa lagi. "Ya udah, kalo gitu. Mas siap-siap dulu ya, kamu lanjutin sarapannya." Lantas cowok itu berdiri dan tanpa beban mengusak surai Taehyung yang sudah berantakan. "Kamu lucu." Lalu pergi.

Taehyung?

Keselek sendok.

[✓] Sincerely, Yours • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang