Aku tergesa melangkahkan kaki ke luar rumah menuju kampus. Telinga ini sudah tidak tahan mendengar ocehan mbak Iffah, kakak perempuanku. Apalagi kalau bukan mengkritik penampilanku yang ‘suka-suka gue’. Bukan aku rasanya jika kuliah seperti emak - emak mau pengajian di masjid samping rumah, ribet. Masih sempat kucium tangan Mama yang lagi duduk santai di teras rumah sambil menghirup teh (sedikit) pahit hangat kesukaannya, dan mengucap salam sambil berlalu, memasang sepatu di tangga tingkat tiga, teras rumah kami.
“Nggak bawa motor, Dek?” kata Mama, saat aku melenggang jalan kaki.
“Nggak Ma, mau naik bus aja” jawabku singkat dan melangkah pergi.
“Hati – hati Sayang” sayup – sayup kudengar Mama mengucapkan itu, kulambaikan tangan dan kuhadiahkan senyum untuknya.
Bus kampus biasanya penuh sesak di pagi Senin begini. Dan aku sebenarnya paling malas menginjakkan kaki di halte ini, menunggu bus.Kuedarkan pandangan melihat sekeliling halte, penuh dengan mahasiswa dengan gaya khas mereka masing – masing. Ada banyak yang memakai tas gede. Entah apa pula isi ransel – ransel itu, belum lagi kedua tangan menopang diktat – diktat tebal yang menyebalkan. Lebih menyebalkan daripada naik gunung dan diguyur hujan badai saat di perjalanan. Ah, itu khas mahasiswa tingkat akhir. Tak sedikit pula, mahasiswi – mahasiswi dengan rok ala kadarnya, tas ala emak – emak mau arisan, dan ketawa cekikikan bersama teman – temannya. Huh, tambah menyebalkan.
Kusandarkan tubuh di tiang penopang halte, sambil membenarkan letak ranselku. Kulirik penampilanku. Aku memang tidak memakai rok panjang, jilbab lebar, baju longgar ala mbak Iffah dan teman – teman Musholanya. Tapi aku berjilbab, baju juga tidak ketat, berkemeja, dan lepis longgar, sepatu kate biasa. Apa yang salah? Kufikirkan dan kucerna semua perkataan mbak Iffah selama ini, dan yang paling sering diucapkannya “Allah sangat melarang Dek, suatu kaum mengubah kodratnya, kamu itu wanita, cantik lagi, pakai pakaian kaya wanita gih, jangan berpakaian ala lelaki gitu” aku selalu menyeringai tidak jelas mendengar ucapannya itu, dan mengatakan aku nyaman begini.Belum sempat kufikir dan kucerna perkataan mbak Iffah yang lain, segerombolan mahasiswa yang ada sudah bersiap – siap menyambut bus yang akan segera tiba. Banyak yang saling tarik, saling dorong, berebutan ingin duluan ke dalam bus. Aku? Santai, busnya juga tidak akan lari kalau belum penuh, dan prediksiku, semua yang ada di halte ini tidak akan memenuhi bus mahasiswa yang besar ini. Tiba-tiba seseorang tidak sengaja mendorongku dari belakang, dan membuatku hampir jatuh.
“Aaarghhh” jeritku tertahan.
“Maaf Mbak, maaf, tidak sengaja” tangannya meraih tas ranselku, menahannya agar aku tidak jatuh. Segera kukondisikan tubuhku, mengendalikan diri.
“Iya, nggak apa – apa” kuukir sedikit senyum untuknya sambil memerhatikan penampilannya, khas anak Mushola, celana gunung, kaos berkerah, dan tas ransel. Apa iya, begitu ciri khas penampilan anak Mushola, entahlah, yang sering kulihat ya begitu.
Kami semua menaiki bus, bus pun melaju dengan kecepatan standar, dan kelajuan konstan.
*****
Kampus ini memang sejuk, sejuk sekali, di depan kelas banyak pohon – pohon rindang dengan gazebo – gazebo yang sangat pas untuk tempat bersantai menikmati berbagai cemilan saat tidak ada kegiatan. Pun denganku siang ini, kuliah sudah selesai, teman-teman sudah pada pulang, dan aku masih malas untuk pulang. Duduk santai di gazebo akhirnya pilihan terakhirku. Sambil membuka – buka buku agenda milikku yang berisi berbagai rencana ke depan.
“Rim”
Seseorang menepuk pundakku, memanggilku dari belakang.
“Eh Dian. Kenapa?”
“Sendirian aja lu?”
Aku mengangguk. Dian duduk di sampingku, menyeruput minuman yang ada di sampingku. Kutepis tangannya sebagai isyarat jangan dihabiskan. Dia tertawa. Tidak berubah, seperti dulu. Dian temanku sejak SMA, bisa dibilang kita sahabat. Dulu kita akrab, naik gunung bareng, kumpul bareng, dan semuanya bareng. Sampai akhirnya saat di kampus, kita beda haluan, Dian kayak mbak Iffah, anak Mushola dan aku memilih jadi anak alam, maksudnya pecinta alam, seperti dulu.
“Minggu ini nggak muncak?”
“Enggak” jawabku singkat.
“Ikut kajian yuk, di Mushola kita”
“Ah, elu kayak mbak Iffah, nyuruh kajian ini, kajian itu, bikin gue eneg”
“Haha..” dia tertawa
“Lu lucu Rim, masa diajak kajian bikin eneg, lu kan lagi nggak muncak, kuliah juga udah hampir kelar, tinggal ambil hikmahnya doang. Ayolah” lanjutnya.
“Kapan?” tanyaku. Tak kutanggapi kalimat lucunya.
“Kamis, oke? Jam 2. Gue tunggu”
“Insya Allah”
Dian beranjak dari duduknya, dan mengatakan ada rapat BEM. Aku menyeringai, dan mempersilakannya pergi.
*****
Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut Mushola FT, mencari sosok Dian. Sambil memerhatikan semua makhluk yang ada di Mushola ini. Semuanya berpakaian ala mbak Iffah, nyaris tidak ada yang berpakaian sepertiku, selain beberapa mahasiswi yang masih imut – imut yang duduk di barisan sebelah kanan. Mahasiswi baru, fikirku.
Dian melambaikan tangan, tersenyum ke arahku, sambil memberi kode untuk mempersilakan aku duduk di dekatnya. Aku ragu, namun tak urung juga kulangkahkan kaki menuju ke arahnya. Dian sumringah, memperkenalkanku dengan beberapa teman yang ada di sampingnya, mereka menyambut hangat, tersenyum ramah, lega sekali rasanya.
“Dari mana lu? Baru datang?” Tanya Dian.
Aku tersenyum.
“Acara belum dimulai kan ya?” aku balik tanya.
“Iya Rim. Bentar lagi”
Seseorang maju ke depan, membuka acara kajian rutin ini, dan memperkenalkan pembicara yang akan mengisi materi hari ini. Saat orang yang dimaksud moderator muncul di depan dan tersenyum menyapa peserta kajian rutin Mushola, aku mengangkat wajah dan agak terperanjat
“Loh, itu!” gumamku tidak jelas, yang ternyata didengar oleh Dian.
“Iya, pembicaranya kak Ryan. Kenapa? Kenal? Beliau alumni teknik Mesin sini, sekarang jadi asdos, tahun depan katanya mau S2 ke Belanda, dapat beasiswa gitu.” Dian menjelaskan padaku panjang lebar, tanpa diminta.
Aku mengangguk – anggukan kepala. Fikiranku tertuju pada halte bus beberapa hari lalu. Iya, kak Ryan ini yang hampir membuatku terjatuh di halte. Dugaanku tepat, dia anak Mushola. Kak Ryan menyampaikan materi dengan luwes, gaya bahasanya menarik. Acara berjalan dengan lancar.
*****
Kucium tangan Mama yang lagi – lagi di teras rumah saat aku akan berangkat ke kampus.
“Ma, beberapa hari ke depan, Dek Ima nggak pulang ya?” ucapku samar, agar mbak Iffah yang ada di dalam tidak mendengar.
Dek Ima, panggilan rumahku, berbeda dengan teman – teman yang memanggilku dengan sebutan Rim, singkatan dari Rima, lebih tepatnya Karimah. Mama diam, sebelum akhirnya bertanya.
“Mau kemana Dek?” Tanya Mama, agak keras. Dan membuat mbak Iffah yang telah rapi dengan setelan kantornya, keluar rumah, teras depan, bergabung.
“Naik gunung Ma, menenangkan diri” dua kata terakhir yang kuucapkan tentu saja ngasal.
“Nggak boleh!” ucap mbak Iffah cepat dan dengan tiba – tiba, sambil berdiri di pinggiran pintu rumah, melipat kedua tangan. Persis almarhum Papa.
“Dek Ima, nggak izin sama Mbak Iffah” jawabku lancang.
“Pokoknya nggak boleh! Dan kamu nggak boleh ke kampus hari ini, kalau tetap akan muncak”
“Mbak, jangan diktator deh, kali ini saja, tolong jangan mendikteku, layaknya aku anak kecil yang masih harus diurus ini dan itu, aku cuma akan pergi ke gunung sekali ini saja, menenangkan diri, fikiranku ruwet Mbak, bosen dengan semua aturan Mbak masalah hijab, baju dan sebagainya ini, aku bosan!”
Kutarik tangan mbak Iffah, mencium punggung tangannya, tanpa menunggu komentar lanjutnya, dan tersenyum pada Mama. Mama melambaikan tangan, seperti biasa bilang hati – hati. Aku gemetar, seliar – liarnya ucapanku saat berada di alam, tapi tidak pernah ‘liar’ saat berada di rumah, baru kali ini, aku melawan mbak Iffah, sedongkol – dongkolnya aku, sebenarnya aku tak pernah sekalipun menjawab semua omelannya, okelah sebenarnya bukan omelan, tapi nasihat. Kulirik dari kejauhan, samar – samar tertutup pohon – pohon, mbak Iffah mengusap matanya dengan jilbab lebarnya. Mbak Iffah menangis, tangisan pertama yang kulihat, setelah 3 tahun silam, saat Papa meninggal. Duduk di samping Mama, dan berbicara. Entah apa yang dibicarakannya.
*****
5 hari aku tidak pulang ke rumah. Muncak bersama anak mapala lainnya, handphone pun ku nonaktifkan. Saat sedang bersantai duduk di pos sudah mau pulang, kubuka hp. Bergetar. Banyak sekali pesan singkat di hp. Sebagian besar dari mbak Iffah. Kubaca satu persatu.
Kemana Dek? Kenapa belum pulang?
Maafin mbak Iffah ya!
Hati-hati ya Dek!
Dan beberapa pesan lain, sejenisnya. Sampai pada pesan yang baru kudapat, beberapa jam lalu.
Dek, pulanglah, ada orang yang akan datang ke rumah kita besok! Mau melamar mbak Iffah!
Kuulangi isi pesan terakhir. Melamar? Mbak Iffah mau nikah? Tidak pernah ada kata yang terdengar begitu sebelumnya. Tiba-tiba aku merasa sangat takut, takut sekali. Mbak Iffah menikah artinya tidak akan ada lagi yang mengingatkanku di rumah. Bagaimana kalau mbak Iffah tidak tinggal di Jakarta. Aku bergegas, menyapa semua teman di pos, lalu berlalu meninggalkan mereka menuju rumah.
*****
Aku pulang. Rumah sepi seperti biasa. Ada Mama, tersenyum, memelukku hangat.
“Mbak Iffah mana Ma?”
“Di kamar” Mama menjawab sambil tersenyum.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mbak Iffah. Kuketuk pintu kamar mbak Iffah. Pelan. Belum ada jawaban. Sekali lagi kuketuk.
“Masuk Dek”
Suara mbak Iffah. Kubuka pintu perlahan. Masuk dengan malu – malu. Tertahan di pinggir pintu. Kulihat mbak Iffah tersenyum, masih dengan mukenahnya. Dhuha. Iya, mbak Iffah pernah bilang, sholat pagi setelah sholat subuh itu, adalah sholat dhuha. Tangannya memegang al-qur’an. Dia memberi kode agar aku masuk. Kulangkahkan kaki. Duduk dipinggir kasur kamarnya. Diam, sambil menunggunya melepas mukenah.
“Mbak nggak kerja? Ini kan hari kerja!” tanyaku.
“Nggak, Mbak udah resign Dek!” jawabnya enteng, seraya duduk di dekatku.
“Kenapa?” tanyaku penasaran dan sedikit terkejut. Posisi mbak Iffah di perusahaan tempatnya bekerja bukan lagi posisi abal – abal sudah cukup tinggi untuk ukuran orang baru.
“Dengar Dek. Mbak akan menikah, dengan seseorang yang nantinya akan mengajak Mbak mengarungi kehidupan di negara lain. 2 minggu lagi. Maaf, tidak pernah memberitahumu sebelumnya, kita tidak pernah punya waktu bersama untuk sekedar duduk – duduk di ruang keluarga membicarakan aktifitas hari ini misalnya, kamu sibuk, dan Mbak Iffah juga. Maaf Dek untuk selalu mendiktemu menyuruh begini, begitu, dan seterusnya. Mbak nggak bakal ‘memaksa’mu lagi, Mbak cuma ingin adik tersayang Mbak Iffah tidak terjerumus pergaulan yang tidak – tidak, itu saja. Kita memang belum tentu masuk surga Dek dengan mengusahakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah, apalagi kalau cuma sekedar berpakaian syar’i terus kebaikan yang lain tidak dilakukan, tapi apa salahnya terus memperbaiki diri dari hal yang terkecil” mbak Iffah tersenyum.
“Dek Ima yang minta maaf Mbak, nggak pernah nurutin nasihat – nasihat Mbak. Di gunung, aku banyak merenung Mbak, memahami semua nasihat Mbak, Mbak benar, dengan apalagi kita memuliakan Papa, yang ada di alam sana, kecuali dengan menjadi anak sholeha, sholeha salah satunya dengan berpakaian syar’i seperti yang Mbak katakan. Terimakasih Mbak” aku tersedan, baru kali ini aku menangis, setelah kepergian Papa. Kami berpelukan. Menangis bersama. Beberapa menit. Dan kembali melanjutkan pembicaraan.
“Jadi Mbak akan kemana?”
“Belanda Dek, insya Allah”
“Belanda? Menikah dengan kak Ryan?” aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Apa di dunia ini hanya kak Ryan yang akan ke Belanda. Tapi akhirnya benar – benar terkejut saat melihat anggukan kecil mbak Iffah, dan senyum meronanya. Aku ikut tersenyum. Sempit sekali dunia ini ya Allah. Gumamku dalam hati.
“Meninggalkan aku dan Mama?”
“Untuk 2 tahun saja insya Allah, jaga Mama baik – baik ya Dek” mbak Iffah kembali menangis pelan, dan memelukku lagi, layaknya dia akan berangkat ke Belanda sekarang juga. Aku mengangguk pelan. Dalam hati berazzam, untuk segera mengubah penampilan mulai detik ini juga.