Only Then.

7 2 5
                                    

Jimin membuka matanya saat nafasnya terasa sesak.
Ah mimpi itu lagi. Jimin sedikit mengusap matanya yang kabur dan mengambil kacamata di nakas sebelah dan memakainya.

Ia menatap pilu sang istri yang sedang tertidur pulas dengan alat medis penyangga kehidupan yang menempel sempurna ditubuhnya, entah sampai kapan.

Seperti rutinitas pagi yang wajib. Jimin menggenggam erat tangan istrinya Yeonha, membelai rambutnya dan mengecup kening sang istri.

"Selamat pagi sayang. Apa tidurmu ini sangat nyaman sampai kau melupakanku...? Kumohon cepatlah bangun. Aku sangat merindukanmu"

Ia membenarkan kembali selimut sang istri yang masih rapi lalu beranjak dari kursi yang sudah hampir dua minggu ini menjadi tempat tidurnya .

Menuju jendela ruangan. Mengibas tirai dan menikmati pemandangan yang disuguhkan sang semesta pagi ini.

Masih seperti biasa. Pikirannya selalu melayang. Mengingat dulu . Momen manis namun terasa pedih untuk dikenang saat ini.

Ia ingat saat Yeonha menangis dibawah guyuran air hujan yang tidak begitu lebat. Duduk dan Merengkuh tubuhnya sendiri dipinggir jalan yang sudah pucat pasi karena kedinginan. Suaranya yang terbata bata mengatakan.

"Park Jimin. Menikahlah denganku. Mari kita menikah saja."

Terbayang betapa lucunya wajah lugu itu. Jimin tak menyangka gadis sepolos Yeonha bisa mengatakan hal sekonyol itu saat patah hati.


Jimin memasukkan tangannya ke saku celana. Menunduk dan menghela nafas lembut. Lalu menoleh menatap sang istri.

"Kau tahu Yeonha...? Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat aku mengingat ajakan menikahmu. Sungguh itu seperti lelucon. Tapi juga sangat membahagiakan."


Jimin melangkahkan kaki pelan menuju Yeonha. Menatapnya lagi. Berharap ada respon dari sana.

"Tolong... bangunlah sayang.. beri aku kesempatan satu kali lagi. Akan aku ulangi semua dari awal. "

---------------

Jimin berdiri dibalik pintu apartemen. Entah perasaan sesak ini sejak kapan datang. Melihat setiap sudut ruangan yang penuh dengan kenangannya bersama Yeonha.

Jimin berjalan ke arah kiri menuju dapur kecil yang rapi dan sedikit berdebu karena sudah lama tidak ada aktivitas disana.


Menarik salah satu kursi favoritnya untuk di duduki saat makan bersama Yeonha atau sekedar menatap Yeonha memasak . Mengingat lagi begitu bahagia Yeonha saat itu ketika berhasil menyuapi makanan yang ia tidak suka ke mulutnya. Atau saat ia pulang membawa makanan kesukaan Yeonha.

"Jimin-a.. aku suka perhatianmu yang seperti ini. Aku bahagia diperhatikanmu seperti ini."


Jimin menunduk. Menutup matanya lalu Tersenyum perih. Tak menyangka dia akan serindu ini pada sosok yang selalu dia abaikan.



Jimin bangkit dan melangkah menuju sofa panjang yang berada didepan meja makan tadi. .mendudukan diri lalu menyandarkan kepalanya. Ia ingat betul disinilah biasanya Yeonha berbaring merengkuh tubuh mungilnya menahan kedinginan sembari menunggu dirinya pulang.


Tak jarang ia pulang dengan keadaan mabuk. Dan Yeonha tanpa bertanya apapun dengan sabar memapahnya untuk berbaring disini juga. Merawatnya dengan lembut tanpa ada sedikitpun rasa kesal.


Mengingat itu semua membuat dada Jimin semakin sesak. Matanya pun semakin panas.


"Yeonha... istriku... kau tidak boleh meninggalkanku. . Sungguh ...! Tidak boleh. Aku tidak akan melepaskanmu.."



Only ThenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang