Bagian 3

12 1 0
                                    


"Jendral Taeyang!", Niki memanggil. Seperti biasa, orang yang dipanggil hanya memalingkan muka. Tetap saja Niki tidak menyerah. Menurut Alan, Jendral Taeyang memutuskan untuk berdiam di kota ini untuk membantu pembangunan. Bukan karena ingin berbuat baik, ia melakukannya atas dasar rasa bersalah. Kerajaan Tae tempatnya berasal merupakan otak dari peperangan terakhir. Namun tetap saja Niki penasaran dengan Jendral ini. Ia tidak bosan untuk datang dan berusaha mendekatinya. Masih belum berhasil.

Sudah hampir dua minggu Niki berada di Urith. Cuma tinggal beberapa hari lagi sebelum ia harus kembali ke Zepour. Paling tidak, ia mau bisa berbicara normal dengan Jendral Taeyang. Bukannya dibalas dengan ucapan sepatah dua patah kata saja dari Jendral yang kaku itu.

"Tidak baik untukmu dekat denganku.", akhirnya Niki berhasil membuat Jendral Taeyang berbicara lebih dari dua kata padanya!

Niki mengedipkan matanya. "..karena aku perempuan?"

Jendral itu mengangguk. "Aku sudah terlalu tua untukmu.", bukanlah kata-kata yang ingin Niki dengar. Ia bukannya mendekat karena itu, kok! Di dunia ini homoseksual bukanlah hal yang tabu, dan ia masih sangat tertarik dengan, yah. Pokoknya wanita pada umumnya masih lebih enak dipandang daripada pria.

"Jendral!"

"Taeyang.", Jendral itu berkata. "Jangan panggil Jendral. Aku sudah mengundurkan diri dari jabatan itu."

Mulut Niki maju. Ingin sekali ia memutar bola matanya. "Oke, oke. Taeyang. Aku bukannya mendekat karena tertarik padamu, oke? Lagian, berapa sih umurmu?"

"..130."

Hah?

Sebentar. Sepertinya ini informasi baru dan penting. Niki memang merasa bahwa ia tidak pernah melihat orang yang tua setelah ia berada di dunia ini. Kedua orang tuanya juga masih terlihat muda. Tapi sampai bisa berusia lebih dari 100 tahun dan tidak menua itu.. WHAT?

"Niki?"

"Ya?!", suara Niki menjawab terdengar nyaring, tapi ia tidak peduli. Pantas saja Taeyang merasa tidak enak, bahkan sampai sama sekali tidak mau bersentuhan. Tapi tunggu, kalau begitu umur dia jangan-jangan..

"Mengerti 'kan sekarang? Kau bahkan belum 20 tahun, dan belum bertunangan. Jangan mendekat lagi.", ucapan Taeyang menenangkan Niki, tapi ia juga tidak mungkin tidak mendengar nada sedih di dalamnya. Ia mendongakkan kepala, Taeyang jauh lebih tinggi darinya yang cuma sebahu dari Jendral ini. Jelas bahwa Jendral ini berusaha menutupi semua emosi dengan memasang wajah datar. Niki ingat, bahwa meskipun ia bekerja dalam tim, tidak ada yang mau membantu bahkan berbicara dengannya. Sosoknya yang bekerja sendirian terlihat kesepian.

Niki mengerucutkan bibir. "Kalau cuma berteman, 'kan tidak apa-apa.", balasnya tegas.

****

Saat ini Niki sedang asik duduk di bukit padang pasir, tidak jauh dari pusat kota. Tandus, hampir tidak ada tumbuhan di sekitar. Tempat ini sering ia jadikan tempat untuk merenung. Bisa dikatakan, kalau Niki sudah mulai bisa beradaptasi di dunia baru ini. Banyak hal menakjubkan dan tidak masuk akal yang membuat Niki seringkali bisa melupakan dunianya yang dulu. Tapi di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, perbedaan itu hanya membuatnya takut. Ia rindu dengan rumahnya yang dulu. Rindu dengan ocehan ibu, rindu bermain catur dengan ayah, rindu bermain dengan teman-teman.

Ada ranting kering di dekatnya, dan dengan mulut cemberut ia tulis kota yang juga ia rindukan. Jakarta, Indonesia..

"Niki?", suara Taeyang yang memanggil membuatnya mendongak. Jendral itu sudah berdiri di sampingnya, mencermati tulisan yang ada di tanah.

"Tae! Mau ajari pedang sekarang?", Niki memaksa diri menjadi ceria. Tidak seperti Alan, Taeyang bersedia untuk mengajarinya dasar-dasar berpedang. Ia berjanji mencarikan pedang kayu yang sesuai untuk berlatih.

Taeyang mengangguk pelan, masih memandangi tulisan di tanah. "Alan memberitahu kalau kamu senang ke sini."

Niki terkekeh. "Tempatnya enak untuk menyendiri.", ia memberikan alasan. Lagi-lagi Taeyang hanya mengangguk. Tanpa bersuara ia memberikan pedang kayu di tangannya. Tapi saat Niki hendak menggenggam pedang itu, pandangannya menjadi gelap. Ada suara-suara di telinganya. Terlalu berisik..

"Tangannya bergerak! Aku melihat matanya juga mau membuka!"

"Niki! Niki dengar suara ibu, nak?"

"Dokter! Cepat panggil dokter ke sini!", begitu suara-suara di telinganya berteriak. Pedang kayu jatuh menghempas ke tanah. Niki berusaha untuk menutup telinganya, tapi suara-suara itu masih ada.

"Niki?", suara Taeyang muncul, membenamkan suara-suara lainnya. Niki mengerjapkan matanya berulang kali, pandangannya kembali pada bukit di padang pasir. Tangan Taeyang dengan kokoh menggenggamnya agar tidak jatuh. Ketika ia mendongak, Niki baru melihat ada yang berbeda dari mata Taeyang. Ada kilatan merah menyala di matanya.

Cuma sekali Niki pernah melihat kilatan seperti itu, berwarna hijau. Salah satu pelayan di keluarganya sempat tidak sengaja memperlihatkan kilatan hijau di matanya. Tepat ketika ia menemukan belahan jiwanya, dan kilatan cokelat di mata klien ayahnya yang mampir ketika itu membalasnya.

Taeyang.. belahan jiwanya? Tapi kenapa ia tidak merasakan perubahan seperti yang dijelaskan orang-orang padanya ketika kejadian itu terjadi?

Ahh.. yang terpenting sekarang..

"Pulang..", Niki ingin pulang. Pulang pada Alan, pulang pada Mama dan Papa. Ia pasti terlalu lelah sampai-sampai berhalusinasi. Halusinasi yang jahat yang membuatnya berharap bahwa dunia ini hanya mimpi.

Ia bisa melihat otot-otot Taeyang menegang, berusaha menahan diri. Ada ritual yang mau tidak mau harus dilakukan ketika seseorang menemukan belahan jiwanya, sesuatu yang menurut Niki begitu.. mengikuti naluri. Tapi Taeyang dengan sabar dan penuh kontrol diri membantunya berjalan tertatih-tatih kembali pada Alan.

Setelah itu, entah bagaimana, pandangannya mengabur. Yang tersisa hanyalah kegelapan, dengan suara-suara yang saling bersahutan.

****

[BAHASA] Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang