1

384 17 0
                                    

Raka, pemuda berumur 24 tahun itu sudah bekerja disebuah perusahaan iklan terkenal di Jakarta. Orang tuanya sudah meninggal sejak lama, menghidupi diri sendiri adalah tujuan bekerjanya saat ini. Seperti biasa saat siang hari, Raka akan duduk di sudut rumah makan tak jauh dari tempat kerjanya.

Namun, ada yang berbeda di siang ini. Tampak seorang pemuda asing sudah duduk di tempat biasanya ia duduk, sendirian. Raka mendesah kesal saat menyadari tidak ada tempat duduk kosong lagi selain didepan  pemuda asing itu.

"Loh mas Raka? Kok belum duduk?" Seorang pelayan yang sudah hafal menyapanya.

"Tuh, ada orang. Kursi lain ada nggak?" Tanya Raka pada si pelayan. Si pelayan mengedarkan pandangannya sebelum menggelengkan kepala.

"Duduk bareng masnya itu aja nggak papa kan mas?" Tawar si pelayan, Raka mengangguk pasrah, mengikuti langkah si pelayan.

"Maaf mas, masnya ini boleh duduk disini? Karena sudah tidak ada meja kosong..." Pelayan itu sedikit membungkukkan kepalanya sopan.

"Boleh mbak, silahkan mas..." Pemuda asing itu memberikan ijin pada Raka untuk duduk di depannya.

Raka tersenyum tipis sebelum ikut duduk, setelah pelayan pergi, Raka memulai acara makannya. Namun, acara makan Raka harus terganggu oleh panggilan di ponselnya.

"Aish!" Keluhnya sambil menjawab panggilan dengan malas.

"Ya?" Ujarnya saat panggilan sudah terhubung.

"Ka, udah di tempat biasa?" Terdengar suara dari seberang panggilan.

"Udah..."

"Ada tempat kosong buat gue?"

"Nggak ada..."

"Didepan lo nggak kosong?"

"Ada orang..."

"Lo makan sama temen lo?"

"Bukan..."

"Lah terus siapa?"

"Bukan siapa-siapa..."

"Kenalan lo?"

"Bukan..."

"Temen bukan, kenalan bukan, kok bisa makan bareng?"

"Ya bisa lah. Berisik lo! Tinggal sesendok aja ganggu!"

"Heheeee.... Yaudah! Bungkusin ya!  Satu aja nggak usah banyak-banyak! Thankyou bro!" Belum sempat Raka menjawab, panggilan sudah terputus.

"Shit deh nih anak!" Gumam Raka, sebelum melirik kedepannya, pemuda asing itu tampak menahan tawanya.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja! Jangan di tahan!" Bisik Raka membuat Arka merasa sedikit malu.

"Sial! Imut banget sih jadi laki!" Batin Raka sebelum mencari pelayan tempat makan itu.

Setelah menyampaikan pesanan tambahannya, Raka melirik ke piring di depannya, "Kalo udah tinggal sesendok gini, terus di ganggu, rasanya pasti udah beda..." keluhnya dalam hati.

"Mas, saya duluan ya...." Pemuda asing itu membuyarkan lamunan Raka.

"Eh iya..." Raka manggut-manggut saja, namun saat ia melihat pemuda itu, "Sialan! Cantik! Loh! Kok gue deg-degan?" Batinnya sembari menyentuh dadanya.

Raka Dan Arka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang