Ini adalah hari kedua Arka melakukan pekerjaannya di kantor ini. Hari ini adalah hari Sabtu, semua karyawan akan pulang pada saat jam makan siang, dan Arka mendatangi ruangan Raka saat menunjukkan 10 menit sebelum makan siamg, ia tengah duduk didepan meja Raka. Raka masih mengetikkan sesuatu yang penting, dan meminta Arka untuk menunggu sebentar jika ingin berbicara, sebelum ia lupa apa yang harus di ketiknya.
"Oke, sudah. Jadi, kenapa?" Tanya Raka yang sudah menutup laptopnya.
"Nanti malam saya pulang terlambat, ada acara sama teman-teman yang lain. Semisal nanti..."
"Saya nggak boleh ikut?"
"Bukannya begitu, hanya saja...." Arka tampak ragu untuk mengatakannya.
"Oke, hati-hati..." Tanpa menunggu Arka melanjutkan kalimatnya, Raka menyudahi pembicaraan itu. Raka tau, ia tak punya hak untuk melarang atau memaksa Arka. Ia ingat betul jika ia bukan siapa-siapa, jadi hal selanjutnya yang ia lakukan adalah memegang ponselnya, dan menghubungi seseorang setelah kepergian Arka yang terlihat sedikit gugup.
"Karyawan yang lain mau kemana?" Tanyanya saat panggilan sudah terhubung ke David.
"Club malam biasanya, kenapa? Mau ikut lo?" Tanya David iseng.
"Ke ruangan gue sekarang!" Raka langsung mematikan panggilannya tanpa menunggu jawaban dari David.
"Apa?!" David baru saja masuk ke ruangan Raka.
"Lo ikut ke acara nanti?" Tanya Raka.
"Lo? Auw, mood lo lagi buruk?" Tanya David.
Raka hanya menatap tajam ke arah David, jika sudah seperti ini, David tahu betul apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia tak segera meredam emosi Raka.
"Iya ikut, ikut yuk! Sekali-kali..." David menunjukkan senyumnya.
"Oke!" Jawab Raka singkat dan kembali fokus dengan lembaran-lembaran di atas mejanya.
"Arka yang bilang kalo mau ada acara?" Tanya David, Raka mengangguk membenarkan.
"Lo nggak boleh ikut?" Sekali lagi Raka mengangguk membenarkan.
"Lo pengen jaga dia?" Raka reflek mengangguk tapi kemudian ia mengangkat wajahnya, menatap David yang sudah mengangkat sebelah alisnya karena terkejut.
"Lo suka dia?" David bertanya dengan tulus, tak ada nada ejekan, tapi Raka tak berani menjawabnya.
David meraih kursi didepan Raka, duduk terlebih dulu sebelum menjawab, "Nggak papa kalo lo suka sama dia, sekalipun kalian sama-sama cowok. Tapi apa lo sanggup nerima cercaan orang-orang? Kita Jakarta bro! Bukan Australia."
"Lo nggak jijik?" Tanya Raka.
"Jijik? Kayak lo aja di jijikin, gue jijiknya sama orang muna, bukan sama gay. Kita temenan dari SMA, trus kuliah, trus kerja. Bagian mana dari lo yang belum pernah gue lihat? Nggak ada yang jijikin tuh. Gue nggak membenarkan atau menyalahkan gay, gue lebih cenderung masa bodoh. Ngerti?" David menyampaikan pendapatnya, dan Raka mengangguk.
"Lagian, di kantor ini juga ada yang gay kok. Kayaknya nanti dia ikut, kalau sampai dia sama Arka..." David memang berniat menggoda Raka, ingin tau bagaimana ekspresi Raka jika di goda seperti ini.
"Kalo kenapa?" Dapat terlihat jika kedua tangan Raka sudah mengepal kuat.
"Kalo dia deketin Arka lebih dulu, lo kalah telak." David menyeringai, ia sudah mulai tahu jika Raka benar-benar menyukai Arka.
.
.Malam itu, David dan Raka datang bersama. Karyawan yang lain hanya tersenyum, mereka tau jika David dan Raka berteman sejak lama, Raka pun orangnya cenderung santai jika di luar pekerjaan. Jadi, tak ada yang terkejut jika malam ini, Raka duduk di ujung sofa bersama David disebelahnya dan seorang wanita entah darimana datangnya sudah duduk didalam dekapan David.