(37)

3.8K 388 66
                                    

"Kalian jangan becanda lagi, Dek, mana barangnya?" Abang Jaz mengulurkan tangannya meminta barang di dibawa Fara, begitu tujuan tersampaikan, gue langsung nyubit lengan Fara untuk ngajak pulang.

"Kalian udah makan siang? Ayo Abang traktir." Dan Fara langsung mengiakan, ni anaka memang lemah sama yang namanya gratisan, gue juga sih jadi kita berdua langsung ngikut.

"Gimana, enak?"

"Yang gratisan memang selalu enak, Abang nanya kaya kita berdua nggak pernah Abang ajak makan disini aja."

"Kalau kamu mah semua enak Dek, yang nggak enak menurut kamu kan cuma satu, di suruh nikah." Gue langsung tertawa puas mendengarkan jawaban Abang Jaz, memang begini baru bener, sesekali Fara harus kalah telak.

"Kenapa urusan nikah jadi Abang bawa-bawa, lagian ya Bang, gimana aku mau nikah kalau Abang aja belum? Ingat kata Mama, nggak boleh melangkahi yang lebih tua." Kilah Fara yang didengar santai sama Abang Jaz.

"Abang gampang, kamu yang nyusahin." Dan jadilah gue lagi-lagi mendengarkan ocehan mereka berdua sambilan makan, nggak rusuh memang nggak rame kalau mereka berdua lagi ngumpul.

"Bang, apa kata Abang nunggu Kirana jadi janda aja, kan janda semakin di depan tu." Perasaan gue yang awalnya adem langsung berubah keruh begitu Fara ngelawak sekarang, gila banget omongannya, ngelanturnya terlalu jauh.

"Lo kalau ngomong pakai saringan dikit kenapa? Melebar kemana-mana ocehan lo." Selera makan gue langsung hilang tapi untuk makanannya udah habis duluan.

"Ngomong itu pakai mulut mana ada pakai saringan, lagian yang ngoceh juga siapa, gue serius, kalau lo sama Juna pisah ya mending lo nikah sama Abang gue, gue tahu lo gimana, gue lebih tahu Abang gue gimana jadi rasanya nggak ada masalah, jadi lo kalau mau menjanda nggak usah ragu, masa janda lo cuma sebentar soalnya." Wah, gue kehabisan kata sama Fara, gimana bisa gue punya sahabat modelan gini?

"Kalau memang Rana setuju, gaskan." Tiba-tiba Abang Jaz juga nyelutuk kaya gini, dasar mereka berdua, serius sama becandanya udah nggak ada beda.

"Kalian berdua sakit atau memang lagi nggak punya bahan becanda? Kalau orang lain denger dan mikirnya beneran gimana? Nggak takut orang lain salah paham?" Tanya gue yang membuat Abang Jaz sama Fara menghentikan perdebatannya.

Lagian gue masih mikirin nasibnya Abang Jaz juga, gimanapun dia dokter disini, kalau orang lain salah paham kan yang ribet Abang Jaz juga, gue mah gampang, belum tentu setahun sekali kemari, mau orang salah pahampun, gue nggak akan denger apapun.

"Nggak akan ada yang salah paham, kan tinggal bikin nyata aja, nikah sama Abang gue." Jawaban Fara masih pakai semangat empat lima.

"Maksudnya apa? Nikah? Lo lupa Rana istri gue sekarang?" Kehadiran Juna yang membuat suasannya langsung berubah, perasaan gue belakangan Juna sama Abang sering banget ketemu, beneran kebetulan atau gimana?

"Istri? Tapi lo kan punya selingkuhan, kalau lo bisa sesuka hati ketemu sama perempuan lain, kenapa Rana enggak? Kalau lo bisanya nyakitin ya wajar dong Rana nyari bahagianya sendiri, gue mau yang terbaik untuk sahabat gue." Fara nggak mau kalah, nggak ada lagi embek Kakak Adik kayanya, tatapan mereka berdua aja udah nggak bener.

"Ini ni nggak bagusnya masalah rumah tangga di ceritain sama orang luar, sok tahu jadinya, lo nggak paham masalah gue sama Rana jadi nggak usah sok bener." Gue langsung bangkit begitu Juna mengeluarkan kata-kata kaya gini.

"Baru sekarang lo bisa ngomong begini, kenapa? Karena udah sadar kalau diri sendiri salah? Iya?" Gue nepuk lengan Fara untuk nggak ngelanjutin apapun, kenapa masalah gue sellau dibahas di luar? Orang pada liat.

"Jadi ini yang dibilang sebagai sahabat? Kalau sahabat itu ngasih saran yang baik, bukan malah nyuruh pisah sahabatnya, sahabat apa kaya lo gini?" Duh omongannya malah makin kemana-mana, gue belum pernah ngeliat Juna sama Fara berdebat sampai kaya gini, kalau mereka berdua berdebat terus ribut, yang susah itu gue.

"Ya wajarlah gue suruh pisah kalau suaminya modelan lo, kalau gue suruh Rana bertahan, sesat dong gue." Balas Fara menertawakan Juna, yakin kalau keadaannya makin nggak bagus, gue udah nahan lengan Juna untuk nggak membalas apapun lagi, jangan di perpanjang, mau sampai kapan ribut-ribut kaya gini.

"Dek! Mulut kamu." Kali ini Abang Jaz yang nyoba nenangin Fara, nggak enak ribut-ribut di luar, melihat Abang Jaz berhasil nahan Fara, gue harus menjadikan ini kesempatan untuk pergi lebih dulu.

"Ayo pulang." Ajak gue cepat, Fara ada Abang Jaz, gue cuma perlu ngajak Juna pergi ninggalin tempat ini sekarang juga.

"Dan untuk lo, nggak usah mimpi bisa nikah sama Kirana, dia istri gue, milik gue." Juna memperingati Abang Jaz, gue mukul lengan Juna keras begitu ngomong kaya gini sama Abang Jaz tapi kayanya Abang Jaz cukup bisa bersabar, terlihat dari tatapannya ke gue, gue berterimakasih.

"Ran, sebelum lo ajak suami nggak guna lo pulang, lo nggak mau nanya dia kesini sama siapa? Noh selingkuhannya nungguin." Fara menunjuk ke arah lain dengan dagunya, mengikuti arah pandangan Fara, gue tersenyum miris dan melepaskan tangan Juna gitu aja.

"Harusnya gue yang sadar diri lebih cepat, hubungan kita berdua nggak akan berhasil Jun." Gumam gue tersenyum perih, dari awalnya harusnya gue nggak berharap dan nggak perlu berjuang, beneran buang-buang waktu dan tenaga soalnya.

"Ran, aku bisa jelasin, tadi Dewi ngabarin aku kalau perutnya dia sakit jadi aku cuma nganterin dia ke rumah sakit, terus tadi tiba-tiba dia pingsan jadi aku__"

"Lo nggak perlu jelasin apapun lagi, gue capek, gue beneran capek Jun." Gue nggak butuh alasannya Juna karena bagi gue mau alasan apapun intinya tetap sama, Juna masih sangat peduli sama Dewi dan gue nggak akan pernah punya kesempatan.

"Ran, kenapa kamu ngomong kaya gini? Aku__"

"Sayang, ayo pulang, aku masih pusing banget." Kali ini bukan gue tapi Dewi yang motong ucapan Juna sembari menggandeng lengan Juna tepat dihadapan gue.

"Ini yang aku maksud, kamu lihat keadaan kita sekarang, aku berdiri sendiri dan kamu selalu punya pilihan kamu sendiri, aku capek." Berjuang sendiri itu lebih melelahkan, bego malah.

"Arjuna Pradipta, ayo berpisah." Ini adalah pilihan terbaik untuk kita berdua, nggak perlu ada ribut-ribut lagi, gue capek, gue lelah.

"Rana! Aku nggak akan pernah ngelepasin kamu." Juna kembali menggenggam tangan gue tapi nggak berusaha melepaskan genggaman Dewi di lengannya.

"Gue capek, lo paham nggak?" Bentak gue cukup keras, gue udah nggak peduli sama pandangan orang lain.

"Kalau begini cara lo memperlakukan istri, lebih baik lepasin Rana dan biarin dia jadi milik gue." Abang Jaz menurunkan paksa tangan Juna di lengan gue.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang