Tring
Sebuah pemberitahuan muncul di layar gawaiku. Rupanya pesan dari salah satu aplikasi ojek daring. Aku baru saja memesan makanan lewat aplikasi tersebut.
OK. Posisi sesuai di aplikasi kan, Mba?
Tanpa berpikir lama, jariku lincah mengetik balasan.
Betul, Mas, sesuai titik di aplikasi.
Selang beberapa menit kemudian, kembali sebuah pesan masuk di aplikasi tadi.
Mba, yang biasa, spesial, atau istimewa?
Mas, saya nggak suka yang biasa-biasa.
Aku membalas dengan asal. Perutku sudah keroncongan.
Oke, Mba. Berarti yang dua atau tiga, kan?
Lagi-lagi tukang ojek daring itu mengirim pesan.
Mas, saya pesennya satu doang. Jangan-jangan Mas pendukung poligami, ya? Pake nanya dua apa tiga.
Tak lama kemudian muncul kembali pesan baru.
Itu saya cuma nyampein kata penjualnya, Mba.
Alasan saja. Tak sabar aku meladeni pertanyaan demi pertanyaannya. Kembali jempolku beraksi menulis jawaban.
Cepetan, Mas, saya lapar. Tanya ke penjualnya aja yang paling laris, pesan yang itu. Biar saya juga cepet laris ini.
Cukup lama diam, akhirnya tukang ojek itu kembali mengirim pesan.
Baik, Mba. Saya doain cepet ketemu pangeran tampan, biar nggak jutek kalo ditanya sama tukang ojek.
"Lah ni tukang ojek rese banget dah. Awas aja, ntar nggak bakal gue kasih tip," kataku kesal membaca balasan terakhirnya.
Aku menggigit jari-jariku, sengaja agar tidak memegang ponsel dan memperpanjang pesan-pesan si tukang ojek daring. Bisa-bisa semakin lama pesananku akan sampai.
Dua puluh menit berselang, aku mengambil gawai untuk memeriksa posisi tukang ojek daring yang membawa makananku. Namun, mataku teralihkan pada nama dan foto si tukang ojek yang terpampang di aplikasi.
"Abi..., Hmmm fotonya boleh juga. Mirip sama Abimana Aryasatya," gumamku.
Pesanan selesai dibuat. Pengemudi sedang mengantar pesanan Anda.
Aku mengangguk senang membaca keterangan yang tertulis di aplikasi. Lidahku berdecak, membayangkan kriuk, gurih, dan empuk menyatu lezat di mulut.
Beberapa menit kemudian terdengar suara seseorang mengetuk pagar rumah sambil berseru, "Permisi, Go Food."
Segera aku bangkit lalu berjalan ke depan. Tepat ketika aku membuka pintu depan, tampak sebuah kepala memakai helm berwarna hijau menyembul dari balik pagar. Kepalanya menyerupai seekor kadal raksasa.
Aku terpaku di tempat, melongo menatap tukang ojek daring yang fotonya mirip aktor ganteng Indonesia.
"Go Food," ulangnya sembari menenteng kantong plastik berisi pesanan makananku.
"Mas Abi?" Akhirnya aku berhasil bersuara. "Kok beda sama difoto?!" tanyaku sambil bolak-balik melihat penampakan di depanku dengan foto di aplikasi HP.
"Anu, Mba. Saya terkena kutukan, kalo siang jadi biawak," jawabnya malu-malu. Sesaat ia memandangku, kemudian bertanya," Mba mau saya cium supaya kutukan saya hilang?"
Buru-buru aku menyambar makananku dan membayarnya sebelum aku jatuh pingsan.
YOU ARE READING
Mas Abi Si Abang Ojek
Short StoryMeme bisa menyiratkan banyak makna. Namun, hanya satu kisah yang tercipta. Maukah kau masuk dan menikmatinya?