Part 1. PROLOG

3.7K 535 15
                                    

"James, bisakah aku tinggal di sini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"James, bisakah aku tinggal di sini?"

James, pria tampan berusia 27 tahun dengan potongan rambut ala Mr. David Beckam  itu menatap dua buah koper besar berwarna cokelat tua yang membisu di samping tubuh seorang gadis yang baru saja--dengan suara bass-nya --mengajukan sebuah pertanyaan yang seketika membuatnya maklum.

"Kau keluar dari asrama?"

"Iya James. Aku tidak bisa lagi berdamai dengan teman sekamarku. Kau tahu bukan?"

Alis cantik yang membingkai dua bola mata besar berwarna hijau itu bertaut. Lalu bola mata cantik itu memicing. Seketika James tertawa.

"Teman sekamarmu itu masih saja bermain games sampai pagi?"

Gadis itu mengangguk.

"Dia sudah lima kali mengundang kekasihnya untuk tidur di kamar kami dan...mereka berisik sekali...kau pasti tahu apa yang aku maksud, James...oooh..."

James mengangguk maklum. Yang dimaksud gadis di depannya adalah bahwa teman sekamarnya di asrama mahasiswa itu berani menyelundupkan kekasihnya dan mereka bercinta dengan suara berisik. Sungguh malang gadis itu.

"Seminggu lagi akan ada konser band ternama di stadion depan. Kurasa tidak aman untukmu tinggal di kafe ini."

Bahu gadis berambut cokelat di depan James itu luruh.

"Kau bisa tinggal di apartemenku." James menenangkan.

Gadis itu menggeleng.

"Aku tidak ingin memantik perang dunia ketiga dengan tunanganmu yang segalak singa betina itu, James."

Tawa James meledak.

"Baiklah Lara...kau boleh tinggal di kafe ini. Tapi berjanjilah, kau harus mengungsi ketika konser itu digelar minggu depan."

"Baiklah, James. Kau terbaik..."

James Bughman menepuk dadanya keras sembari berdiri dari duduknya.

"Aku memang baik."

Lara Elizabeth Jennings.

Tidak pernah mengingkari kebaikan hati James--sang bos--, pemilik kafe tempatnya bekerja. Sekalipun kali ini Lara menggerling menyangkal ucapan sombong James, itu tidaklah selaras dengan hatinya yang penuh dengan pengakuan. Bahwa James adalah pria yang terbentuk dari susunan material kekasih yang diidamkan banyak gadis. Sungguh, kekasih James kurang bersyukur atas hal itu.

"Terima kasih, James."

"Sama-sama, Lara. Jaga dirimu. Kau tahu bukan tentang rumor bahwa kafe ini dijaga oleh perjaka patah hati dan mati karena bunuh diri? Jangan kaget kalau nanti dia akan menemanimu tidur..."

"Ooooh...dan kau percaya itu?"

James berjalan ke arah pintu kafe setelah mengacak rambut Lara hingga berantakan. Di tengah pintu yang terbuka...James masih menyempatkan diri membuat suara hantu yang mengerikan sebelum akhirnya pria itu terbahak dan menutup pintu.
Lara tertawa dan mengusap tengkuknya. Dia menatap keluar dan melihat James membuka pintu mobilnya dan mobil itu berlalu meninggalkan jalan depan kafe.

Lara menghela napasnya pelan. Dia berbalik dan menyeret kopernya ke arah bagian belakang kafe. Bunyi roda koper yang beradu dengan lantai kayu berkualitas terbaik menciptakan bunyi nyaring yang memecah sunyi. Lara mendorong sebuah pintu.
Pintu terbuka dan aroma jeruk menyergap. Kamar itu adalah satu diantara dua kamar yang disediakan James untuk beristirahat para karyawannya. Dan pada kenyataannya, kamar itu adalah dewa penolong bagi mereka yang tertimpa masalah. Lara ingat bagaimana Noah, teman sesama karyawan di kafe itu, memakai salah satu kamar selama nyaris hampir sebulan lamanya setelah dia diusir dari kediaman orang tuanya.

Lara tersenyum masam. Malam ini giliran dia yang mengalami kerumitan hidup. Dia harus mengalah demi agar tetap waras. Sangat sulit bagi mahasiswa penerima beasiswa seperti dirinya untuk menikmati haknya sebagai manusia dengan predikat mahasiswa yang mendamba sebuah ketenangan. Semua tidak akan dimilikinya ketika teman sekamarnya adalah gadis seperti Stevie yang tidak tahu apa itu hak asasi manusia. Stevie, dia sangat brutal. Dia suka berpesta. Dan di saat pesta usai, gadis itu menghabiskan malamnya dengan bermain game hingga dini hari. Lara mencoba maklum. Tapi tidak setelah nyaris satu semester mereka berbagi kamar. Lara memutuskan pergi. Dia mengakui bahwa ketabahannya tidaklah begitu baik. Dia tidak bisa menghadapi tingkah Stevie yang seperti itu. Atau setidaknya, dia mencoba tetap waras dan tidak ingin mempertaruhkan masa depannya suram hanya karena jam tidurnya yang kacau balau hingga dia merasa tidak pernah berada dalam kondisi fit untuk menghadapi hari-harinya berkuliah. Dia tidak ingin beasiswanya dicabut karena nilainya hancur.

Lara menghela napas. Dia memutuskan untuk menyudahi kekesalannya pada Stevie. Dia berasal dari utara. Kearifan lokal masih menempel kuat di hatinya. Setidaknya pelajaran memaafkan yang diajarkan oleh almarhum kedua orang tuanya menjadi pegangan hidup yang sangat erat menempel dalam setiap tingkah lakunya.

Lara meregangkan tubuhnya.
Hal terakhir yang dia lakukan di asrama tadi setelah membereskan barang-barangnya adalah mandi. Dan sekarang Lara mensyukuri hal itu. Dengan cekatan dia mengganti seprei ranjang di kamar itu dan merebahkan diri. Lalu dia memikirkan hal-hal yang tidak penting.

Konser band The Calling.

Lara menyukai band itu. Menyukai setiap lirik sederhana yang dinyanyikan oleh vokalisnya. Menyukai dinamika musik yang tercipta dari petikan gitar dan bass para anggota band. Juga betapa garangnya pemukul drum band itu.

Lara tertawa pelan.

Dia memiringkan tubuhnya dan mencoba untuk memejamkan mata. Tidak ada kelas hingga musim panas berakhir nanti. Dia ingin bekerja keras. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Sekalipun sebanyak apapun, dia tidak akan sanggup membayar harga tiket band The Calling itu.

Tidak apa-apa.

Mereka sudah memberi begitu banyak lagu indah yang bisa dinikmati tanpa harus menonton konser mereka secara langsung.

*

🌸
NIKEN ARUM

OmeletoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang