"What happen with people these day?!"
Ivo memejamkan matanya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rasa kesalnya beberapa hari ini tak bisa ditahan lagi. Desakan orang tuanya. Dan orang-orang asing yang tiba-tiba datang di kehidupannya akhir-akhir ini membuatnya sudah cukup naik darah. Tria-temannya, menatap Ivo bingung. Belum sempat bertanya, Ivo sudah melanjutkan kalimatnya.
"Gue gak suka kalo orang cuma dinilai dari ucapannya doang! Maksud gue, misal nih ya, lo jelasin pengetahuan lo tentang a,b,c. Lo paparin tuh semua pendapat lo. Terus tiba-tiba orang yang dengerin lo nganggep lo sangat mumpuni dengan apa yang lo jelasin. Padahal, sebenernya lo cuma tau doang dan belum tentu juga mampu lo aplikasiin."
Terkejut memang, datang-datang Ivo memulai obrolannya langsung ke topik. Tanpa aba-aba. Dia tahu temannya itu sedang marah dan sedang tak ingin berbasa-basi. Walaupun dia sudah bisa menebak inti masalahnya apa, tapi tetap saja dia penasaran dengan kasusnya.
"Gue setuju sih. But, kita gak usah munak untuk yang namanya penilaian awal. Walau sebenernya untuk penilaian selanjutnya belum tentu sama, tapi kita gak bisa menghindar. Tinggal milih aja sih, mau percaya di penilaian awal atau milih untuk lebih banyak riset lagi sebelum percaya? Kalo gue mending yang kedua. Kecewa itu gak enak."
Tria menahan diri untuk tidak menanyakan langsung kasus apa yang dialami oleh temannya ini. Ia ingin tahu sejauh lebih dalam. Karena baginya, orang akan lebih leluasa curhat tanpa banyak ditanya tentang inti masalahnya. Itu hanya akan membuat lawan bicara kita terintimidasi dan berantisipasi untuk menyembunyikan part tertentu dari ceritanya. Biarlah mengalir saja.
"Nah, itu maksud gue. Aneh aja gitu. Kan bisa jadi kita tau sesuatu secara dalam yang alhasil dijadiin 'pegangan' sama orang-orang, cuma dari riset sana sini, analisis doang, tanpa pernah ngalaminnya langsung."
Kali ini Tria tak ingin menyembunyikan rasa penasarannya. Bukannya apa, dia hanya tak mau salah merespon. Jika salah memberi tanggapan, malah bahaya. Tria bisa jadi sasaran amarah Ivo selanjutnya. Setelah dirasa cukup aman, dia pun mulai bertanya.
"Btw, lo kenapa ngomongin ini, sih?"
Ivo menggigit bibir bawahnya pelan. Nampak ragu, tapi apa boleh buat, dia butuh tempat untuk menampung kekesalannya.
"Gue... diajak nikah."
Hening. Beberapa detik kemudian...
"Ppffftttt... haha," Tria tidak bisa menahan tawanya. Untung dia bukan titisan gordes, sehingga tawanya tak sampai memekakkan telinga pengunjung cafe tempatnya saat ini.
"Terima konsekuensi, dong! Anggap aja mereka nantangin lo buat praktekin konsep nikah yang lo pahamin itu. Haha."
Ivo nampak kesal, lalu berdecih pelan. Diketuk-ketukkan jarinya di atas meja. Melihat kopi di depannya, tak membuat Ivo berselera.
"Yaela tong! Kalo nikah segampang itu, dari dulu gue udah nikah mereun. Lagian harusnya mereka tuh paham dengan gue paparin konsep nikah yang menurut gue sangat-sangat sacral itu, mereka gak akan dengan gampangnya ngajak gue nikah."
"Ya, bukan salah mereka juga kali. Semua orang butuh pembuktian, Vo."
----
Sekali lagi Vina tercenung. Di atas atap kantornya, asap bergemul di udara. Tembakau yang saat ini ada di sela jarinya, tak bisa menenangkan pikirannya. Sudah setengah jam yang lalu dia disana. Tapi, tak ada terlintas hal baru di pikirannya selain obrolannya dengan Tria beberapa hari lalu. Ia masih ingat betul percakapan itu.
Semua orang butuh pembuktian...
Ya, dia tahu bagaimana dulu temannya di bangku SMA pernah protes karena nyaris setiap hari Ivo selalu mengirim pesan broadcast berisi kata-kata mutiara, ayat al-quran, ataupun pesan-pesan kebaikan lain. Temannya bilang, "aku belum tentu bisa mengamalkan apa yang aku tahu. Karena itu jangan bebani aku dengan ilmu."
Ya, temannya itu berpikir bahwa yang Ivo kirim adalah ilmu baru baginya. Ivo sempat mengernyit heran saat itu. Lah, bukannya bagus kalo kita banyak ilmu? pikirnya. Tapi ternyata tak sesimpel itu.
Ternyata ketakutan itu kini Ivo rasakan juga. Saat semua orang menuntut pembuktian dari ilmu yang kita punya. Semua orang akan memandang kita. Menanti kita melejit dengan amal. Dan bagi Ivo itu beban.
Yah, tak masalah jika kita banyak tahu. Tapi yang jadi bahan pemikiran Ivo sekarang adalah dia tidak bisa diam saja saat tahu ini itu. Dia akan mengungkapkannya pada dunia. Tentang pemikirannya, analisisnya, pengetahuannya, dan ketertarikannya pada segala hal, tapi ternyata apa yang dia ucapkan seolah jadi bumerang untuk dirinya sendiri, karena tidak semua yang dia ucapkan pernah dialami.
Sekarang, ketika banyak orang meminta pembuktian, mampukah ia? Meski hingga saat ini Ivo tahu dengan konsep "Apa yang sampai pada kita, pasti kita mampu menjalaninya."
Tapi masalahnya Ivo sendiri merasa tabu, maksud dengan "mampu menjalani" itu seperti apa. Karena banyak orang yang diuji lalu malah berujung depresi, bertindak jahat, dan banyak hal lain yang membuatnya tak yakin dengan "mampu menjalani" yang dimaksud.
Mampukah ia mengaplikasikan pemikirannya?
YOU ARE READING
Evidence -Seri Anomali-
General FictionKatanya, setiap ucapan butuh pembuktian. Maka salahkah jika seseorang mengungkapkan sesuatu namun belum pernah ia alami sebelumnya?