Aku kehabisan kata. Kali ini memang sungguh tidak bisa kupaksakan lagi. Tidak bisa dihidupkan lagi. Kadang ada saat di mana aku berusaha sampai menembus batas kemampuan dan perkiraan orang lain. Kali ini aku berhenti. Aku berhenti bukan karena aku kehilangan semangat pantang menyerahku, melainkan ada hal klasik yang memang sungguh belum bisa dibongkar.
Kurebahkan diriku di atas kasur lapuk di kamarku. Kamar yang kalau kau lihat mungkin akan segera pergi entah ke mana, kamar yang aromanya sudah mengalahkan aroma sampah busuk di depan kontrakan. Aku juga sudah lupa berapa lama kubiarkan kamarku tidak teratur. Mungkin sebelum natal. Oh iya, aku ingat, pada tanggal 22 Desember, di malam hari, di hari Ibu.
Membaringkan badan yang lelah ternyata gampang, tetapi membaringkan pikiran dan jiwa yang lelah dengan banyak hal ternyata sulitnya, bisa sama sulit mengerjakan soal filsafat metafisika di kuliahan dulu. Pikiran masih saja dengan liar ke mana-mana, sesuka hatinya. Sukar sekali kutangkap. Aku hanya memikirkan kejadian yang sudah lewat. Ah, kisah yang kubangun dengan susah payah, hancur dalam sehari.
Kenangan saat-saat pertama berjumpa terlintas kembali saat berbaring. Aku ingat saat aku mulai jatuh hati. Aku ingat senyuman polos dan girangmu waktu itu. Senyuman yang tidak dibuat-buat seolah bahagia seperti saat ini. Semuanya masih dengan jelas ada di kepalaku.
Bosan berbaring dan tidak bisa tidur-tidur, kulangkahkan kakiku menuju jendela kamar. Di sana, ada sepotong kisah juga yang lewat. Kisah saat kunyatakan cintaku dan ditolak. Lalu aku tidak berhenti. Aku tetap berusaha dekat denganmu dan mendatangimu jauh dari kota tempat aku kuliah. Aku hanya mau menjukkan bahwa aku baik-baik saja dan tidak kurang satu apa pun saat kau tolak. Tapi ternyata ini kesalahan terbesarku, kubiarkan aku dan juga kau menjadi semakin dekat, semakin nyaman.
Sebulan kemudian, kau gantian mengunjungiku di kotaku. Di kotaku, kamu mengukir kisah. Kisah itu pun berlanjut. Kita lalu menjalani hubungan tanpa status, hubungan tanpa ikatan, model hubungan yang tren digandrungi orang pada zaman ini.
Maish di jendela kamar, kenangan saat kau desak aku cepat pulang ke kotamu terlintas. Saat itu, aku baru saja menyelesaikan ujian skripsiku dan yudisium. Sebelum pulang ke kampung halamanku jauh di timur sana, kusempatkan diriku untuk izin padamu. Aku ke kotamu karena segudang rindu sudah kau tabung, segudang rasa ingin kau lepas. Mungkin juga aku mengalami hal yang sama.
Aku berlibur. Dari kotamu, kau desak supaya aku cepat pulang dan bekerja di kotamu, bersama-sama merancang masa depan. Bersama-sama berjuang memperjuangkan rasa dan ikatan yang sudah kita tingkatkan ke status pacaran. Liburanku pun berlalu begitu saja. Aku tiba di kotamu sebagai pencari kerja baru.
Kupindahkan badanku ke kursi tua di depan meja kecil di kamarku. Aku ingat akan sejuta rencana masa depan terbingkai saat kutuliskan lamaran kerja, dan ada sejuta dukungan serta motivasi darimu. Aku makin bersemangat.
Kemudian kupegang patung kenangan Wisuda di atas mejaku. Aku ingat saat kau marah karena aku tidak membalikkan badanku menoleh padamu saat masuk pintu Kereta. Saat kau dengan sepihak menyatakan itu sebagai bentuk bahwa aku sudah tidak cinta.
Wisuda selesai. Kini aku mengelus dadaku sendiri. Ah, tak sadar aku kalau sekarang aku sudah jadi pegawai di salah satu Kantor. Mulai bekerja dan sejak itu semuanya mulai berubah. Ada begitu banyak perubahan yang kualami. Kau tidak pernah lagi menyinggung soal masa depanku, masa depan kita, soal pekerjaanku, soal tabungan masa depan. Kau berhenti berkisah padaku. Aku tidak peduli, selama cintaku masih ada, aku masih akan mencinta dengan tulus.
mencinta dengan tulus ternyata sebuah usaha yang hanya akan menghasilkan sakit. Mungkin saya setuju dengan Ibu Theresa bahwa mencinta sampai anda tersakiti, mencintai sampai lupa bahwa saya sedang mencintai seseorang dengan tulus. Iya, tulusku berujung sakit. Itu pembelajaran buatku. Apa Aku berhenti mencinta dengan tulus? tidak! Aku akan semakin tulus mencinta.
Perlahan-lahan kutinggalkan meja tua itu, lalu menghampiri satu kardus kecil di sudut kamar. Kuangkat kardus itu lalu dengan langkah goyah, aku berjalan menuju pintu kamarku. Kuletakkan kardus dengan seluruh isi kenangan di dalamnya di luar kamarku. Terserah siapa mau mengambil apa. Terserah siapa mau mengapakan kardus itu. Aku sudah meletakkannya di luar pintu kamarku. Di luar diriku, di luar jangkauanku.
Pintu kamar bergerak pelan menutup dengan sedirinya. Aku masuk dengan senyum hampa lalu membuang badanku di atas kasur. Kali ini aku tertidur. Harapanku hanya satu: semoga aku dan pemilik kenangan dalam kardus sama-sama bahagia dengan pilihan dan keputusan ini.
Curhatan seorang Sahabat...
Di sudut sebuah meja, 12 Januari 2017, 11:49 WIB.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita - Refleksi
Short StoryKisah nyata dengan bumbu imajinasi. Imajinasi dengan bumbu realitaa.