Papan karton berukuran 35 x 30 senti meter menaungi sebuah replika rumah pohon masa kini yang terbuat dari stik eskrim berlapis cat pastel muda. Modelnya sederhana, menggunakan miniatur pohon mapel plastik berdahan dua. Bentuknya seperti huruf ‘Y’ besar, dengan tiga lantai. Masing-masing lantai serupa mezanin terbuka yang terhubung dengan tangga kayu. Ruang utama yang menjadi pusat rumah pohon itu terdapat di bagian puncak, yang menjadikan kedua batang sebagai tiang penyangga kokohnya.
Mendekati sentuhan akhir, Uchiha Sasuke berpikir untuk menambahkan ayunan kecil sebagai penghias di sisi kiri pohon yang memang kosong.
Pertama-tama Sasuke membuat dudukan dari sisa stik kayu yang sudah terpotong, merapatkan tepiannya menggunakan lem, dan memberi sebuah lubang di masing-masing sisi. Rangkaian stik kayu yang sudah jadi kemudian mulai dijalin dengan benang rajutan berwarna coklat tua, diberi hiasan kertas karton hijau yang sengaja ia potong halus serupa dedaunan rimbun. Potongan-potongan itu ditempel di sepanjang benang serupa akar, yang tiap ujung satuannya akan diikatkan ke bagian ranting membentuk sebuah ayunan mungil.
Sasuke tersenyum puas. Akhirnya tugas ini selesai tepat waktu. Lehernya kaku dan sedikit berderak ketika ditolehkan. Melirik ke arah jam, pukul 23.47, hampir lewat tengah malam.
Sepintas, suara gesekan engsel dan decit pintu pada lantai mengalun di antara sunyi. Tanpa menerka, Sasuke tahu siapa yang baru saja pulang di jam-jam segini.
Itu pasti Ayahnya. Ayahnya yang seorang pekerja keras sejati.
Sasuke meninggalkan kursi belajar hanya untuk berjalan ke luar kamar. Menemui pria usia kepala empat yang sedang duduk di depan pintu melepas sepatunya.
“Papa ingin aku siapkan air hangat untuk mandi?” tanyanya, bersender di dinding.
Pria itu―Uchiha Ashura, menoleh sekilas dan menggeleng. “Tidak perlu.”
Sasuke melipat tangan di depan dada. “Tidur dengan tubuh berkeringat itu tidak nyaman.”
“Nyaman atau tidak, bagi seseorang yang kelelahan tidak akan berpengaruh apa-apa.”
“Oh, ya, benar juga. Papa kan seorang penggila kerja,” sindirnya, “Pulang tengah malam hanya untuk tidur. 5 jam kemudian berangkat lagi.”
“Tidak ada gunanya kau mengomel.” Ashura mendengus, melewati tubuh Sasuke yang berdiri di antara pintu masuk ruang tamu dan dapur, yang sekaligus menyatu dengan ruang makan. Rasa dahaga yang menyekat di tenggorokan menuntun langkah Ashura mendekati kulkas berpintu ganda. Tanpa memilih, Ashura menarik sebuah botol air dingin dan langsung menenggaknya sampai tandas. “Kenapa kau belum tidur?” Sisa-sisa air menuruni dagunya ketika melepaskan mulut botol. Ashura menyekanya menggunakan punggung tangan.
“Aku baru saja selesai mengerjakan tugas kuliah.” Sasuke memerhatikan punggung Ayahnya yang lebar dan membekas cetakan keringat di punggung kemejanya.
Pria itu menghampiri keranjang sampah, membuang botol kosong yang sudah habis ditenggaknya tak bersisa.
“Biasanya Papa tidak pernah bertanya. Tumben sekali,” sindirnya lagi, tajam.
Ashura terkekeh dan membalik badan. “Kau mulai secerewet Ibumu.”
Sadar atau tidak, Sasuke menangkap ekspresi terluka di wajah tampan Ayahnya.
“Tidurlah, ini sudah malam. Tugas seperti apa yang membuatmu begadang sampai selarut ini.”
“Aku ini sudah semester tiga. Tentu saja tugasnya semakin rumit. Menyebalkan memang, tapi lebih baik menyibukkan diri dari pada melamun sendirian di rumah.”
Ashura tahu, itu merupakan sindiran paling kejam yang tercetus dari mulut putranya. Dan ia tidak peduli. Menghabiskan waktu bersama Sasuke tidak akan menyembuhkan luka hatinya yang perih. Justru Ashura akan semakin terperosok jatuh sedalam-dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Days (NARUSASU)
FanfictionUchiha Sasuke, selama 25 tahun dirinya hidup. Tidak pernah menyangka akan mengalami suatu hal semengerikan ini. Ia tertawa pedih. Setelah mendengar penjelasan dokter dan segala solusi pengobatan, Sasuke hanya diam mendengarkan lalu berakhir merenung...