Hitam Putih

668 78 64
                                    

Randra itu idealis. Berjiwa bebas. Pemberontak. Tak suka dikekang. Begitu pikir Ahsya. Dia aktivis mahasiswa yang seringkali diundang sebagai pembicara dalam sebuah acara seminar nasional. Tak jarang pula, ketua pelaksana event-event besar di kampus yang digilai kaum hawa.

Randra itu hobi diskusi ilmiah. Ahsya begitu kagum. Tatkala berada di forum diskusi, argumen-argumen yang pemuda itu keluarkan selalu logis, kritis, serta analistis. Jadi, jangan salahkan Ahsya jika enggan membolos menjadi penguntit keseharian Randra.

Seperti saat ini, ketika pemuda tersebut  bersama seluruh rekannya sesama BEM FISIP saling mengemukakan opini perihal rancangan undang-undang yang dianggap nyeleneh di pendopo kampus dekat ruang Aristoteles, Ahsya berpura-pura membuka laptop, tetapi indra pendengarannya memicing mencuri dengar.

"Ujian reformasi dimulai, Al," ucap seseorang berambut ikal samar-samar. "KPK dikorupsi. Keadilan dikebiri."

Sorot mata Ahsya mengerling pada Randra yang fokus mengkritisi argumen teman-temannya dengan tangan menopang dagu. Ah, pose yang sangat gadis berponi tengah itu sukai.

"Dateng ke orasi ilmiah Panjang Umur Perjuangan, Ran?"

Randra mengangguk, mantap. Membuat gadis yang berpura-pura sibuk dengan laptopnya tersebut sontak membuat catatan kecil di otaknya, jika besok ia juga harus datang ke acara tersebut. Meskipun tidak menyukai politik sekalipun, demi Randra ia mencoba tak bersikap apatis.

Akibat terlalu fokus memerhatikan wajah Randra yang memabukkan, ia jadi tak menyadari jika diskusi tersebut telah berakhir sejak sepuluh menit yang lalu. Tampaknya, Randra yang  merasa sedang diperhatikan, sontak mengedarkan pandangan hingga tatapannya berhenti tepat di manik mata coklat madu Ahsya. Selama beberapa detik, sorot mata mereka saling beradu. Bertautan cukup lama.

Netra Randra yang coklat memesona, dibalut bulu mata lentik, alis tebal membingkai indah ... ah, pikiran Ahsya mulai delusional.

"Eh?" Tahu-tahu, Randra sudah berdiri di hadapannya."Kenapa?" pemuda itu melambai-lambaikan tangan berusaha menyadarkan lamunan Ahsya yang mulai delusional.

Ahsya sontak terkesiap. Gadis itu tertangkap basah sedang memerhatikan Randra. Ia pun salah tingkah. Dengan satu kali sentakan, Ahsya bangkit, memberesi barang-barangnya lalu beranjak tergesa dari pendopo.

Ketika telah mencapai beberapa langkah, tanpa disangka pemuda idealis tersebut justru memanggil namanya. Tambahan, nama lengkapnya.

"Ahsya Fernanda Thamrin."
Serta-merta, Ahysa mematung. Perasaannya melambung tinggi. Lututnya terasa lemas seolah terbuat dari jeli. Berani taruhan, pipinya merona semerah kepiting rebus! Faktor utama yang menyebabkan Ahsya Fernanda Thamrin melayang ke langit ketujuh adalah, Randra mengetahui nama lengkapnya! Selama ini, yang Ahsya pikirkan ... jangkankan menetahui nama panjangnya, nama panggilannya pun ia sangsi jika Randra mengetahui.

Namun, di luar dugaan, Randra justru menyapanya?

Dengan senyum malu-malu dan wajah tersipu menahan napas, ia menoleh.

"Kartu mahasiswa kamu jatuh, nih."

Bahu Ahsya seketika melorot. Senyum bulan sabitnya kandas dalam hitungan detik.

Jadi, sedari awal Randra memang tak pernah mengerti namanya lengkapnya!?

---

Ahsya, mahasiswa hampir akhir jurusan Ekonomi Pembangunan, terhenyak menyaksikan drama tetorial RIP KPK di lapangan Birokrasi gedung C. Kemudian, disambung pembacaan orasi ilmiah betemakan Panjang Umur Perjuangan. Di penghujung acara, diadakan sesi diskusi terbuka, Randra sebagai mosi jalannya diskusi sontak berteriak lantang, "Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!"

Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang