Namaku Kejora, biasa dipanggil Keke, seperti ‘Ke’ yang biasa kita gunakan untuk kata depan penunjuk tempat tujuan. Ya, Keke, setidaknya seperti itulah orang-orang memanggilku. Dari kecil aku dikenal sebagai anak yang cenderung pendiam, selalu berkata tidak untuk urusan bermain diluar dengan teman-teman. Rumah adalah satu-satunya tempat paling nyaman untukku, bergelut dengan buku dan kertas sudah lebih dari cukup untuk mengisi hari-hariku. Sampai akhirnya saat duduk di kelas 3 SMP aku berpikir, “Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, temanku sedikit, mungkin aku harus keluar dari zona nyamanku sendiri.”
Perlahan saat masuk SMA, aku mulai berusaha sedikit merubah kepribadianku, perlahan terbuka untuk dunia luar. Walaupun tetap merasa lebih tenang dan tentram saat berada dirumah, tapi aku tahu, tidak selamanya menyendiri itu baik, apalagi untuk kehidupanku kedepan.
Aku lahir di keluarga sederhana dan tentunya kehidupanku pun sederhana, tidak ada yang spesial. Tapi kata orang tuaku, aku spesial. Dalam hati aku berpikir “Hei, tentu saja. Aku anak kalian satu-satunya.”
Aku pernah bertanya kepada mereka, alasan mengapa mereka memberiku nama Kejora. Kata mereka, karena aku adalah anak yang sangat diharapkan, setelah bertahun-tahun usia pernikahan dan tidak kunjung diberi momongan.
“Tunggu, Keke enggak ngerti, enggak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kejora, yang kita semua tahu Kejora itu ya nama bintang.”, tanyaku heran.
Mereka tersenyum.
“Kalau soal itu, biarkan Ayahmu yang menjelaskan.”, Ibu beranjak dari ruang tengah menuju dapur, meninggalkan hanya kami berdua di sofa dengan televisi yang menyala.
“Kejora itu bintang yang paling terkenal diantara bintang lainnya. Padahal kalau dibandingkan, banyak bintang-bintang lain yang lebih terang dari Kejora. Tapi mengapa Kejora lebih dikenal?” Tanya Ayah sembari jari-jarinya menari di atas keyboard laptop yang ada di pangkuannya.
“Karena kemerlapnya?” Kataku sambil mengira-ngira, lalu menutup buku yang sedari tadi aku baca.
Ayah mengangguk pelan, menghentikan gerak jarinya, menatapku dengan segala keseriusannya dan berkata, “Kamu boleh berlomba dan berusaha, tapi jangan paksa dirimu untuk jadi yang paling terang jika itu diluar batas kemampuanmu. Buatlah perbedaan, layaknya Kejora. Sedikit perbedaan dari yang lainnya, bisa membuat namanya terkenal di segala penjuru dunia, karena dunia bukan hanya sekedar tempat untuk mereka yang juara saja.”
“Tapi, kejora itu kan hanya cerita mitos yang di buat-buat. Kejora tidak nyata, yah.” Tatapku sedikit kesal. Ayah pun tertawa, sambil mencubit-cubit pipiku dengan tangan kirinya dan berkata,
“Kita semua tahu kejora itu hanya cerita dan dongeng semata. Terlepas dari nyata atau tidaknya, kamu ada disini, dan kamu nyata. Seperti kata orang, nama adalah doa. Mungkin suatu hari nanti kamu akan jadi seperti yang diceritakan, jadi yang paling beda dan tentu saja, terkenal di segala penjuru dunia.”
Wajahku pun makin kesal dan berteriak, “Ibuuuuu.. Ayah dari dulu dikasih makan apa sih sampai bisa mimpi tinggi banget kaya gini??”
Rumah sederhanaku dipenuhi suara tawa mereka berdua.
Saat itu aku berpikir, kilau Kejora hanya hidup dalam dongeng untuk anak kecil. Untuk aku yang nyata, realita dalam kepala berkata cahayaku akan tetap sederhana, berlebihan rasanya untuk mendunia. Tapi entahlah, biarkan semesta yang punya rahasia.