"M-Maaf... Aku hanya tidak mau kamu sedih. Lagipula aku sudah berjanji kepada mendiang pembantumu untuk menjaga perasaanmu," ujar Yuya yang kembali terdiam. Aku mengangguk pelan dan berkata, "Aku ngerti kok, tapi bukan dengan cara kekerasan kamu membela aku."
Dia terdiam. Aku tau pasti dia sedang bergumul dengan sifat keras kepalanya. Akan tetapi dia bisa melembutkan hatinya walaupun itu memakan waktu yang lama. Mungkin karena berasal dari keluarga yang hancur, dia menjadi tak bisa mengontrol emosi nya.
Bolehkah aku menceritakan kehidupan Yuya? Um.. Baiklah. Orang tua Yuya meninggal dunia saat ia berumur 5 tahun. Ia pun dibesarkan oleh tante dan pamannya. Sayangnya, mereka adalah pelacur dan pengedar narkoba. Mereka tentu saja tidak menyayangi Yuya karena pemuda ini menolak melakukan hal-hal yang sejijik itu. Anak mereka yang tak lain adalah sepupu Yuya juga membencinya karena bukan saudara kandungnya. Oke, itu mungkin menjadi alasan yang aneh, tapi namanya juga anak-anak...
Aku bersyukur kalau Yuya tidak terjerumus dengan hal-hal itu, tetapi ia terjatuh ke dalam jurang emosi. Ia sangat susah untuk mengontrol emosinya, bahkan aku sendiri sering kewalahan menenangkannya.
"Um, Kei... Masih marah ya?" tanya Yuya. Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. "Tidak tidak... Aku tidak marah, aku hanya menegurmu. Ya sudah, ayo kita ke kelas, sudah mau bel masuk nih." ajak ku. Yuya mengangguk dan berjalan bersamaku.
• Miracle •
"Kelas sudah selesai, silakan pulang." Tak terasa jarum jam sudah menunjukan pukul 14.00. Iya, itu tanda waktunya untuk pulang. Aku segera bergegas untuk merapikan semua buku dan barang-barangku. "Kei, kamu langsung pulang ke rumah atau mau ikut ke tempat biasa? Biar aku tau." tanya Yuya yang tiba-tiba berada di belakangku.
"Um... Sepertinya langsung pulang ke rumah, nanti mama marah." Jawabku. "Baiklah, hati-hati. Kalau si brengsek menganggumu lagi, beritahu padaku. Jangan simpan semua luka dalam hatimu, oke?" kata Yuya. Aku mengangguk, lalu mengambil ransel ku dan pergi keluar dari kelas.
Cahaya matahari menyinari dunia di bawah langit. Terasa hangat. Setelah beberapa menit, aku pun sampai di rumah ku. Hening. Selalu seperti ini. Aku masuk ke dalam kamarku dan segera mengganti pakaianku.
Tok.. Tok.. Tok..
Ada yang mengetuk pintu kamarku, sepertinya itu kakakku. Hikaru Yamamoto, itulah namanya. Biasanya aku memanggilnya 'Hika-nii'. Hikaru dapat diartikan sebagai cahaya. Nama yang bagus, bukan? Nenekku pernah berkata padaku bahwa ibuku berharap Hikaru dapat menjadi cahaya di keluarga kami. Itu betul terjadi. Dia menjadi cahayanya, sedangkan aku tertutupi oleh kegelapan. Tapi, tidak apa apa, aku senang punya abang yang pintar dan berbakat.
Aku pun berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. Dugaanku betul. Sekarang, kakakku berdiri di ambang pintu sambil tersenyum ramah. "Tumben kamu pulangnya cepat? Ga pergi dulu sama Takaki? " tanya nya. "Ah tidak, aku lagi mau istirahat dulu, " jawabku yang dibalas anggukan. "Boleh aku masuk? Aku lelah nih~" Dia tertawa, kebiasaan banget deh. "Ya sudah, silakan masuk," kataku yang ikut tertawa juga.
"Um.. Hika-nii, boleh tolong aku? "tanya ku. "Bantu apa ya?" katanya yang duduk di ranjangku. Aku mengambil buku matematika ku dari dalam tas dan membukanya. Seakan mengerti maksudku, Hika-nii langsung mengambil buku yang ku ambil. "Oh, aritmatika rupanya... Sini, biar ku ajarin," kata Hika-nii yang mulai menjelaskan.
Inilah hari-hariku. Orang tuaku jarang berada di rumah. Hanya Hika-nii dan angin lah yang menemaniku. Terkadang, Yuya datang ke rumah hanya sekedar untuk menenangkan dirinya.
Aku cukup bahagia dengan kehidupan ku, walaupun harus merasakan pil pahit setiap kali berhadapan dengan orang tua ku atau mungkin dengan nenekku atau paman dan tanteku. Aku tidak pernah diterima di keluarga terpandang ini. Apa hanya karena aku seseorang yang lemah? Atau karena penyakit aneh ini? Iya, aku tidak bisa merasakan panas, dingin, rasa sakit saat terluka, dan lain-lain.
Menyedihkan. Padahal, aku ingin merasakan dinginnya musim dingin. Aku ingin merasakan hangatnya musim semi. Aku penasaran seperti apa rasa sakit saat tergores. Sangat ingin. Sangat penasaran. Hngg.. Pikiran itu selalu mendatangiku.
"YAMAMOTO KEI-SAN!!" Teriak seseorang dari bawah membuat aku dan Hika-nii terkejut. "Sepertinya, Takaki datang. Mau lanjut dulu atau gimana?" Tanya Hika-nii. "Hngg.. Aku buka pintu untuk Yuya dulu deh," kata ku yang beranjak pergi keluar. Aku berjalan ke bawah dan membuka pintu rumah ku. Sekarang, tepat di depan mataku, pemuda dengan wajah dinginnya berdiri dan memakai kemeja lengan panjang berwarna putih, serta celana jeans. "Tumben kamu seperti ini, Yuya? Ada apa?" Tanya ku.
"Apa ini salah? Bukan kah aku kelihatan lebih menggoda, hm?" Katanya dengan nada menggoda. "Ihh menjijikan sekali. Apa kamu tidak sadar jenis kelamin apa yang ada di depan mu? " Kataku dengan nada yg sinis. Dia tertawa. Dasar. "Hahaha, aku hanya bercanda! Oh ya, Hika-san sudah pulang?" Tanya Yuya yang sepertinya berusaha untuk mengganti topik agar aku tidak marah.
"Sudah, sekarang dia di kamarku," jawabku. "Eh? Ngapain?" Tanya nya balik. "Membantu mengerjakan PR matematika," tiba-tiba, raut wajah Yuya berubah. Seakan ia ingin mengatakan bahwa ingin dibantu juga. "Kalau mau dibantu, ayo sekalian sama aku," kataku yang membuat mata Yuya membesar. "Serius?!" kata nya dengan wajah terkejut. "Iya, serius. Ayo ikut aku," ajak ku. Yuya, mengangguk dan segera mengikutiku.
Aku dan Yuya sampai di kamarku. Hika-nii tersenyum, ketika melihat kami berdua masuk ke dalam kamar. "Yo Takaki! Apa kabar?" Tanya Hika-nii. "Aku baik-baik saja, Hika-san sendiri?" Hika-nii dan Yuya mulai mengobrol sampai-sampai aku dilupakan. Pfttt.... Dasar.
"AH IYA, aku lupa tujuan ku datang ke sini! Hika-san, tolong ajari aku juga tentang PR matematika nya.. Aku tidak mengerti," minta Yuya yang malahan terlihat seperti anak kecil. Lucu sekali, pftt.. "Mau diajari juga? Baiklah, Kei, Yuya, duduk di sebelahku sini. Akan ku ajari kalian~" ajak Hika-nii.
Satu jam pun berlalu, tak terasa kami sudah selesai mengerjakan PR nya. Yuya sekarang keliahatan sangat senang, karena mengerti. Hika-nii sudah keluar dari kamarku. Iya, sisa kami berdua. "Jadi Yuya.. Apa yang membawa mu ke sini?" Tanya ku. "Ah~ Aku hanya bosan di neraka itu..," katanya yang sekarang tengah rebahan di kasurku.
"Hmm.. Begitu ya.. Tapi, aku penasaran.. Kenapa kamu suka memakai pakaian yang panjang? Contohnya, memakai kemeja lengan panjang saat musim gugur yang hangat. Apa kamu tidak kepanasan?" Tanya ku yang disambut keheningan. Yuya terdiam sejenak dan akhirnya menghela nafasnya pelan. "Tidak kepanasan kok... Aku malahan lebih suka seperti ini eheh," jawabnya sambil tersenyum.
"Kamu tidak self-harm, kan?"
• Miracle (TBC) •
Senin, 27 Januari 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Miracle • || Inoo Kei Fanfiction (ON-HOLD)
Teen Fiction"Keajaiban bukan hanya berbicara tentang hal gaib, tetapi suatu perubahan yang terjadi secara tiba-tiba oleh karena hal yang dilakukan seseorang." Warning ⚠!! Mengandung konten depression. -Miracle