Bagian 1

921 96 32
                                    

#MasPras_1995

Mas Pras, 1995

Namaku Aluna.

Aku berdiri di sini, pada sisa tapak cerita yang dalam. Menanti riuh tetes hujan yang menyejukkan dan memandangi awan hitam yang menggelayut. Satu jam sudah aku termangu di depan gerbang sekolah, rasa kesal dan bosan mulai menderap, dia tidak kunjung datang, Mas Prasku. Aku memanggilnya Mas karena orangtuanya asli Jogja yang menetap lama di Jawa Barat, ia anak pertama dan panggilan itu biasa terdengar setiap hari oleh adik-adiknya. Aku mengikuti dan cukup nyaman memanggilnya Mas Pras.

Ia adalah pemuda di kampung yang cukup populer, bukan hanya indah secara paras, ia pun pintar. Saat ini ia sedang menyiapkan masuk ke Universitas terbaik di Bandung. Aku sempat risau ketika mendengar bila ayahnya ingin Mas Pras lanjut kuliah di Jakarta. Namun, ia berhasil untuk meyakinkan sang ayah melanjutkan kuliah di Bandung.

Mas Pras bilang, tidak mungkin bisa berjauhan denganku dan hanya berkomunikasi lewat surat atau telepon. Aku pun begitu, tidak bisa satu hari pun aku lewatkan tanpa melihat dia.

Semenjak aku dan dia dekat, kami nyaris setiap saat berbagi waktu bersama. Aku sangat menggantungkan hidup padanya, bahkan aku tidak memiliki teman dekat, aku tak butuh. Mas Pras lebih dari cukup untuk menjadi sahabat dan teman berbagi.

Lambat laun deru motornya mulai terdengar, tersenyum ia padaku dari kejauhan. Kesalku hilang seketika, aku balas senyumnya dengan lambaian tangan.

"Menunggu lama, ya?"

Aku hanya mengangguk pelan dan mulai mendekatinya. "Memang Mas darimana?"

"Maaf tadi mengantar dulu ibu ke rumah Bude Asih."

"Oh gitu," jawabku.

"Naiklah! Kita mampir dulu ke toko buku. Tenang aku sudah izin bapak."

Aku tersenyum, ia memang selalu mengerti. Sedetikpun aku tidak pernah berhenti bersyukur bisa dicintai laki-laki seperti dia.

Kami mulai berjalan menyusuri sudut kota dengan motor kesayangan Mas, hadiah ulangtahun dari orang tuanya. Seperti biasa, suasana kota Bandung selalu sejuk dan romantis, aku mengeratkan pelukan dan bersandar pada punggungnya yang nyaman. Perlahan gerimis mulai turun, Mas Pras mempercepat laju motornya, tapi alam enggan menunggu, hujan menderas seketika, akhirnya kami memutuskan untuk berteduh.

"Kita jangan pulang malam ya, Mas. Aku takut bapak marah."

"Iya, kalau hujannya lama, nanti reda kita langsung pulang."

"Gak jadi ke toko bukunya?"

"Bisa besok lagi," jawabnya tersenyum dan aku membalas senyum itu. Kulihat Mas Pras membuka jaketnya dan mulai memakaikan padaku yang memang sudah kedinginan.

"Mas ..."

Dia menoleh.

"Aku tidak butuh orang lain lagi, kamu lebih dari cukup. Jadi jangan pergi kemanapun. Aku senang akhirnya Mas bisa kuliah di sini."

"Bapak tadi bilang, bulan depan kita akan ditunangkan. Sepertinya bapak resah, karena kedekatan kita jadi bahan gunjingan tetangga."

Aku membelalakan mata. Bukan terkejut, tapi sangat senang. Akhirnya, satu langkah terlewati, hubungan kami akan semakin kuat.

"Kamu senang?"

Aku hanya mengangguk. Aku yakin dia melihat binar di mataku seperti aku yang mampu melihat sejuk di matanya. Perlahan tubuh ini bergerak untuk lebih dekat lagi pada dia laki-laki yang mengambil seluruh hatiku. Kami mulai tidak berjarak, dan perlahan kurasakan tangannya menyentuh tanganku, lalu kami saling bertaut menggenggam erat. Dia melihat ke arahku tersenyum, jantung ini masih saja berdebar.

***

Deras hujan mengguyur kota ini, dan acara pertunangan berjalan dengan lancar. Ia menautkan sebuah cincin emas di jari manisku, aku pun membalasnya. Kami dan keluarga sepakat, pernikahan tidak akan dilangsungkan dengan buru-buru. Ibu bapak menunggu Mas Pras lulus kuliah, dan aku pun lulus sekolah pastinya.

Hari berganti ... aku semakin bahagia. Mas Pras semakin menjagaku dan selalu ada setiap saat, kapanpun aku membutuhkannya.

Sore ini, aku bersolek dan ingin tampil lebih cantik dari biasanya, sudah dua hari aku tidak bertemu dengannya, dan kami berjanji untuk menonton film.

Satu jam, dua jam menunggu, Mas Pras tak kunjung datang. Hingga telepon rumahku berdering.

"Hallo."

"Lun?" Terdengar ramai di sana.

"Iya?" Aku tidak mengenal suaranya.

"Ini Jefri, Lun. Teman Pras, segera ke rumah sakit, dia kecelakaan."

Aku terdiam. Bibir terasa kelu, hingga beberapa detik kemudian gagang telepon terlepas. Tungkai kaki lemas sekali rasanya, hingga beberapa saat kemudian ibu datang menghampiri dan mengambil alih telepon.

Tidak terlalu jelas aku mendengar pembicaraan ibu. Jantungku berdetak hebat, aku takut dan cemas. Semoga Mas Prasku baik-baik saja.

Akhirnya, ibu dan bapak membawaku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan nyaris tidak ada yang berbicara, kami terdiam hening. Namun, aku dapat melihat raut gelisah di wajah bapak. Setibanya di Rumah sakit, Jefri menghampiri kami.

"Lun ...," katanya tertahan sejenak. Aku masih dalam keresahan yang tidak terkira, aku yakin Mas Pras ingin menemuiku. "Pras meninggal."

Jantung seolah berhenti berdetak, dunia seketika gelap dan aku tidak sadar apa yang selanjutnya terjadi.

Hingga ... ketika mata ini terbuka, aku sudah ada di dalam mobil, yang ku ingat hanya Mas Pras. Aku meraung, meminta pada bapak untuk keluar. "Luna ingin bertemu Mas Pras, Pak."

"Nanti kita ketemu ya."

Aku lihat bapak pun menangis, mungkin karena sedih melihatku.

Sampai Mas Pras bersatu dengan tanah, aku tidak lagi melihat wajahnya, bahkan untuk terakhir kali. Mas Prasku pergi, separuh jiwaku hilang. Selamat jalan, Mas. Namamu abadi walau semesta merenggutmu dariku.

*****

Bandung, 2015.

Usiaku 35 tahun sekarang. Mas Pras sudah 20 tahun meninggalkanku, namun sedikitpun bayangannya tidak pernah hilang.

Aku menikah lima tahun lalu, tapi terpaksa bercerai karena tidak kuat mendapatkan serangan fisik yang bertubi-tubi. Mantan suamiku selalu merasa puas bila sudah memukul atau memakiku di hadapan orang banyak. Tidak jarang saat kami jalan di mall, ia berteriak memarahi dengan kata kotor dan hinaan yang menyakitkan. Setelahnya ia akan tersenyum seolah puas, ketika tiba di rumah ia akan bersimpuh meminta maaf, dan kemudian terjadi lagi.

Pada jingga yang melukin langit, ia berbaik hati menemaniku berdiri di sini, di depan gedung sekolah. Tempat dimana Mas Pras selalu datang untuk menjemput.

Aku merasakan semilir angin menerjang wajah, memberikan  rasa sejuk yang indah.

Perlahan dari kejauhan, aku mendengar deru motor, lalu berhenti tepat di depanku. Ia membuka helm, dapat terlihat wajahnya dengan jelas, membuatku mematung tak bisa berkata.

"Mas Pras?" Aku membatin tidak percaya.

Ia turun dari motor dan semakin  dekat padaku. Kami saling menatap untuk beberapa saat, aku yakin dia Mas Pras, hanya saja bukan remaja seperti dulu, dia terlihat lebih dewasa.

"Maaf, Teh. Saya mau tanya. Alamat ini di mana ya? Saya sudah muter tapi belum ketemu."

Aku masih belum bisa mengucapkan apa pun. Mulut ini rasanya kaku dan tidak percaya. 20 tahun aku hidup bersama kenangannya, dan hari ini ia kembali datang, walau mungkin dalam jiwa yang berbeda.

"Teh?"

Lamunanku mulai buyar. Dengan ragu aku menunjuk alamat yang ia berikan.

Makasih udah baca😘

Mas Pras, 1995 (on Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang