Bagian 2

605 86 24
                                    

#MasPras1995

Mas Pras, 1995

Bagian 2

Motor itu kembali melaju seiring dengan senyum dan ucapan terimakasih. Senyum khas Mas Pras yang aku rindukan. Siapa dia
... Mungkinkah Mas Pras? Mungkinkah dia tidak meninggal?

Tersadar dari lamunan sesaat, segera aku berlari, mengejar motornya yang semakin menjauh dan akhirnya hilang tidak dapat dijangkau. Aku terdiam, lalu mengatur napas yang masih terengah-engah. Oh Tuhan, siapa dia? Apa rencanamu menghadirkan kembali sosoknya setelah 20 tahun berlalu.

Seketika semesta terasa hening, satu bulir air mata mulai jatuh menetes pada hijab berwarna merah muda yang aku kenakan senada dengan baju yang kupakai. Lemas sekali rasanya, aku beranjak lalu duduk pada sebuah kursi di halte ini.

Aku buka kembali lembaran-lembaran hidup selama 35 tahun ini. Tidak ada yang menarik. Sejak kecil, aku memang lebih banyak diam dan tidak punya teman. Sebagai anak satu-satunya dari bapak dan ibu, aku terbiasa tidak melakukan hal apa pun sendirian. Entahlah, aku sulit untuk dekat dengan siapapun, sikap itu pula yang akhirnya orang lain enggan mendekat apalagi berteman.

Mas Pras satu-satunya orang yang bisa membuatku nyaman selain ayah dan ibu. Mungkin itu pula yang membuat orang tuaku akhirnya menunangkan kami di usia muda, aku 15 tahun, saat itu kelas satu SMA, sementara Mas Pras 19 tahun. Ia sempat berhenti satu tahun sebelum lanjut kuliah.

Bus terlihat dari kejauhan dan semakin mendekat. Aku bersiap untuk naik, dan pulang ke rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh. Namun, untuk berjalan kaki rasanya lemas sekali.

***

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Terlihat ibu menghampiriku dengan wajah pucat dan ekspresi yang tidak bisa kutebak.

"Kenapa, Bu?"

Ibu menggeleng cepat. "Masuklah."

Aku mengikuti langkahnya. Saat tiba di ruang tamu, duduk di sebuah kursi dengan posisi membelakangiku seseorang yang tidak aku kenal. Orang itu menoleh, aku terhenyak kaget. Seluruh badan ini kembali kaku.

"Mas Pras." Aku bergumam lirih.

Dia hanya menatapku sesaat, lalu melempar sebuah senyum. Aku tidak terlalu memperhatikan ketika tadi laki-laki itu memperlihatkan sebuah alamat, yang aku lihat hanya Jalan Mawar. Aku pun tidak sadar bila itu adalah jalan ke rumahku.

"Aluna ...." Bapak memanggilku. Sepertinya ia mengetahui bila aku sedang termangu tidak mempercayai pemandangan ini.

"Iya, Pak."

"Ini Prayoga, datang dari Jakarta dan hendak menyewa rumah samping kita. Kita masih saudara jauh, Yoga ini anaknya Uwa Asih, saudara dari nenekmu. Bila diceritakan bisa panjang silsilahnya. Bapak juga pertama kali bertemu dengan Yoga."

Ah ... ternyata dia bukan Mas Prasku yang datang kembali dari Surga. Tapi kenapa wajah keduanya begitu mirip dan identik. Sepertinya Ibu pun dibuat pucat karena kemiripan itu.

Aku mendekat, lalu duduk di samping Bapak. Ku amati dengan cermat setiap sudut wajah itu, kacamata yang ia pakai membuat Prayoga sedikit berbeda dengan Mas Prasku.

"Kenapa, Teh?" ucapnya. Mungkin dia tidak nyaman aku perhatikan seperti itu.

"Bilang padaku, kamu Pras kan?"

Pria itu menarik kedua alisnya tidak mengerti maksudku.

"Lun, kamu ngomong apa. Jangan kemana-mana!" sergah Bapak.

Dengan mata berbinar dan senyum mengembang aku melihat ke arah Bapak. "Pak, Mas Prasku kembali. Dia bukan Prayoga, aku yakin dia Mas Pras."

"Istighfar, Lun."

"Pak, saat itu Luna tidak melihat pemakaman Mas Pras. Aku yakin pasti kecelakaan itu salah orang, dan Mas Pras tidak meninggal."

Ruangan ini menjadi hening. Aku menatap sekeliling, pria berkacamata itu hanya diam termangu. Ada pertanyaan menggelayut di matanya. Sementara Ibu, aku melihatnya hanya menunduk seperti menyembunyikan kesedihan. Aku heran, apa yang disedihkan, aku tidak pernah sebahagia ini sejak 20 tahun terakhir.

"Lun, ikut Ibu ke kamar," ajak Ibu.

"Tidak, Bu. Luna ingin di sini." Pandanganku sama sekali tidak beralih dari pria di depanku.

"Ayok, Lun." Ibu sedikit memaksa, Aku benci. Aku tidak menggubrisnya, hingga beberapa detik kemudian Ibu menarik tanganku dan membawaku ke kamar.

"Apa-apaan sih, Bu!" Nada suaraku sedikit meninggi.

"Istirahatlah, Lun."

"Aku ingin ketemu Mas Pras."

"Dia bukan, Pras. Dia orang lain."

"Ibu bohong!"

Aku lalu terdiam, mata tua itu kembali menggenang. 35 tahun usiku saat ini, seringkali kutemui pilu di wajah sendunya. Apakah sebagai anak aku hanya menjadi beban? Sungguh aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Untuk apa Allah memberiku kesempatan menikmati semesta, tidak ada yang menarik di dunia ini. Aku pun seringkali membentak Ibu dan Bapak ketika mereka dengan mudahnya selalu bilang bila Mas Pras meninggal.

Aku juga benci bila orang-orang mulai bergunjing aku tidak waras. Terlebih saat aku mengalami perceraian, mereka tidak hentinya berkata siapa yang mau dengan wanita gila sepertiku. Padahal, mereka tidak tahu sebakti apa aku pada dia, aku abdikan seluruh hidupku meski cinta itu sama sekali tidak pernah hadir. Kelelahanku berujung ketika anak yang baru ku kandung tiga bulan harus gugur karena perutku ditendang hebat pria bangsat itu.

Tapi sekali lagi semesta tidak pernah adil, aku yang selalu dipersalahkan. Aku benci, dunia ini sungguh tidak menarik. Kalaupun memang benar yang diucap mereka bila Mas Pras meninggal, kenapa aku tidak pernah diizinkan untuk menyusul? Bukankah bagi orangtua kebahagian anak di atas segalanya, dan aku bahagia bila mati.

Merasa tidak tahan, aku lemparkan sebuah vas bunga ke arah kaca lemari. Hingga serpihan kaca hancur berserakan.

Sesaat kemudian Bapak dan pria itu datang, wajah mereka sangat terkejut. Bapak menghampiri dengan raut memerah, dan akhirnya satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sungguh ini tidak sakit sama sekali.

"Apa-apaan kamu Luna!"

Aku memalingkan wajah tidak menggubris.

"Aku hanya ingin bicara dengan Mas Pras." Mataku menatap pria itu.

"Pak, biarkan saya bicara," jawabnya. Seketika senyum kembali terlukis di wajahku.

Kondisi kamar masih berantakan, Ibu dan Bapak keluar, tinggalah kami berdua di kamar ini. Hening beberapa saat, hingga akhirnya aku mulai mendekat.

"Kemana saja selama 20 tahun ini, Mas? Aku menunggu setiap detik. Kamu tahu hari-hariku tidak mudah?" Satu bulir air mata mulai turun. Dia masih saja terdiam. Ingin kurengkuh tubuhnya, tapi rasanya tidak sanggup.

*Mungkin Aluna depresi, jadi jangan dibully ya 🤣

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mas Pras, 1995 (on Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang