Black Rose

265 19 7
                                    

Akhirnya seorang Arjuna Wiwangga alias Juna melepas gelar jomblo. Tepat satu bulan lalu. Dia sudah tidak lagi risih mendengar gosipan para bawahannya tentang statusnya yang melajang . Dia juga tidak perlu pusing-pusing menjaga perasaan para gadis hasil perjodohan ibunya yang selalu berusaha ia tolak. Juna sudah hidup bahagia dengan sosok pujaannya. Laki-laki mungil dengan rambut coklat caramel, mata bulat bersinar dan bibir tipis yang tidak pernah bosan Juna pandang. Dia sudah menikah, dengan seorang Bandiani Wibisana

●●●

Jakarta, Januari 2020

Juna ingat betul pertama kali dia bertemu dengan pria mungil itu. Saat itu musim hujan. Ia sedang berkendara dengan mobilnya untuk mencari sebuket bunga. Hujan deras yang mengguyur Jakarta sore itu membuat penglihatannya terbatas. Untung saja tidak banjir, kalau sampai iya, Juna akan mengutuk hari itu sebagai hari paling sial untuknya. Pasalnya, Juna lupa jika malam harinya ia memiliki janji dengan seorang gadis anak kawan arisan ibunya. Ia tidak pernah setuju dengan pertemuan semacam ini, namun lagi-lagi dia tidak berdaya untuk menolak permintaan wanita yang melahirkannya itu.
Kalau saja bukan permintaan sang ibu untuk membawa bunga mawar hitam, Juna tidak akan pernah peduli dengan detail semacam ini.

“Ingat mawar nya harus 13 batang, warna hitam jun!” suara ibunya dari seberang telepon siang itu, terus saja terngiang. Bukannya 13 itu angka sial ya? sial !

Sudah setengah jam Juna berkendara membelah jalanan ibu kota yang cukup padat. Matanya tidak berhenti melihat sekeliling, mencari penjual bunga di pinggir jalan, namun tidak satupun ia temukan. Di sore hari dengan hujan yang deras seperti ini, mana ada penjual bunga pinggir jalan yang buka. Matanya terus mencari sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul 05.30 dan janji makan malam itu tepat pukul 06.00. Kalau dia sampai telat dan mengecewakan si gadis, bisa-bisa Juna kena sembur ibunya lagi. Apa mau dikata, muka sangar gini dia sayang mama.

Juna bukan manusia taat agama, tapi sepertinya Tuhan masih sayang dia. Melalui kaca mobilnya yang basah karena hujan, Juna melihat sebuah toko dengan banyak tanaman di dalam. Juna berdoa semoga toko bunga itu yang menjual mawar hitam, ingat ya harus hitam. Sampai sekarang Juna masih bingung kenapa harus warna sesuram hitam. Juna segera memarkirkan mobilnya di depan toko. Mengambil payung dari kursi belakang, lalu bersiap keluar mobil untuk masuk kedalam toko bunga bertuliskan Nani's Flower.

●●●

*Klenting*

Suara yang begitu khas menyapa pendengaran pria mungil itu. Tangannya masih sibuk merapihkan beberapa sak pupuk yang baru sampai pagi tadi. Biasanya memang rekan kerjanya yang melayani pelanggan di bagian display, tapi kali ini dia sendirian di toko. Rekannya tiba-tiba saja sakit dan sebagai bos yang baik ia menyuruhnya pulang lebih awal.

“Permisi!” suara bass seorang pria terdengar seperti berteriak.

“Iya tunggu sebentar!” ucapnya tidak kalah kencang. Di luar memang masih hujan, deras sangat. Kalau dia tidak ikutan berteriak bisa-bisa suaranya tersamarkan suara keras hujan.

Pria mungil itu melepaskan sarung tangan berkebunnya dan membersihkan tangannya di wastafel dekat kamar kecil. Ia berjalan menuju bagian depan toko miliknya. Toko ini dibagi menjadi tiga bagian. Di lantai satu bagian depan untuk tempat display bunga-bunga, di bagian belakang ada gudang. Sedangkan lantai dua dijadikan kantor. Jangan berpikir setiap toko bunga harus punya kebun bunga juga ya, cuaca panas di Jakarta tidak memungkinkan untuk menanam bunga sendiri. Bunga-bunga di toko ini didatangkan dari kebun bunga potong di Bandung dan Malang, bahkan ada juga yang dari luar negeri untuk beberapa jenis bunga yang tidak bisa tumbuh di Indonesia.

Begitu sampai di bagian display, pria mungil itu melihat sebongkah punggung pria nan kokoh berbalut jas hitam yang sedikit basah. Tubuh pria itu tinggi, sangat tinggi, bahkan pucuk kepala miliknya ia yakin hanya sampai dagu pria berjas itu. Auranya sedikit menyeramkan. Jika dilihat dari belakang begini rasanya pria itu seperti raksasa dan ia jadi kurcacinya. Pria mungil itu sempat mengira pengunjung tokonya hanya orang lewat yang ingin menumpang berteduh di teras toko. Namun tidak mungkinkan orang yang sedang memunggunginya ini hanya ingin numpang berteduh, ya kan?

Nampaknya pria tinggi itu belum menyadari kehadiran pria lainnya. Matanya lekat mengamati bertangkai-tangkai mawar di bagian kiri toko.

Ehem, cari apa pak?” Pria mungil itu memberanikan diri bersuara duluan, yang ditanya segera membalik tubuhnya.

“Bapak?” ucap sang pria tinggi sambil mengangkat sebelah alisnya. Ah, sepertinya ia baru saja menyinggung perasaan seseorang.

●●●

Juna belum setua itu sampai harus dipanggil bapak. Demi Tuhan, umurnya baru 28 tahun, dan dia juga belum menikah. Tolong “belum menikahnya” digaris bawahi ya.

Nggak kok, Juna nggak sefrustasi itu. Juna melajang bukan tanpa alasan. Dia baru dua tahun yang lalu menjabat sebagai CEO menggantikan almarhum ayahnya. Perusahaan juga sedang berkembang pesat. Tidak ada waktu bagi Juna untuk sekedar bersantai apalagi mencari pasangan. Juna sudah berjanji kepada ayahnya untuk menjaga perusahaan itu baik-baik. Ribuan nasib orang ada di pundaknya, dan Juna tidak bisa santai-santai.

Balik lagi ke masalah dirinya yang dikira bapak-bapak, siapa gerangan manusia yang berani memanggilnya bapak selain di kantor? Mata Juna menyipit tajam kepada sosok mungil di depannya. Dari sini hanya terlihat rambut coklat caramel, karena sosok mungil itu menunduk takut. Baguslah kalau dia tau dia salah, pikir Juna.

Mata tajam Juna beralih ke name tag yang bertengger di dada pria mungil itu. Bandiani Wibisana, nama yang bagus, tapi tidak sebagus perangainya. Juna terlanjut tersinggung dengan panggilan bapak yang pria itu sematkan kepadanya.

Perlahan kepala itu mendongak, memperlihatkan wajah manis dengan mata bulat bersinar dan bibir tipis yang tersenyum canggung. Kulit wajahnya bersih, putih dan memerah di bagian pipi. Mungkin dia bersemu karena malu atau bisa jadi udara yang dingin.

Cantik. satu kata itu terlintas di pikiran Juna.

“Maaf Mas, saya kira tadi--ehehehe, taunya masih muda.” Senyuman canggung itu berubah menjadi sangat manis di mata Juna. Eyesmile terindah yang pernah Juna lihat dan apa itu tanda kecil di bawah mata kanannya, tahi lalat berbentuk hati? Hati Juna baru saja berdetak senang.

Untuk beberapa detik berikutnya Juna hanya bisa memandang. Mengagumi sosok yang sempat ia ragukan, namun tidak untuk sekarang. Hatinya berkhianat. Diam-diam ia mengamini doanya barusan.

Semoga tidak ada mawar hitam di sini.”

●●●

Wild FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang