Balada Lan Xichen

4.2K 346 281
                                    


Didedikasikan untuk event ulang tahun karakter kesayangan, Wei Wuxian, yang diadakan oleh Geng_Rusuh.
*
*
*

“Kak, aku ingin jadi penulis saja.”

Begitu kata Lan Wangji sesaat setelah melepas toga seraya melonggarkan dasi biru pastel di lehernya. Tangan kanan Wangji masih mengepal gulungan kertas berpita, titel sarjana ekonomi dan cum laude masih terpampang jelas di depan muka sang kakak—Lan Xichen, yang sejak tadi membusungkan dada ekspresi bangga, di pipinya masih menjejak air mata sisa nangis jelek menahan haru.

Lan Xichen tidak kaget mendengar penuturan Wangji kala itu. Ia mafhum, alih-alih meneruskan jejaknya sebagai penerus perusahaan redaksi milik almarhum kedua orang tua mereka, Lan Wangji—sibungsu yang keras kepala itu, tentu saja bakal memilih jalan hidup sendiri. Dia bukan tipe manusia terkoordinir, katakanlah begitu sebab dari sudut pandang Xichen, wajah batu Wangji agaknya menimbun angan-angan kebebasan.

Xichen pernah merasakan hal itu, maka dia mengiyakan saja. Masalah persetujuan pamannya—Lan Qiren, rasanya tak perlu dipikirkan. Walau pamannya yang berkumis lele itu akan mencak-mencak bilang penulis tidak punya masa depan lantas mendikte Wangji soal aturan kolot keluarga nenek moyang, Xichen sudah menyiapkan selusin alasan untuk bisa berdiri di baris depan; membela Wangji mati-matian. Yang pasti Xichen seratus persen mendukung pilihan Wangji.

Hidup semestinya berubah, jika sudah melewati satu fase rasanya ganjil kalau berdiam diri saja.
Terlebih ini Lan Wangji, anak lanang yang satu ini sedari kecil tidak nakal, gaya hidupnya ketat semenjak ayah dan ibu mereka wafat. Berbeda dengan Xichen, Wangji nyaris tidak punya gairah hidup, walau dikata kompetensi pendidikannya mulus menanjak, kepekaan hidup Wangji malah berkebalikan.

Dan sekarang, ketika Wangji menunjukkan pergerakan, Xichen tak punya daya untuk mengekang.

Sewindu berlalu, tepat setelah bel natal bergemerincing, tidak butuh waktu lama bagi Wangji untuk menerbitkan novel pertamanya.

Xichen meloncat dari ranjang setelah mendapat pesan singkat dari Wangji, tulisnya: Aku debut.

Walau salju sedang lebat-lebatnya, Xichen dengan semangat melaju menuju satu-satunya toko buku yang buka di saat natal. Jendela etalasenya setengah terbuka, menampilkan rak-rak dengan palet warna-warni dan buku-buku bagus yang terpampang. Xichen tertegun di luar toko, matanya menyipit, tertuju pada satu rak buku berlabel buku baru. Teliti, Xichen mematung cukup lama mencari-cari nama Lan Wangji ditemani orang asing yang sedari tadi santai saja menyulut rokok di sampingnya.

Orang itu menawarkan sebatang rokok padanya, Xichen menolak, bukan anti tapi wajah orang itu ketus, sama sekali tidak ramah walau agak tampan. Jangan salahkan Xichen jika ia sedikit curiga pada batangan rokok di saku pemuda itu. Mungkin saja lintingan barang haram atau kalau bukan pemuda ini pasti pemalak di gang samping toko kelontong seberang. Penilaian buruk Xichen boleh jadi mengandung lima puluh persen kebenaran.

Merasa aura di sekelilingnya mulai tidak beres, pemuda itu angkat bicara, “Kau kakaknya Lan Wangji ‘kah? Wajah kalian mirip.”

Xichen kebingungan, “Maaf?”

Pemuda itu membuka sarung tangan kanannya, merogoh saku lantas menyodorkan kartu nama pada Xichen, “Aku Jiang Cheng, editor Lan Wangji—maksudku Hanguang-Jun.”

Lan Xichen kikuk. Ia mengambil kartu nama di tangan Jiang Cheng dengan gerakan lamban dan robotik.

Ini kali pertama terawangan Xichen salah besar. Dalam hati ia mengutuk diri. Untuk mengubur rasa bersalah, ia mengajak Jiang Cheng sarapan di rumahnya. Pemuda itu tidak menolak.

Balada Anak PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang