Tik, tik, tik ...
Jarum panjang berwarna merah itu terus berputar. Merajut detik. Tak ada perkerjaan lain selain memperhatikannya terus berputar. Jam dinding bergradasi monokrom sedari tadi ku pandangi. Lazim saja karena benda itu terletak di atas papan tulis. Membuat siapa pun gagal fokus. Bukannya pelajaran di papan tulis yang diperhatikan malah sibuk dengan benda penunjuk waktu itu.
“Abimanyu Praksoro ...” nama itu sudah berulang kali diucapkan. Namun tak ada sahutan dari si pemilik nama. Itu karena si pemilik nama sibuk dengan jarum merahnya.
Tik, tik, tik ...
Tersadar, mataku membelalak, wanita paruh baya berdiri di hadapanku, bercacak pinggang.
Gelagapan, “Saya, bu!”
Apalah yang tak lebih membosankan daripada ruang kelas. Papan tulis, buku, pulpen, dan reporter yang asyik berkoar di depan kelas sepanjang jam pelajaran, guru maksudku. Heranku tak sudah-sudah. Kenapa harus matematika yang berada diurutan akhir jadwal pelajaran hari ini? Tidakkah bisa, matematika di awal jam pelajaran, pagi hari saat otakku masih fresh.
“Apakah tidak terdengar olehmu? Dari tadi ibu memanggil namamu. Apa yang kau lamunkan—”
Hidupku tak lengkap tanpa ceramah dan nasihat-nasihat membangun disetiap harinya, dari guru. Apalagi guru matematika, bu Indah. Beliau tak pernah absen menasihatiku.
*****Teng, teng, teng ...
Bel bertanda pulang berbunyi nyaring. Aku yang lebih dulu keluar kelas. Bersemangat. Padahal daku duduk di bangku paling belakang. Kalau urusan terobos menerobos serahkan pada Abimanyu Praksoro. Aku mengayunkan langkah santai di koridor kelas dengan earphone menancap di telinga. Sebuah lagu karya Ali Gatie berjudul It's You mengalun indah. Kepalaku mengayun pelan mengikuti alur nada, tak tertinggal mulut ini komat-kamit melafaskan beberapa bait lirik lagu tersebut. Sembari memejamkan mata, menikmati.
.... Then, please, don't let history repeat itself
‘Cause i want you, i want you
There’s nothing else i want
‘Cause i want you, i want you
And you're only thing i want ...
“Lagu ini sangat indah,” gumamku.
Buk!
“Aduh, sialan! Siapa sih yang buang kulit pisang sembarangan?” Seketika tubuhku terduduk, jatuh gara-gara kulit pisang. Tanganku tak henti mengusap-usap bokong yang terasa sakit. Meringis.
Aku bangkit dengan rasa sakit yang masih singgah di bokong. Membelalak, pengelihatanku tertuju pada seorang gadis, kakak kelas. Rambutnya pendek sebahu, hitam manis berlesung pipit. Ah, sempurna sekali. Sayangnya dia tak lebih tinggi dari ku. Jihan, gadis manis itu kemenakan pak Herman, kepala sekolah. Dia baru dua minggu di sini setelah pindah dari Jakarta. Entah apa yang menjadi alasan gadis ini pindah ke Dharmasraya. Tapi, dua minggu ia berada di sini. Dua minggu juga aku curi-curi pandang kepadanya.
Kami bersitatap beberapa beberapa saat. Tawa kecil di wajahnya terhias indah, mengetahui diriku jatuh gara-gara kulit pisang. Jihan mengalihkan pandangan sebelum aku melambai ke arahnya, menyapa. Dia masuk mobil pak Herman lalu melaju pergi dengan bayangan yang masih tersisa di pikiranku.
*****Siang ini begitu panas. Siapa pun tidak akan tahan berlama-lama menjemur diri di bawah terik sengat matahari. Aku dan beberapa siswa lain berjalan kaki menuju rumah masing-masing. Sebagian dari mereka mempercepat langkah agar segera sampai di rumah. Bukan pilihaku berjalan kaki menuju rumah. Apalagi panas matahari di siang terik seperti ini membuatku ingin pingsan. Rumahku hanya beberapa meter dari sekolah. Jadi Ayah tak pernah repot mengantar—menjemputku. Di rumah kami juga punya seorang sopir, dia bisa saja mengantar—menjemputku. Tapi sudah jadi kebijakan ayah, tidak mengizinkanku dijemput oleh siapa pun. Ah, ayah memang menyebalkan.
Aku mencampakkan sepatu di teras tanpa menaruhnya dengan rapi di rak sepatu. Sudah jadi kebiasaan, mungkin Bi Sumi atau bunda yang akan membereskannya.
“Assalamualaikum, Bunda!” teriakku saat beberapa langkah masuk rumah. Aku menyeret tas dengan malas.
“Bunda!” belum puas jika belum ada jawaban.
“Bun—”
“Hm,” bunda berdeham. Menggelengkan kepala seraya bercacak pinggang. Tapi tetap ada senyum simpul menyambutku siang itu seperti siang-siang lalu.
“Bunda!” seruku sembari berlari seperti bocah, memeluk bunda.
“Eits,” bunda menggoyangkan jari telunjuk. “Kebiasaan. Tak ada peluk-peluk. Mandi dulu, kau sangat bau!” bunda menjewer telingaku.
“Aw, iya bunda. Iya, Bima mandi ...” aku meringis menahan sakit.
Bunda Maya, Bunda yang paling baik sedunia. Tak ada masakan yang lebih enak selain masakan bunda. Tak ada cinta kasih yang paling tulus dari cintanya. Selama ini aku memang lebih dekat dengan bunda ketimbang ayah. Entah kenapa, kata psikolog itu ikatan batin. Bisa dibilang begitu. Dari kecil sampai enam belas tahun usiaku. Bundalah yang paling mengerti, tak ada selain bunda.
Rasa lelah lepas pulang sekolah membuatku menguntungkan lamunan di langit-langit kamar. Sembari berbaring malas menikmati semilir angin yang menerpa lewat jendela.
“Besok ulangan Bahasa Indonesia,” desisku seraya menghembuskan napas dalam. “Menyebalkan!”
Tililit, tililit, tililit ...
Dering ponsel memecah kesunyian. Pada layar benda pipih itu tertulis nama “Nadira” Cepat-cepat ku klik tombol hijau. Lalu meletakkan benda itu ke daun telingga.
[Hallo ...] Ucap seseorang di seberang sana.
“Hallo,” balasku.
[Bima, lagi sibuk nggak?]
“Hm, tidak. Ada apa?”
[Mau nggak nganterin aku ke toko buku, sebentar aja ....] Suara memohon dari dalam ponsel membuatku meloncat kegirangan. Girang? Oh, pasti. Manusia cantik sejagat raya itu memintaku menemaninya ke toko buku. Siapa yang mau menolak? Pangeran Antonio pun tak akan menolak jika diajak oleh gadis secantik Nadira.
“Oh, oke. Aku jemput kamu ya ...” ucapku bersemangat.
Segera ku tutup sambungan telpon dan bersiap-siap menjemput bidadari, Nadira.
*****“Kamu ke toko buku, mau beli buku apa?” tanyaku pada Nadira yang sibuk berkirim pesan. Dari tadi gadis itu berkutat dengan ponselnya, seperti ada yang istimewa di sana. Saking asyiknya Nadira tak acuh kepadaku. Ku hembuskan napas panjang ketika pertanyaan itu tak dijawab.
Buk!
“Aw, maaf, maaf. Saya tidak sengaja,” ucap seseorang ketika minumannya tumpah ke bajuku.
“Lain kali hati-hati dong, mbak. Liat nih, baju saya jadi kotor!” kataku sebal.
Wanita itu berlalu setelah meminta maaf kepadaku.
“Nad, ada tisu nggak?”
“Nggak, adanya saputangan,” jawab Nadira tak mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia merogoh saku pada celananya. Lalu menyerahkan saputangan tersebut kepadaku.
“Thanks,”
“Hm.”
Ekspektasi tak seindah realitas. Kupikir dengan mengantar Nadira ke toko buku, bosan dan lelahku terobati. Eh, malah dicuekin. Dasar cewek! Batinku geram.
*****
“Bim, cariin ensiklopedia matematika ya, di rak buku sebelah sana. Aku mau liat-liat ATK dulu di sini.”
“Ok.”
Sesuai permintaan Nadira, aku mencarikan ensiklopedia matematika. Kebetulan rak ensiklopedia itu berdekatan dengan rak novel dan buku-buku fiksi lainnya. Di sana aku iseng membaca beberapa buah ensiklopedia yang tak kupahami isinya. Bacaanku terhenti, saat mendengar beberapa buku jatuh terserak. Dan seorang gadis yang sesegera memungutnya. Aku diam saja, tak bermaksud membantu.
Dia! Kakak kelas! Jihan! Desisku dalam hati. Kuperhatikan binar matanya, menyejukan. Tiba-tiba rasa kemanusiaanku tergugah, saat hendak menghampiri Jihan dan membantu membawakan bukunya. Seseorang menepuk pundakku. “Hey!”
Aku menoleh, “Nadira!”
“Udah dapat ensiklopedia matematikanya?”
“Udah.”
“Ok, kalau gitu ayo pulang.”
Aku memperhatikan dari jauh gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Cinta Abimanyu
Teen FictionAku mengenalmu lewat sajak yang kau sampaikan bersama angin Aku mencintaimu lewat sajak yang menikamku kala mendung menggelayut Ku katakan padamu, lewat perantara sajak bersama hujan yang membasahi rindu ...