Part 10 : Observe to You

28 5 0
                                    

Jam 08.00 dan perutku sudah penuh terisi nasi uduk. Nikmat juga rasanya nongkrong di warung kaki lima, sarapan tanpa gangguan telpon atau pesan meeting. Tidak terburu-buru dan tidak terbebani dengan jadwal pertemuan, kunjungan atau menerima tamu.

Pertama kali dalam usia dewasaku, aku merasakan pagi yang benar-benar tenang. Menikmati sarapan dengan sesungguhnya, menyeruput teh hangat dengan pelan dan melihat lalu lalang manusia. Menikmati tingkah orang-orang yang berkegiatan di sekelilingku. Benar-benar pagi yang sangat tenang untukku.

Ojek online pesananku datang lima menit kemudian. Hari ini aku ingin berkeliling kota kecil ini. Mencari rumah kosan dan mungkin pekerjaan baru yang dekat dengan tempat dalam data milik Om Sony. Andrew sebentar lagi tante akan menemukanmu.

"Tujuan kita sudah sesuai dengan titik di aplikasi?" tanya sang driver yang berpakaian kaos, jaket ojek dan memakai sandal jepit.

"Iya, sesuai titik saja." Jawabku singkat.

Tak lama telpon milik sang driver itu berbunyi sebelum motor mulai berjalan.

"Ibu, mohon izin saya menerima telpon dulu. Dari istri saya, takutnya ada kondisi darurat."

Aku mengangguk.

Terlihat wajah seorang anak kecil dalam ponsel driver itu. Ternyata sebuah video call. Terdengar suara seorang wanita juga, mungkin istrinya. Mereka terdengar ngobrol memakai bahasa Sunda yang tak kumengerti. Terlihat anak kecil sedang tertawa. Ingatanku terbawa pada beberapa tahun lalu, anak kecil itu mungkin seusia dengan Andrew.

"Aduh, punten, Teh, anak saya suka ngambil hp ibunya," jelas sang driver sambil buru-buru memasukkan ponselnya pada tas kecil di pinggang.

"Ga apa-apa, Kang. Anaknya umur berapa?" tanyaku saat motor mulai berjalan pelan.

"Baru tiga tahun, Teh.

Ojek motor itu membawaku membelah padatnya jalanan kecil. Sebuah wilayah di Jawa Barat, daerah kecamatan tetapi memiliki keramaian tak kalah dengan kota atau kabupaten. Motor dan angkot mendominasi jalanan. Dua pasar besar menjadi pusat keramaian daerah itu. entah pasar apa saja itu, aku hanya melihatnya seklias.

Terlihat banyak lelaki yang berdiri di pinggir jalanan dekat pasar. Tangan mereka dihiasi tato, entah asli atau palsu. Terlihat seperti calo yang tengah mengarahkan calon penumpang ke dalam angkot-angkot milik mereka.Suara mereka terdengar kencang. Asap kendaraan bersatu dengan asap rokok dan debu. Cuaca mulai panas. Tapi, masih belum sepanas ibu kota.

Motor ojek ini masih terus membawaku hingga ke darah perkampungan dan perumahan yang berderet. Sang driver tak banyak mengajak ngobrol. Dia membawa motor dengan santun dan tidak ngebut. Sesekali memperingatkanku agar tas yang kubawa dipegang baik-baik, karena jalanan sangat ramai hari itu.

"Sudah sampai, Teh," driver ojek itu berhenti di depan sebuah komplek perumahan.

Aku turun sejenak dan memandangi sekitar. Perumahan dan perkampungan itu berderet rapid an ramai. Berbagai macam pedagang kaki lima memenuhi pinggir jalanan dan menutup trotoar. Tukang-tukang becak berjajar rapi.

"Aa, saya boleh tanya?" tanyaku tanpa menoleh ke driver itu.

"Iya, Teh, mangga." Jawabnya santun.

"Daerah ini betul bernama sukamandi?"

"Iya, betul."

"Apakah di sini ada rumah atau kos-kosan yang disewakan?" tanyaku lagi.

"Oya, banyak, Teh, kalau daerah sini. Bisa dicari ke dalam perumahannya atau masuk ke perkampungannya. Mereka biasanya akan memasang tanda persewaan rumah di pinggir jalan. Setahu saya perumahan dan perkampungan ini tempat untuk tinggal yang paling strategis."

Aku menunggu penjelasan tukang ojek itu lagi.

"Mau kemana-mana dekat. Mau makan, ke klinik, apotek, tempat belanja, tempat nongkrong, pasar, semua dekat." Kata tukang ojek itu lagi.

"Kalau sekolahan dekat juga?" tanyaku lagi

"Nah, itu di sebelah timur, ada SMA dan SMP Negeri. Ini di sebelah barat ada SD negeri terkenal. Kalau menyebrang jalan ke sana ada sebuah sekolah swasta yang tak kalah bagusnya. Di sini komplit, Teh," tangannya sibuk menunjuk ke berbagai arah.

"Makasih ya, Aa informasinya. Ini kembaliannya ambil aja." Aku menyodorkan uang lima puluh ribuan padanya.

"Punten, Teh. ini terlalu banyak. Cuma 5000 rupiah saja." Dia mengembalikan uang itu.

"Ga apa-apa, Aa. Terimakasih sudah meladeni banyak pertanyaan saya. Sudah menunjukkan dan memberikan informasi mengenai tempat ini. Anggaplah ini upah karena menjadi pemandu saya pagi ini." Ujarku.

"Aduh, Gusti, rezeki. Hatur nuhun pisan, Teh. Mmm... begini saja. Bagaimana kalau setelah selesai urusan teteh di sini, saya jemput lagi. Nanti saya antar ke mana saja teteh inginkan. Nomor saya tadi udah disimpan, kan? Nanti tinggal telpon saja, ya, Teh." Lelaki itu berbinar matanya.

"Iya, Aa. Siap. Asep kan, tadi namanya. Oke makasih, ya." Aku berjalan masuk ke area perumahan itu.

Benar saja, baru 100 meter aku berjalan, sudah ada papan yang menunjukkan rumah kontrakan. Aku masih terus berjalan melewati berbagai gang. Sedikitnya aku menemukan 5 rumah dengan kondisi tampak depan yang sangat bagus sedang dikontrakkan.

Aku memutuskan untuk menelpon sebuah nomor ponsel yang tertera dalam papan nama rumah yang disewakan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku memutuskan untuk menelpon sebuah nomor ponsel yang tertera dalam papan nama rumah yang disewakan. Aku menyukai rumah yang terletak di ujung komplek. Kecil tapi rapi dan bersih.

Setengah jam kemudian, aku sudah berbincang dan membuat kesepakatan dengan pemilik rumah itu. Jangka sewa satu tahun sudah aku lunasi. Aku memutuskan untuk segera check out dari hotel dan memindahkan barangku yang tak seberapa banyak ke rumah itu.

Rencana pertama sudah kuselesaikan. Tak banyak yang harus kususun dalam rumah itu. Aku membeli perlengkapan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Lalu kulanjutkan dengan berjalan kaki melihat perkampungan di daerah itu.

Menurut berkas yang dulu pernah kubaca,penangkapan terduga penculik itu ada di daerah sekitar sini. Tepatnya dimana,itulah yang menjadi kesulitanku. 

The Railway ChildrenWhere stories live. Discover now