Deja Vu

11 1 0
                                    

plakkk

"Mengerti bahasa Indonesia kan kamu? Bekerja dengan rapih. Bisa?!" ujar ayah dengan nada tinggi.

"Maaf ay--AA" sahutku sambil meringis kesakitan saat ayah menamparku lagi. Aku menangis.

"Tidak ada kata maaf! Pergi sana!" sahutnya sambil menendangku.

Tamparan dan makian. Astaga. Itu makanan sehari-hariku dari munculnya matahari hingga langit bumi dipenuhi oleh bintang yang berkelap-kelip. Semua orang membenciku. Sungguh. Dirumah, Ayah selalu menyiksaku. Disekolah, satu sekolah membulyku habis-habisan.

Saat ini, waktu ini, menit ini, bahkan detik ini, aku mengeluarkan niat burukku kembali. Bunuh diri adalah salah satu jalan terbaik untukku. Dengan cara mengakhiri hidupku yang sama sekali tak ada orang yang mau menyayangiku. Aku sudah jauh dari kata 'depresi'. Atau aku mungkin gila saat ini.

Aku segera mengambil benda andalanku. Pisau. Benda kesayanganku yang selalu ada di kamarku. Dengan cara cukup hanya menyayatkan benda tajam itu ke nadiku, dan.. Tarra! Mati.

Braakk

Aku dengan spontan memalingkan wajahku kearah pintu sebelum benda tajam itu mengenai kulitku. Aku melihat Ayah dengan kayu ditangan kanannnya.

"Ayah?"

Bugg.

Astaga. Gelap. Ah sial. Ayah memukulku.

Kriiingg..

Bel sekolah berbunyi. Aku segera memasuki ruangan kelas baruku. Aku segera mencari tempat duduk yang cocok denganku. Mungkin paling belakang?

"Bolehkah aku duduk disini?" tanya seseorang kepadaku.

Astaga. Dia cantik. Dia mau duduk denganku? Apa tak malu? Atau, ia belum tahu?

"T-tentu." sahutku sambil tersenyum gugup kearahnya.

"Hai. Aku Clara. Aku anak pindahan dari luar kota." sapanya sambil menjulurkan tangannya kearahku dan tersenyum dengan manis.

"H-hai. A-aku Keyra." sahutku sambil membalas juluran tangannya dengan sedikit gugup.

"Hai Keyra! Aku harap aku betah disini. Mari berteman!" ajaknya dengan semangat.

Tunggu. Teman? Astaga ini pertama kalinya.

"K-kau t-tidak malu?" tanyaku gugup.

"Untuk apa? Mari berteman!" sahutnya dengan senyum gembira.

Sungguh. Aku senang. Sangat senang. Ingin nangis? Sangat. Aku rasanya ingin berterima kasih kepada Tuhan atas semua ini. Ah entahlah. Intinya, ini pertama kalinya aku merasa bahagia.

Kringgg

Jam pulang tiba. Sungguh, ini pertama kalinya aku punya teman. Pertama kalinya dalam hidupku.

"Mau pulang bersama?" tanya Clara saat jam pulang tiba.

"Boleh. Kau kearah mana?" sahutku.

"Searah denganmu. Ayo!" ajaknya dengan semangat.

Aku dan Clara memutuskan untuk pulang bersama. Keceriaan selama dijalan kami lewati dengan bahagia dan tertawa puas. Entah kenapa yang biasanya sehari rasa seminggu, sekarang sehari hanya seperti berasa satu jam. Mungkin ini yang dinamakan 'punya teman'.

"Keyra. Kapan ulang tahunmu?" tanya Clara penasaran.

"Besok. Hehe." sahutku sambil terkekeh.

"Sudah ya! Aku masuk dulu. Sampai ketemu besok!" sambungku dengan maksud mengalihkan pembicaraan.

Jujur, aku benci ulang tahunku. Ibu meninggal dihari yang sama dengan hari lahirku. Ibu meninggal karena melahirkanku. Makanya Ayah sangat membenciku sampai saat ini karena Ibu meninggal karena melahirkanku. Ayah selalu menyiksaku di saat aku ulang tahun. Sudah seperti kado setiap tahun. Ah sudahlah. Tidak usah diingat. Aku benci hari itu.

Kringg

Jam bekerku berdering. Itu adalah tanda jika sudah jam 5 pagi. Saatnya bangun dan siap-siap ke sekolah.

Seperti biasa, aku jalan kaki kesekolah. Dekat sih. Hanya 1,5km dari rumah. Tunggu. Hari ini, Ulang tahunku? Ah tidak. Depresiku kambuh. Aku teringat semua ucapan itu. Aku tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi saat aku bertemu dengan Ayah nanti.

"Akhirnya sampai." bisikku lega saat sesampainya di depan kelas karena tak bertemu dengan ayah dijalan. Tanpa berfikir panjang, aku segera membuka pintu kelas dan masuk ke dalamnya.

"Lilin apa itu?" Tanyaku kebingungan saat melihat ada satu lilin yang menyala di ruangan kelas yang gelap ini.

"Selamat ulang tahun, Keyra." ujar Clara yang muncul dari bawah meja.

"Tiup lilinmu." sambung Clara sambil tersenyum.

Aku segera meniup lilin itu dan,

"Aduh kepalaku." ujarku sambil berusaha duduk dengan sedikit kesakitan.

"Hey bodoh! Pergi sekolah! Sudah siang!" teriak Ayah dari luar kamar.

"I-iya." sahutku.

Astaga hanya mimpi. Mungkin memang sudah takdir kalau aku tak akan pernah bisa mempunyai teman seumur hidupku.

Aku segera berusaha bangun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi untuk bersiap-siap sekolah.

Setelah siap-siap, tanpa berfikir panjang aku segera mengambil tasku dan keluar kamar dengan wajah sedikit pucat karena bekas kejadian kemarin.

Aku keluar kamar dengan sedikit sempoyongan. Aku melihat Ayah sedang sibuk dengan 'minumannya'. Aku tidak mau menimbulkan masalah di pagi hari. Jadinya aku memutuskan untuk langsung keluar dari rumah dan berjalan menuju sekolah.

kringgg

"Syukurlah aku tidak telat." batinku saat sampai di kelas dan segera duduk di barisan paling belakang.

Duduk dibelakang adalah kegemaranku sejak dulu. Entah kenapa aku sangat senang dibelakang. Mungkin agar tidak diganggu oleh yang lain? Ah entahlah. Pokonya aku terlanjur nyaman dibelakang.

"Boleh aku duduk disini?" Tanya seseorang.

Tunggu. Dia--
Familiar.

"T-tentu." sahutku.

Sungguh ini terasa seperti deja vu.

"Hai. Aku Clara. Aku anak pindahan dari luar kota. Salam kenal."

Tunggu,
Clara?

Ajaib.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang