Sara sudah berdiri dua puluh meter di atas air. Ia mencengkram pegangan jembatan dengan gelisah, seperti ingin meremukkan tapi besi itu lebih kokoh daripada tangannya yang gemetar. Ditatapnya air sungai yang mengalir deras di bawah tempat ia berpijak. Dengan ragu-ragu, ia gerakkan kaki kanannya melewati besi panjang itu. Kakinya mendarat di sebagian kecil jembatan yang menjorok ke sungai dengan luas yang bahkan hanya cukup untuk menopang kaki berjinjit.
Posisi tubuhnya kini seperti menunggangi besi itu. Masih gemetar. Ia naikkan kaki kirinya hingga kini ia berdiri berlawanan arah dari sebelumnya. Dengan tangis dan tubuh gemetar, seharusnya tak ada yang perlu dirisaukan. Ia hanya tinggal melompat ke sungai, seperti sejak awal ia rencanakan. Ia melongok ke bawah sekali lagi, kemudian mencoba berbalik agar tubuhnya menghadap sungai namun berputar dengan kaki hanya berjinjit tentu menyulitkan untuk tetap tegak.
"Apa yang akan kau lakukan?!"
Seorang laki-laki dengan tangkas mencengkram bahu Sara saat ia hampir oleng dan terjun ke air di bawah sana. Gerakannya cepat dan mengagetkan. Sara tersentak. Ia membelalakkan matanya. Tangisannya semakin menjadi. Ia berteriak.
"Kau tidak benar-benar yakin ingin membunuh dirimu sendiri. Cepat naik dan ceritakan apa yang terjadi." Ujar lelaki itu kembali. Sambil tetap menangis, Sara menurut. Bagaimana tidak, tangan dingin dan pucat itu memegang tubuhnya dengan kuat. Melongok ke bawah juga malah menciutkan nyalinya.
"Kau mengacaukannya", pekik gadis berusia tujuh belas tahun itu. Ia menatap orang di hadapannya dari atas sampai bawah. Anak itu tampak seusia dengannya, mengenakan kaos, celana panjang, dan sepatu berwarna hitam yang kentara dengan kulitnya yang putih pucat. Satu hal yang membuat Sara sedikit tenang adalah ia tidak tampak seperti berandalan.
"Kau tidak sungguh-sungguh akan bunuh diri. Kuperhatikan kau berdiri dan berpikir di sini lama sekali. Padahal tinggal melompat apa susahnya?" gumamnya menimpali Sara yang sedang mengacak-acak rambutnya sendiri. Sara memerhatikannya sekali lagi. Lututnya lemas, ia tidak tahu niat untuk bunuh diri justru akan berakhir menegangkan seperti ini.
"Namaku Robigo", lelaki bermata cokelat terang itu mengulurkan tangan. Sara tidak menggubris.
Angin berhembus memapah daun-daun kering berpindah posisi. Cahaya di langit mulai meredup seiring malam sudah waktunya menampakkan diri. Suara burung gagak sesekali memecah keheningan di antara mereka, yang justru mengubah keterdiaman menjadi sesuatu yang mencekam. Sara menengadahkan wajahnya ke langit lalu tatapannya ditujukan pada lelaki yang telah menggagalkan rencana bunuh dirinya tadi.
"Kau tahu ini daerah yang kata orang angker. Apa kau akan diam di sini sampai malam?" Tanya Robigo pada Sara yang masih mematung.
Sara memerhatikan sekeliling. Saat ia memutuskan datang kemari, ia sadar bahwa tempat yang ditujunya ini adalah tempat yang sangat sepi, yang bahkan orang-orang akan berpikir dua kali untuk melewatinya.
"Kau sendiri sedang apa di sini?" Tukas Sara.
Robigo tidak menjawab, bahkan matanya jauh menerawang, tidak ke arah Sara. Sara kembali melemparkan pandangan ke segala arah. Perasaannya tak enak. Ia tatap lelaki di hadapannya sekali lagi kemudian memutuskan untuk pergi.
Mata mereka beradu pandang. Robigo tersenyum. Tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya.
Sara langsung berjalan melewatinya. Ia merapatkan jaketnya karna angin mulai membuatnya menggigil. Setelah berjalan kira-kira sepuluh meter, sesaat ia berhenti menyeret langkahnya lalu berbalik. Robigo kini tak ada di tempatnya.
***
Sara lari tergopoh-gopoh. Jarak antara jembatan di kebun karet memang tidak jauh dengan perumahan tempat tinggalnya namun ia merasa tak kunjung sampai. Jalan menuju rumah juga tidak begitu sepi namun ia merasa sangat ketakutan.
Sesampainya di rumah, ia ambruk di depan pintu. Mama dan Melani yang sudah menunggu dengan resah berlari menemuinya.
"Sara, ada apa?" teriak Melani sambil berupaya menyandarkan tubuh Sara ke tubuhnya. Sara menangis histeris. Dipegangnya tangan Melani kuat-kuat. Mama bergegas mengambil segelas air.
"Minum dulu, sayang. Lalu ceritakan apa yang terjadi!" ujar Mama segera.
Melani merasa ada hal yang tidak beres. Ia mencium bau hangus. Ia dekap tubuh sahabatnya, semakin dekat dengan penciumannya, semakin ia gelisah. Tepat di sekitar pundak Sara, Melani mencium bau menyengat seperti bau sesuatu yang terbakar. Sekilas Melani juga mencium bau amis, namun tetap tidak lebih menyengat dari bau gosongnya. Hal ini pasti berkaitan dengan ketakutan yang tampak Sara rasakan.
"Dari mana saja? Mama mencarimu sampai harus merepotkan Melani. Aldi juga tidak tahu posisimu ada di mana," tanya Mama. Sara masih tetap tak menghentikan tangisannya. Tubuhnya begitu tak berdaya.
"Mama, Tolong jangan lagi menyebut nama Aldi. Aku benci dia." Timpal Sara segera, masih dalam keadaan menangis.
Mama dan Melani saling berpandangan. Inikah yang membuat Sara seperti orang kesurupan begini?
Sara bangkit dari pelukan Melani. Ia tahu bahwa bukan itu cerita yang ingin ia utarakan. Bukan itu hal yang membuatnya lari tunggang langgang karena ketakutan. Mama dan Melani harus tahu mengenai lelaki yang bertemu dengannya di sungai tepi kebun karet tadi. Tentu, tanpa cerita adegan percobaan bunuh dirinya.
"Mama khawatir karna kamu pergi tidak beri tahu Mama. Melani juga tidak tahu, pacarmu juga tidak tahu," ujar Mama.
"Aku meneleponmu berkali-kali tapi kamu tidak menjawab," Melani menambahkan.
Sara teringat. Ia meletakkan ponsel di tas kecil yang dipakainya. Ia buru-buru mengambilnya, namun tak ada.
"Sial. Ternyata dia cuma pencopet." Gumam Sara pada dirinya sendiri. Ia kesal, tapi anehnya napasnya bercampur lega.
Ia berhenti sesenggukan lalu memandangi Mama dan Melani yang mematung heran. Sara merasa ingin menertawakan dirinya, membayangkan perasaan mencekam karena menyangka pria bernama Robigo tadi adalah hantu. Lagipula, baik sekali ya hantu yang bisa menyelamatkan hidup manusia?
"Aku dicopet. Ponselku diambil", ujar Sara segera.
Mama mengangguk paham. Ia mengerti mengapa anaknya bertingkah aneh tadi. Ia mengelus kepala Sara dan menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja. Terlebih Sara boleh memilih dibelikan ponsel baru yang lebih bagus.
Sara kemudian bergegas menuju kamar diikuti oleh Melani. Mereka memang sudah akrab sejak kecil dan kebetulan satu sekolah di salah satu SMA di kota ini. Bagi Melani, masuk ke rumah ataupun kamar Sara adalah sudah seperti miliknya sendiri.
"Di mana kamu dicopet, Ra?" tanya Melani dengan tatapan menyelidik. Bau yang membuatnya tidak tenang itu masih mengganggu penciumannya.
"Di pinggir sungai yang ada di kebun karet itu," timpal Sara datar. Ia sudah lebih bisa mengendalikan diri. Berbeda dengan Melani yang justru menjadi tegang seusai mendengar jawaban yang tak diharapkannya.
Tak hanya Melani, seluruh warga di kota ini juga tahu bahwa sering terjadi kejadian mistis di sekitar kebun karet itu. Jembatan yang ada di sana sering dijadikan lokasi untuk bunuh diri. Spot yang memang cocok untuk menghilangkan nyawa dengan sekali lompatan.
"Jangan mikir macam-macam, Mel. Aku hanya ingin pulang sekolah jalan kaki, mencari suasana berbeda karena syok tahu Aldi selingkuh," ujar Sara dengan segera. Tentu ia tidak ingin Melani berpikiran macam-macam meskipun kenyataan yang ia sembunyikan memang demikian.
Perasaan Melani masih tetap tidak enak. Neneknya bilang ia diberikan Tuhan kelebihan indera yang membuatnya peka pada hal-hal yang tidak biasa. Kali ini ia merasakan firasat buruk.
***
YOU ARE READING
Pertemuan Setiap Sabtu Malam
HorrorSabtu malam milik Sara adalah hanya untuk Robigo, teman baru yang berhasil membatalkan agenda bunuh dirinya kala itu. Setiap menjelang pertemuan di Sabtu malam itu pula Melani selalu menemukan ada hal yang tidak beres. Ia ingin memberi tahu Sara, na...