Melani memoles bibirnya dengan lip cream. Rambut ikal sebahu dibiarkan menjuntai dengan bando hitam beludru menghiasi kepalanya. Matanya fokus mengamati pantulan dirinya di kaca meja rias. Seperangkat alat rias ia rapikan kembali ke posisi semula.
Bruk. Bruk. Jendela bergaya klasik yang terbuat dari kayu meranti bergerak-gerak ditiup angin. Melani bergegas untuk menutupnya. Ia melongokkan kepalanya ke luar jendela. Malam di daerah rumahnya memang selalu sepi terlebih di waktu malam, meskipun kali ini maghrib belum lama berlalu. Angin berdesir lebih kencang. Ia menengadahkan wajahnya ke langit dan tak terlihat bintang-bintang.
Ssshhh.....Jangan pergi.......
Tiba-tiba Melani merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mendengar seperti ada yang berbisik di telinganya. Cepat-cepat ia mengunci selot jendela. Gadis itu kembali duduk di hadapan meja rias. Ia mulai tak enak hati.
Gemericik hujan sayup-sayup terdengar dari luar. Melani mendadak kesal. Ia sudah siap berangkat dengan kado di hadapannya. Hari ini Sara, sahabatnya berulang tahun. Tentu sangat tidak oke baginya untuk pergi hujan-hujanan dengan sepeda motornya.
Melani mencoba mengecek aplikasi transportasi online untuk memesan mobil. Lebih dari 15 menit ia menunggu namun tak kunjung ada respon positif. Tumben, benaknya. Ia sudah menyampaikan akan datang telat pada Sara yang sudah ada di lokasi lebih dulu. Ia semakin tak enak saat Sara memberi tahu Alea tak akan datang karena mendadak harus ke Majalengka bersama keluarganya.
"Mel, di luar hujan. Kamu tetap akan berangkat?" Tanya Bunda sesaat setelah membuka pintu kamar. Melani menoleh sesaat. Ia mengangguk perlahan sambil menjelaskan bahwa ia sedang memesan transportasi online dan Sara sudah lebih dulu menunggu di tempat mereka janjian bertemu. Bunda mengangguk lalu menutup pintu dari luar.
Bruk. Bruk. Jendela membuka dan menutup lalu berakhir terbuka dengan celah yang lumayan besar untuk membuat angin masuk ke dalam ruangan. Alis Melani bertaut. Kok aneh, ya? Ia yakin betul tadi telah mengunci jendela. Ia lalu melangkahkan kakinya pelan-pelan kembali menuju jendela. Ia tak bisa menutupi kebingungan dan rasa merindingnya.
Angin menyemburkan percikan air hujan saat Melani berusaha merapatkan kembali daun jendela ke kusennya. Selintas ia melihat kilatan petir disusul suara gemuruh di antara rintik hujan. Melani merasa suasana sepi ini begitu mengganggunya.
Sekelebat pantulan bayangan hitam ia tangkap melewati meja rias. Melani sempat menangkap bayangan itu di ujung lirikan matanya ke kaca. Lututnya mendadak lemas. Ia kumpulkan kekuatan untuk menoleh ke arah meja, setelah itu ia tak melihat apa-apa. Segera ia kembali menutup jendela, menguncinya, dan mulutnya berkomat-kamit membaca doa untuk meredakan ketakutannya sendiri.
Ia kembali mengecek ponselnya. Kabar baik! Kini ada pengemudi yang bersedia menjemputnya meski titiknya masih jauh. Melani berusaha membuang gelisahnya dengan melompat-lompat kecil yang membuat lantai kayu yang diinjaknya berderit.
Tiba-tiba ia dengar seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan pelan. Tempo ketukan itu begitu lambat. Keringat dingin mulai muncul di telapak tangannya. Ia melirik ke jam tangan.
19.30.
Ketukan pintu terdengar lagi. Sebetulnya Bunda bisa dengan mudah langsung membuka, Bara-adiknya pasti akan berteriak-teriak jika ingin masuk kamar, sedangkan ayah tidak ada di rumah karena sedang mengantar nenek ke luar kota. Dengan gemetar Melani membuka pintu.
Bunda berdiri di depan pintu dengan pandangan kosong. Ia lalu tersenyum dan menatap Melani. Jantung Melani hampir copot, namun ia lega karena yang ia dapati adalah Bunda. Ia menelan ludahnya.
Ponselnya bergetar, pengemudi mobil yang dipesannya sudah mengirimkan pesan bahwa ia telah sampai di depan rumah.
"Masih hujan. Masih harus pergi?" tanya Bunda dengan lemas. Bunda tampak sangat kelelahan. Melani dapat melihat di raut wajahnya. Bunda pasti capek habis membereskan seisi rumah setelah diacak-acak Bara yang masih berusia empat tahun. Adik laki-laki Melani itu memang suka sekali meninggalkan mainan di mana saja dan membuang-buang makanan yang membuat rumah berantakan.
Melani mengangguk cepat. Ia menjelaskan drivernya sudah datang.
"Bunda capek sekali. Bunda bereskan kamarmu, boleh? Bara ingin main di sini sebelum tidur." Desis Bunda. Melani melongok ke kamarnya kembali. Sudah rapih, tak ada yang perlu dibereskan. Lagipula terang lampu kamar ini terlalu temaram untuk menggugah Bara mau main di dalamnya, tapi sudahlah. Ia harus buru-buru pergi. Melani pamit dan Bunda masuk ke kamar. Tak lama terdengar suara pintu ditutup.
Melani melangkahkan kakinya melewati anak tangga dengan terburu-buru. Matanya terbelalak saat melihat Bunda sedang duduk di sofa, menonton berita di televisi. Di sampingnya Bara sedang memainkan mainan kereta beraneka ragam figur Thomas & Friends. Melani menengok ke atas dari anak tangga terakhir, ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Bunda balik badan. "Mel, kadonya enggak dibawa?" tanyanya sambil mengamit keripik kentang dari toples. Melani merasakan darahnya berdesir cepat. Ia yakin wanita yang sedang bertanya padanya itu benar-benar Bunda.
"Mel! Ditanya malah ngelamun!" Timpal Bunda kembali. Melani cepat-cepat menyalami Bunda. "Sara bilang dikasih di sekolah aja besok. Aku buru-buru driver-nya udah di depan ya, Bun." Ujar Melani cepat.
Bunda benar, kadonya ketinggalan. Masih di meja rias. Namun sungguh Melani tak ingin kembali ke kamar.
***
Melani terus-terusan melihat ke jam yang mengelilingi pergelangan tangannya. Sudah hampir satu jam tentu Sara menunggu. Satu jam terhitung sejak ia bilang 'aku otw'. Sampai saat ini Melani masih memikirkan kejadian sebelum ia berangkat tadi di dalam mobil yang ditumpanginya.
Gawainya mengeluarkan bunyi khas. Ada pesan dari Ale. Alea ternyata sudah melakukan empat kali panggilan tidak terjawab dan Melani baru menyadarinya. Ia baca pesan dari sahabatnya itu pelan-pelan. Dahinya berkerut. Ale menyuruhnya untuk mengecek cerita yang dibagikan Dani di Instagram atau instastory. Katanya Dani sedang berada di kafe di mana Sara berada. Dani adalah teman sekelas mereka di sekolah. Siswa laki-laki yang berisik dan tidak disukai mereka karena dia tukang gosip. Tentu sudah pasti ia tidak akur dengan anak-anak tidak populer seperti Melani, Sara, dan Alea. Terlebih mereka seringkali dijadikan olok-olokannya.
Penasaran, Melani membuka cerita yang dimaksud Ale. Dani mengunggahnya satu jam yang lalu. Melani tercekat. Tenggorokannya mendadak seperti terbakar. Ia dekatkan layar ponselnya. Berkali-kali diputarnya cerita itu.
"Kenapa, Teh?" tanya pengemudi transportasi online berinisial G itu di sampingnya.
Melani menggeleng lalu tertawa. Ia tak bisa menahan kebingungannya.
Ia melihat Sara sedang duduk sendiri namun dengan tatapan dan ekspresi sedang berbicara pada seseorang (atau sesuatu) di hadapannya. Dani menuliskan teks jomblo halu di malam minggu dengan GIF ekspresi menertawakan.
Melani mengamati kembali postingan itu baik-baik. Di meja tempat Sara berada, ada dua gelas minuman. Setengahnya sudah diminum dengan ujung sedotan limun menghadap ke Sara. Gelas satu lagi isinya masih utuh, ditempatkan dekat kursi di hadapan Sara.
Dani bukan hanya jadi memiliki bahan untuk mengolok-olok, hal itu juga membuat Melani menjadi tidak karuan. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Seperti akhir-akhir ini di dekat Sara ia selalu sakit kepala.
Melani melihat instastory itu sekali lagi lalu membalas pesan Ale. Ia berusaha berpikir bahwa Sara memang sudah memesankan minuman itu duluan untuknya. Di akhir pesan untuk Ale Melani hanya menambahkan 'si Daniati emang pengen cari ribut aja sama kita'.
Melani menghela napas. Saat ini ia hanya ingin cepat-cepat sampai.***
YOU ARE READING
Pertemuan Setiap Sabtu Malam
HorrorSabtu malam milik Sara adalah hanya untuk Robigo, teman baru yang berhasil membatalkan agenda bunuh dirinya kala itu. Setiap menjelang pertemuan di Sabtu malam itu pula Melani selalu menemukan ada hal yang tidak beres. Ia ingin memberi tahu Sara, na...