Rumah di Ujung Sana

54 1 0
                                    

Perburuan hampir merenggut jiwaku. Aku mengatur napasku, memastikan pula agar detak jantungku kembali normal. Kedua bola mataku melihat ke segala penjuru. Tak ada apa pun, hanya dedaunan yang bergoyang dibelai angin.

Kaki yang kukira kuat, ternyata bisa lemah juga. Tungkai kiriku yang telah terkilir meronta untuk berhenti. Aku menghentikan langkahku yang memang sudah sedari tadi lelah berlari dengan pincang. Aku duduk di bawah pohon rindang, seraya berdoa semoga cecunguk-cecunguk sialan itu tidak melihatku.

Seharusnya langit cerah, tetapi aku tidak bisa melihat awan putih dan langit biru karena tertutup oleh rimbunnya pepohonan.

Bagaimana keadaanmu, Janaka?

Aku, di sini jelas tidak baik-baik saja. Mau tahu, tidak? Aku dikejar oleh sekumpulan bajingan yang sedang memburumu. Kata mereka, kamu mencuri emas dan permata dari sebuah brankas seorang pejabat di kota kita. Katanya, kamu meniduri gundiknya agar mendapat kunci brankas tersebut.

Aku hanya tertawa sampai rasanya isi perutku mau keluar. Wah, dari cara mereka bercerita saja, jelas-jelas fakta itu hanya delusi.

Memangnya itu benar, Jan?

Aku, sebagai pacarmu yang sangat mencintaimu, sudah pasti membelamu. Aku bahkan mati-matian membelamu, membuat kesaksian palsu bahwa aku yakin seratus persen bahwa kamu tidak mencuri emas dan permata itu.

Mereka tidak percaya, Janaka. Mereka justru memburuku, mereka kira aku bersekongkol denganmu. Padahal, aku saja tidak tahu keberadaanmu. Kamu hilang bagaikan ditelan bumi. Kata adikmu, Kartika, kamu bersembunyi di desa paling tenggara. Hanya itu petunjuk yang ku dapat, maklumlah jika sekarang aku tersesat di tengah antah berantah.

Sesaat setelah merasa lebih baik – walaupun tentu saja tidak sepenuhnya baik – aku beranjak melanjutkan perjalananku.

Matahari mulai tenggelam di ufuk timur, tanda aku harus bergegas menuju desa tempatmu bersemayam, desa paling tenggara.

Setiap detiknya, hutan semakin tidak bersahabat. Gemerisik dedaunan memecah keheningan. Suara-suara hewan yang tak kukenali mengusik telinga. Menuju malam, suasana menjadi semakin gelap. Bayangan berkelibat di balik semak belukar. Itu cukup membuat jantungku, yang sudah setengah copot, berdegup kencang.

Ku kira hutan ini tak berujung, ternyata aku salah. Samar-samar, cahaya kuning dari lampu petromak menembus gelapnya hutan. Secercah harapan yang semula surut bangkit kembali. Aku mempercepat langkahku, yang masih pincang ini, menuju cahaya itu.

Sesampainya di penghujung hutan, aku disambut oleh deretan rumah kayu tradisional yang tak pernah ku temukan di perkotaan. Aku menghampiri rumah paling ujung dari deretan itu, berharap menemukan batang hidungmu, Janaka.

Rumah paling ujung tampak paling usang dibanding deretan rumah lainnya. Lampu petromak yang tergantung mulai meredup. Tangga menuju pintu rumah itu pun tampak lapuk, hampir saja aku mengurungkan niat untuk menghampiri pintu itu. Benar saja, tiap undakan tangga yang ku injak, selalu mengeluarkan derit yang menyeramkan.

Aku mengetuk pintu kayu dengan pelan, aku takut pintu itu akan roboh jika aku mengetuknya terlalu keras.

"Permisi."

Tak lama kemudian, pintu kayu itu berderit. Muncul sosok pria paruh baya dengan pakaian lusuh. Aku curiga, pakaian itu tidak pernah dicuci dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Dengan mata cekungnya, ia menatapku seraya bertanya, "Cari siapa, Non?"

Tanpa basa-basi, aku menjawab, "Janaka. Janaka Madukara. Ada?"

Laki-laki itu tampak kaget, matanya yang rabun memerah dan bola matanya hampir saja keluar dari lubangnya. "Bukan ujung sini," timpalnya. Ia langsung menutup pintu dengan keras dan menguncinya.

Aku sedikit tersentak akan tanggapan yang ia berikan. Seseram itu kah nama "Janaka Madukara" untuk penduduk desa ini? Otakku memberikan sinyal, memang ada yang tidak beres denganmu. Adrenalinku mengalir deras, semakin curiga bahwa semua hal yang dikatakan mereka benar.

Muncul satu pertanyaan terlintas di otakku: ujung yang mana?

Aku menuruni undakan tangga, lalu berjalan melewati deretan rumah kayu menuju arah tenggara, berharap Janaka memang benar-benar di rumah paling ujung tenggara.

Suasana di desa ini lumayan suram. Koreksi, sangat suram. Gelapnya malam hanya ditemani cahaya bintang dan rembulan. Lampu dari petromak tergantung di depan perumahan, kadang tak cukup menerangi jalan yang dipenuhi bebatuan. Tak hanya sekali dua kali aku terjatuh dan terpeleset, membuahkan lecet di sekujur tangan dan kakiku. Rupanya, Tuhan masih menginginkanku untuk menderita berpuluh-puluh kali.

Hal ini tidak ada apa-apanya, dibandingkan sejuta pertanyaan tentangmu yang belum terjawab. Ku genggam niatku penuh, tak akan pernah goyah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KatalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang