Put Together

2.8K 427 13
                                        

Mematut diri sendiri pada cermin yang merefleksikan postur tubuhnya. Tenggelam dalam balutan kaos hitam kebesaran milik Jungkook. Jiyeon lantas mengerjap lembut, menelengkan kepala sejemang demi meneliti keadaannya.

Bahkan Jiyeon tidak membutuhkan celana sebagai pelengkap. Sebab, baju itu benar-benar menutupi bagian bawahnya hingga sebatas lutut.

Pun Jiyeon dilanda kebimbangan atas kebaikan yang Jungkook berikan. Alasan yang terdengar tidak masuk akal, tapi Jiyeon bisa menerimanya. Sebab, membayangkan kehidupannya setelah keluar dari neraka itu, Jiyeon pasti menjadi gelandangan jalanan yang tidur di depan pertokoan. Beralaskan kardus bekas kotor tempat pembuangan kotoran tikus.

Membayangkannya cukup membuat Jiyeon meneguk ludah kesulitan.

Lekas Jiyeon membawa tubuhnya bergerak keluar dari kamar. Menemukan Jungkook yang duduk di ruang tengah sembari menikmati sepuntung rokoknya yang bersisa setengah. Sempat melirik Jiyeon sekilas yang melangkah lebar, sebelum kembali pada kegiatan.

Atensinya teralih pada decitan kursi yang ditarik bergesekan dengan permukaan lantai. Kebisingan yang Jiyeon ciptakan cukup mengusik ketenangan yang Jungkook buat. Lantas gadis kecil itu duduk di depan Jungkook, memaku pandangan pada pria itu yang menatapnya dengan alis terangkat bingung.

"Apa?" Jungkook bertanya melalui aksen beratnya. Menghisap kembali rokok dalam jepitan jemari.

Selang beberapa menit hanya keheningan yang tercipta dan menyelimuti suasana. Benar-benar hening, jarum jam di dinding saja satu-satunya pengisi suara di dalam ruangan. Jiyeon bertahan pada posisinya, tidak melepaskan pandangan barang sekejap saja dari Jungkook. Diam dengan kedataran yang ia miliki.

"Aku berumur empat belas tahun."

Adalah suara lembut Jiyeon yang menguar dan hampir saja membuat Jungkook lupa untuk membuang asap rokok yang ia hirup. Menghembuskan dengan satu kali mutlakkan, Jungkook menghadap serius. Melipat lengan ke atas meja. Menuntut Jiyeon melalui tatapan agar memberi penjelasan lebih lanjut.

"Kenapa bisa aku hidup dan terlahir di dunia ini, aku juga tidak tahu jika Paman bertanya begitu. Yang jelas, aku ini anak buangan," tuturnya dengan nada lemah. Menunduk, menyembunyikan genangan air di pelupuk mata. Jiyeon menimpali, "Aku tidak punya siapa-siapa, bahkan aku lupa siapa yang membesarkan ku sampai sekarang. Yang jelas, aku bertahan dengan tenagaku sepenuhnya. Sendirian."

Kalimat itu lagi-lagi mengingatkan Jungkook pada perputaran waktu sebelum ia dapat hidup dengan tenaganya sendiri. Berjuang dan bergantung kepada orang lain adalah hal yang mustahil. Hidup di dunia ini keras, maka harus siap berpijak pada topangan yang dimiliki tanpa sangkut paut dengan siapapun. Sebab, itu hanya akan menambah masalah dan membuat diri terasa rendah.

Ah, sial. Membayangkan kehidupannya terdahulu cukup membuat Jungkook dilanda mual.

"Aku bekerja. Aku butuh uang untuk makan. Ada satu pekerjaan yang kupikir tidak begitu memberatkan untuk tenagaku yang masih terbilang kecil," Jungkook lantas tersenyum tipis saat kata-kata terdengar bijak itu mengalun melalui gendang telinganya. Jiyeon dilihat dari segi manapun sudah terbiasa mandiri, dan dewasa dalam tutur kata sebelum waktunya.

Lantas Jiyeon menimpali lagi, "Mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah hal yang sulit untuk kulakukan, Paman." Maniknya kini dengan ragu mengarah pada proporsi wajah Jungkook. Seperdetik kemudian ia menunduk lagi, "Aku bekerja seperti biasa. Membersihkan rumah mereka, mencuci piring, mencuci baju, merapikan—"

"Sendirian?"

Bibir Jiyeon lantas berhenti mengeluarkan kalimatnya lantaran Jungkook menyela. Menelan kembali apa yang baru saja dirangkai dalam otak. Memusatkan atensi pada pria itu.

Jiyeon mengedip. "Ya?"

"Kau bekerja sendirian?" tanya Jungkook memperjelas.

Dengusan nafas jengah adalah balasan untuknya, sebelum disusul dengan ucapan ketus Jiyeon seperti biasa. Tanpa menatap Jungkook, Jiyeon berungkap, "Paman ini tidak mengerti, ya?" Bola matanya bergerak menghadap Jungkook agak merendah. "Sudah kukatakan sebelumnya kalau aku hidup sendirian. Tidak punya siapa-siapa," tekannya pada ucapannya sendiri. "Ya, lantas siapa lagi yang akan menemaniku bekerja? Tentu aku bekerja sendirian."

Kehilangan kata-kata yang telah dirangkai, Jungkook lebih memilih untuk membungkam belah bibirnya tanpa berucap. Kalimat itu menghantam telak dirinya tanpa sebab. Mengangguk-angguk lepas, Jungkook hanya menanggapi keketusan gadis kecilnya itu sebagai tiupan angin lepas.

Seolah teringat sesuatu, Jungkook mengedip cepat. Memperbaiki duduk lebih mendekat. Lantas bertanya dengan tone beratnya, "Lalu? Kau memutuskan untuk pergi?"

Jiyeon melirik lagi, sebelum memaku pandangan pada marmer dingin di bawah.

"Mm, aku pergi hari ini. Diam-diam dari kediaman mereka." Nadanya terdengar lirih, mengalun selembut aliran sungai yang menenangkan. "Mereka terlalu kejam untuk memperlakukan ku sebagai manusia. Aku tidak tahan, dan semakin hari mereka semakin berbahaya. Jadi, aku memutuskan untuk pergi dari sana."

"Berbahaya bagaimana?" Tampaknya Jungkook mulai tertarik dengan kehidupan penuh beban gadis kecil di depannya.

"Aku tidak bisa menjelaskannya padamu, Paman," tutur Jiyeon, vokal bicaranya masih datar. "Aku tidak mau mengingatnya lagi. Maaf."

Kemudian keheningan mengisi. Jungkook terlanjur diam. Tidak berminat bertanya lebih lanjut atau melangsungkan konversasi lebih. Binar redup sepasang manik kecoklatan itu cukup menjadi jawaban atas kebungkamannya yang tak berarti. Sebenarnya, Jungkook masih dilanda penasaran luar biasa dengan hidup Jiyeon seperti terluntang-lanting.

"Aku sangat berterima kasih karena Paman membawaku kemari," satu sentilan kata itu membawa Jungkook kembali pada alam sadarnya. Jiyeon melanjutkan lagi, "Aku pikir tadi akan mati tenggelam di dalam kegelapan malam. Dan mati membeku karena suhu rendah."

Senyum terpatri dalam gerak teratur melalui bibir Jungkook. Merasakan letupan kehangatan pada dadanya karena lantunan frasa gadis kecilnya yang terdengar merdu. Tidak ketus dan datar seperti biasa.

"Aku merasa kita memiliki kesamaan dan beberapa perbedaan." Jungkook memulai, menarik nafas panjang dan berkata lagi, "Aku memutuskan untuk membawamu kemari. Untuk mengisi kesendirianku. Sebab, kita sama-sama sendiri sebelumnya. Lalu, dipertemukan."

"Tapi, apakah Paman yakin?" Jiyeon menatap lekat bola mata bulat Jungkook. Dengan kerjapan polos pada maniknya.

"Ya?"

Mengulum bibir sejenak, lantas Jiyeon membuang pandangan detik selanjutnya. Berkata, "Apa Paman yakin untuk membawaku tinggal bersama Paman? Apa itu tidak memberatkan Paman? Hidup Paman sudah terlanjur banyak beban sedari awal, lalu Paman menambah beban lagi dengan membiarkanku bergantung pada kehidupan Paman. Apa itu tidak masalah?"

Jungkook terdiam, meresapi kalimat yang masuk. Dan itu cukup menjadi jawaban bagi Jiyeon, lantas ia mengulas senyum tipis dengan manik redupnya.

"Paman tidak perlu repot-repot untuk membantu kehidupanku lebih lanjut. Terima kasih atas—"

"Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak merasa keberatan?" Jungkook menyela cepat ucapan terima kasih Jiyeon. Sorotan tajamnya menelisik proporsi wajah gadis kecil itu. "Aku tidak keberatan. Aku tidak merasa kalau kau itu adalah beban. Jika memang beban ku semakin berat, kita berdua bersama-sama melaluinya. Dan itu akan terasa lebih mudah daripada berjuang mati-matian sendirian."

-seagulltii
02 Februari 2020

Daesyn ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang