Tidur Jiyeon yang tidak seberapa jam terusik berkat suara gemerisik memasuki sepasang rungunya. Gadis kecil itu menggeliatkan tubuh, menyipitkan manik saat bias cahaya menyerang lepas begitu terbuka. Lantas terduduk sekejap, menunggu kesadaran pulih hingga beberapa persen. Dengan netra yang sayu dan masih menahan kantuk.
Melihat Jiyeon yang sudah terduduk di atas ranjangnya, Jungkook menahan senyum. Gadis kecilnya begitu menggemaskan. Semalam mereka berdebat tiada henti, membikin suasana semakin panas lantaran menutupi suhu yang rendah.
"Sudah kubilang, kau tidur di kamarku saja. Jangan merasa sungkan, Jiyeon," Jungkook bertutur kata lembut. Sedikit jengkel dengan sifat keras kepala Jiyeon yang sulit untuk dikendalikan. "Biar aku yang tidur di luar."
"Tidak, terima kasih bantuannya, Paman. Tapi akan lebih baik jika aku tidur di luar. Karena rumah ini adalah punya, Paman," tukas Jiyeon kelewat datar. "Tidak baik rasanya jika aku sebagai tamu yang tidur di dalam kamar milik Paman."
Jungkook merasa kehabisan kata-kata hanya mendengar kalimat Jiyeon yang begitu bijak. Begitu pandai membuatnya bungkam hanya karena satu sentilan telak. Kelu, dan otak Jungkook mendadak kosong melompong. Pun binar mata Jiyeon yang redup membuatnya membeku seketika. Entah kenapa itu, Jungkook hanya merasa kejanggalan di dalamnya. Seolah manik itu tidak pernah hidup.
"Tidak. Tidak. Tidak," menggeleng tegas sembada berkacak pinggang. Jungkook memutuskan untuk tidak menghiraukan Jiyeon. Mengakhiri konversasi sepihak dan merebahkan diri di atas sofa. "Aku akan tidur disini," ujarnya tegas. Melipat sepasang lengan sebagai pengalas kepala.
Tidak ada suara apapun yang mengisi ruangan ketika Jungkook mulai memejam. Bersiap-siap menjemput alam mimpi sebab dirundung lelah. Tiada hari tanpa keluhan yang menguras energi di dalam tubuhnya.
Lantas sebelah matanya terbuka, mengangkat kepala sedikit guna memantau situasi di depan sana. Tidak ada proporsi tubuh kecil itu. Menandakan bahwa Jiyeon telah beranjak. Jungkook lekas duduk perlahan dan melangkahkan tungkai menuju kamar. Memerhatikan dari luar pintu kamar yang terbuka keadaan di dalam.
Gadis kecilnya sudah tertidur. Merebahkan diri menyamping membelakangi tempatnya berdiri. Sejemang Jungkook terdiam di atas pijakan, sebelum memutuskan untuk pergi setelah menutup daun pintu rapat-rapat dengan gerak pelan.
Entah kenapa dalam lubuk hatinya Jungkook seolah melihat dirinya yang lain dalam tubuh Jiyeon. Sikap gadis itu yang ketus, datar, dan tiada berekspresi. Pun garis wajah itu tetap kaku, tidak pernah menunjukkan senyuman sama sekali. Binar mata yang kerapkali redup menutupi cahaya indah di sana.
Barangkali Jungkook ingin melihatnya. Bagaimana sepasang manik kecoklatan cerah itu lebih memancarkan cahaya.
"Paman! Paman!!"
Panggilan itu menyentakkan Jungkook dalam lamunan. Mengerjap sejemang, dan menatap sumber suara yang kini memandanginya heran. Kendati datar, Jungkook dapat menebak Jiyeon tengah kebingungan.
"Ya?" Jungkook lantas kembali beraktivitas. "Ada apa? Apa aku membangunkan mu?"
"Iya, kegiatanmu mengusik tidurku," tidak merasa sungkan sama sekali. Nada ketus Jiyeon membuat Jungkook menahan senyum geli. Mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu, melihat itu Jiyeon bertanya lagi, "Paman mau kemana? Mau pergi?"
Lantas Jungkook mengangguk sembari memakai jaket tebalnya yang kusam, lusuh. "Ya, aku akan pergi keluar sebentar," tuturnya sambil menaikkan resleting. Mengulas senyum ketika menghadap Jiyeon. "Kau mau kubuatkan sarapan apa?"
Jiyeon terdiam, hanya mengedip teratur. Lekas ia menggeleng, "Tidak ada."
"Tidak ada?"
"Aku tidak lapar," sahut Jiyeon. Beringsut ke bawah berniat turun dari ranjang tidur. "Paman akan pergi kemana?"
"Kenapa? Kau takut tinggal sendirian?"
Menghembuskan nafas jengah miliknya, Jiyeon membuang muka. Berujar kesal, "Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, Paman." Berakhir dengan ia mendelik kesal.
Mengangguk-angguk sebentar. Jungkook berdehem, mengangkat sepasang lengannya mengudara. "Maaf kalau begitu," ia lebih memilih mengalah. Sebab, Jungkook juga mengetahui umur mereka yang cukup terpaut jauh. Tidak etis rasanya berdebat dengan anak kecil seperti Jiyeon. "Aku akan pergi mencari pekerjaan," tambahnya lanjut.
"Mencari kerja?"
"Ya. Hidup itu keras, jadi aku harus berjuang keras juga." Jungkook melirik langit-langit kamar dengan gerak mata random. "Aku juga butuh uang untuk kelangsungan hidupku, selain itu untuk dirimu."
Jiyeon tertunduk dalam. "Maaf jika aku memberatkan—"
"Hei. Hei. Hei." Jungkook memotong cepat. Mengikis jarak dengan melangkah mendekat. Memicing, menuntut Jiyeon agar tidak berkata lebih jauh lagi. "Sudah kukatakan kau sama sekali bukan beban. Jangan merasa sungkan," tukasnya sebal.
"Kalau begitu aku akan ikut membantu Paman mencari kerja—"
"Jangan. Kau dirumah saja," Jungkook lagi-lagi menyela ucapan Jiyeon dengan mutlak. Menuding gadis kecil itu di depan wajahnya. "Biarkan aku yang bekerja. Kau di rumah saja."
"Tapi, Paman—"
"Jiyeon, jangan keras kepala. Oke?" Melirik datar tempat Jiyeon berada, Jungkook lekas memutar tubuhnya. Bergerak keluar dari pintu kamar sebab berniat pergi segera. Langkahnya terhenti di ambang pintu sebelum benar-benar keluar sepenuhnya, "Aku akan segera kembali. Jaga flatku."
Blam.
Pintu kamar tertutup. Meninggalkan Jiyeon seorang diri di sana. Terdiam membatu. Dengan manik sayunya yang sama sekali tidak berubah, pun ekspresi yang tetap sama. Terkesan dingin. Bahkan lebih dingin mengalahkan es di kutub utara.
...
Tiada gencar kendati keringatnya mengucur deras. Mencoba melawan alam dan terik matahari yang membakar energi, berusaha menahan pergi. Jungkook tetap melangkah dinamis menyusuri pertokoan di tempat ia tinggal. Tidak begitu jauh dari flatnya.
Terlihat menyedihkan. Wajah menghitam dan penuh noda, peluh dimana-mana. Surai yang berantakan dan mengeluarkan bau menyengat. Kehidupannya sangat keras, dunia benar-benar menghukum entitasnya.
"Permisi." Jungkook menyapa, melihat gerangan Kakek tua berkaca mata yang mengalihkan pandangan dari guratan tulisan begitu mendengar suaranya.
Lantas Jungkook mengulas senyum ramah sebelum membungkuk dalam. "Aku butuh pekerjaan. Apa ada disini pekerjaan yang bisa kukerjakan? Apa Anda butuh seorang pegawai?"
Pria tua itu terdiam. Meletakkan buku yang semula di pegangnya sembarangan dan berjalan mendekat.
"Kau ... butuh pekerjaan?" tunjuknya.
Jungkook balas mengangguk ramah. "Ya, aku memang sedang membutuhkannya."
"Baguslah kalau begitu," angguk Kakek. "Aku butuh tenaga seorang pria yang besar disini untuk mengangkut barang-barang yang masuk ke tokoku. Kau tahu? Tenagaku yang sudah tua ini tidak ada lagi gunanya. Aku merasa sungkan saja selalu ditolong oleh orang-orang yang mengantar barang itu."
"Tidak masalah. Saya bisa melakukannya," kesenangan yang membuncah. Jungkook mencoba menikmatinya kendati sementara, sebab ia tidak tahu apa lagi ujian yang datang menerpanya.
Sudah bukan hal asing lagi bagi Jungkook dengan mudah mendapat pekerjaan. Apapun itu kendati hasilnya hanya berkecukupan. Yang terpenting ia hidup. Melawan nasib, dan mencoba mengubah takdir. Jungkook akan membuktikannya pada dunia yang kejam.
"Kalau begitu, kapan saya bisa bekerja?" tanya Jungkook. Wajahnya lebih berseri dan tidak murung seperti hari-hari sebelumnya.
"Hari ini," angguk Kakek. "Kau bisa bekerja mulai hari ini."
-seagulltii
02 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Daesyn ✓
Fiksi PenggemarDibawah sinar rembulan pertengahan malam, di selimuti gemerlap malam tak berparas. Jeon Jungkook menemukan takdir pilu yang sama dengannya. Melebihi kadar keterpurukan yang ia punya. Dan akhir hidup yang berbeda. © 2020 proudofjjkabs Started : 01 F...