1 •| Musim Semi |•

9 6 0
                                    

Letta segera menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, begitu jendela ia buka. Hamparan bunga plum yang memenuhi lereng gunung, seketika membuat kedua matanya terbuka lebar. Atasannya memang tidak salah lagi memilih negara ini sebagai salah satu cabang perusahaan.

Walaupun gembira karena bisa berkunjung ke negeri impiannya, Letta tetap saja mendengus kesal. Pasalnya, mengapa dia harus mengerjakan tugas besar ini sendirian. Sedangkan dengan dermawan yang sungguh di luar dugaan, atasannya mengajak beberapa orang perusahaan untuk berliburan. Arghh ... atasan yang sungguh egois.

***

"Aduh, maaf ya." Letta segera meminta maaf, karena tidak sengaja menabrak seseorang.

"Makanya, jalan tuh lihat-lihat!" gertak orang tersebut, sebelum melengos pergi.

Letta segera memungut berkas-berkas yang berhamburan. Dalam hati, ia terus-menerus ngedumel tentang atasan super pilih kasih itu dan mungkin, jika tadi tidak terlalu lama menikmati pemandangan, ia tidak akan menabrak orang serta terlambat meeting seperti ini.

Namun, bukan Letta namanya, jika langsung menerima kenyataan seutuhnya. Apalagi kenyataan yang dialaminya, ada sangkut-pautnya dengan si bos. Karena ....

"Arghh ... tunggu pembalasanku bos."

***

"Cukup sekian meeting hari ini," tutup pemimpin perusahaan yang kini lantainya tengah Letta pijak.

Kini sepasang pernapasannya bisa bernapas lega, meeting yang dilaluinya pun selesai juga. Letta segera mengemasi berkas perusahaan bos, kemudian pergi ke sebuah restoran.

"Mau pesan apa?" tanya kasir menggunakan bahasa Inggris begitu Letta mendekat.

"Hmm ... bolehkah aku melihat menunya?" tanya Letta sesopan mungkin.

"Tentu, ini," jawab kasir sembari memberikan buku menu.

'Hah!? Mahal sekali makanan di sini.'

Letta ingat bahwa uangnya tidak akan cukup untuk membeli makanan di tempat ini. Haruskah ia makan di rumah, saja?

'Oh iya, ini kan restoran besar. Tidak mungkin jika tak ada roti tawar dan teh hangat. Aku harus bertanya."

"Jadi?" Kasir tersebut angkat bicara, mungkin karena Letta terlalu lama berpikir.

"Apakah roti tawar dan teh hangat ada?" tanya Letta gugup sambil menunduk, entahlah pikirannya kacau untuk saat ini.

"Tentu ada." Jawaban yang memang ditunggu keluar dari mulut kasir itu membuat wajahnya sumigrah.

"Alhamdulillah. Kalau begitu saya pesan dua roti tawar dengan selai vanilla dan teh hangat," pinta Letta yang dibalas anggukan.

Sembari menunggu pesanan, Letta memainkan ponselnya. Dibukanya aplikasi whatsapp, tak lama setelah itu banyak notif muncul tal karuan.

'Woy Ta, lama amat sih di Jepang. Gue kangen nih.' Chat Iksa tiga jam yang lalu.

'Baru juga kemarin, gue nyampe. Dah kangen aja lo.'

Tak lama kemudian, pesanan yang ditunggunya pun datang. Walaupun tak mahal yang penting halal dan kenyang, batin Letta.

Saat tengah mengunyah makanan, didapati ponselnya berdering tanda pesan masuk. Dibuka lagi aplikasi hijau itu, yang ternyata balasan chat dari Iksa, sahabatnya itu.

'Hahaha ... kangen? Ya kagaklah. Gue cuma khawatir lo kenapa-napa. Btw, lagian ngapain di sana? Jalan ma cogan ya?'

'Owh ... kirain kangen lo. Tenang aja, gue bisa jaga diri kok. Nih lagi makan, cogan mulu lo.'

'Ya ... siapa tahu lo kenapa-napa gituh. Kan nggak ada yang tahu. Pasti makan di restoran kan? Biar gue tebak, hmm ... pizza?  Hehehe ....'

'Doain gue tuh ceritanya? Gue memang di restoran, makan roti tawar.'

'Santuy neng, gue bukan doain tapi ngaminin hihihi. Eh, lo makan roti tawar? Tumben amat.'

'Astogeh. Nggak tumben sih, emang selalu.'

'Ahihihi ... what, selalu? Bisa kerempeng dong prend gue.'

'Friend Sa, bukan prend. Ya mau gimana lagi, duit gue nipis nih.'

'Iye Ta ... mentang-mentang lo pinter Inggris. Ya udahlah, pinter-pinter lo ngirit di sono.'

'Okay, nanti chat lagi ya. Gue harus balik ke apartemen nih. Dah hampir sore soalnya. Bye Sa ....'

'Oke. Ya udah, sono balik. Bye ....'

Begitu suapan roti terakhir kutelan, dengan segera kuteguk segelas teh secepat mungkin. Bagaimana bisa hari sudah mau sore, padahal baru dua puluh lima menit yang lalu ia istirahat.

"Berapa?" tanya Letta.

"Rp 15.000." Begitu jawaban kasir itu meluncur, dengan segera Letta menyerahkan beberapa lembar uang.

"Thank you," ucap kasir itu yang dibalas senyuman tipis Letta sebelum pergi dan hilang di balik pintu.

***
Untuk menghormati penulis, boleh dong vote dan follow. Jangan jadi pembaca gelap ....

Kritik dan sarannya ya :)

Only MissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang