Mendaki gunung. Hal yang sudah lama tidak aku lakukan. Sudah sekitar hampir 9 tahun, aku tidak menjamah bentang alam tersebut. Hal buruk pasti yang selalu mengiang di kepalaku. Maklum, aku bukan orang yang dengan fisik cukup kuat, namun aku cukup tangguh dan mumpuni.
Tapi lelah pendakian membuatku muak terkadang. Sabtu, 16 November 2019 pukul 11.00 WIB aku mendarat di kediaman Desyah. Ah, lebih
enak kupanggil Sapong.Kukira aku telah ditunggu oleh yang lain dan siap untuk berangkat, ternyata saat tiba, baru ada 2 pemuda yang belum kukenal. Satu orang berkulit putih, sekilah mirip guru PKN sewaktu aku SMA, Pak Arif Munandar.
Satu lagi berkulit sawo matang dengan tahi lalat kecil di sebelah kiri bibirnya yang menambah manis tatkala ia tersenyum meringis. Kami bertiga berbincang seadanya tanpa mengetahui nama kami satu sama lain. Hanya imbuhan ‘Bang’ mempererat kami dalam bertegur sapa.
Waktu berjalan, satu per satu orang datang ke rumah Sapong. Orang selanjutnya setelah diriku yaitu Obiana, dipanggil Obi. Melalui pesan WA, Sapong menceritakan kisah kelam Obi yang batal menikah. Hal pertama yang kulakukan yaitu mengucapkan bela sungkawa dibalut tawa di akhir. Tawa apa yang kami tebar? Sebuah tawa karena tidak percaya diriku akan tampilan fisik diri Obi saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kuta Bukan Bali
AdventureKUTA BUKAN BALI Sebuah memoriam berupa tulisan sebagai sebuah diary. Berawal dari chat WA kawan lamaku bernama Desyah Akbar. Kawan yang kukenal sejak 2010 karena kami bercokol pada satu ektrakulikuler yang sama. Obrolan singkat mengenang masa lalu...