Seperti biasa setiap kamis sore, aku menapakkan kaki, langkah demi langkah menuju ke tempat ayah. Meski perjalanan cukup jauh dan kini sudah ada sepeda motor, aku sudah terbiasa untuk berjalan kaki. Dengan menenteng sekantong bunga, aku menembus pekatnya kabut sore melewati perkebunan milik pemerintah setempat.
Sepanjang perjalanan, aku memikirkan suatu hal yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku. Inginku berdiskusi dengan ayah perihal masalah ini—walaupun setiap Kamis aku kerap berbicara dengannya—tetapi pada kenyataannya dia tak pernah menjawab.
Tiba tiba, langkahku terhenti, aku merasa seseorang turut mengikuti setiap langkahku tadi. Bulu kudukku berdiri. Dengan acuh tak acuh aku berjalan kembali karena tempat ayah telah tampak.
saat aku tiba, aku hanya terdiam membisu. Tak mampu untuk berbicara seperti kamis kamis sebelumnya. Ingin rasanya melontarkan semua gejolak yang ada tapi aku tak sanggup.
Lima menit termenung, sampai seseorang menyentuh pundakku. "Kau tak berbicara sepatah kata pun seperti biasanya," katanya, membuatku menoleh. Oh, ternyata paman.
"aku sedang memikirkan suatu hal, Paman," ujarku. Awalnya aku berniat untuk berdusta. Tapi aku tak suka melakukan perbuatan tercela di depan ayah.
"apakah tawaran itu?" Tanyanya tepat sasaran. Aku tak berkutik. "Terima saja, nak, kita tak mampu menghidupimu disana." Kata kata itu menghantuiku.
Pasalnya, tawaran itu memang menggiurkan. Siapa yang tak mau menimba ilmu di negeri sebrang? Tak dipungut biaya pula. Aku pun tergiur. Memikirkan kesenangan di negeri nan jauh disana saja, otakku tak sampai. Tanpa terasa, aku tersenyum memikirkannya.
'Tidak! Ini tak dapat dilanjutkan,' batinku berteriak. Senyumku hilang dan rahangku mengeras. Aku tak bergeming menatap nama ayah. Mengabaikan wajah bimbang paman yang melihat perubahan ekspresiku dengan heran. Lantas, semua celoteh ayah di masa lalu berputar di kepalaku. Aku sudah bertekad kuat untuk menolak tawarannya.
"Tidak paman, sampai kapanpun aku tak akan pergi. Persyaratannya tidaklah mudah. Aku harus bekerja disana. Aku bisa saja tak bisa pulang dan pada akhirnya menjadi warga negara disana. Itu tak bisa terjadi paman," ucapku. Sudah bulat aku memutuskan ini semua.
"Nak, tak apa bilamana kau tak bisa pulang. Kau akan hidup makmur disana. Apa kau sudah memikirkannya matang matang?" Tanya paman sembari memegang tanganku. Perlahan aku meragukan apakah dia memang pamanku atau tidak. Sifatnya dan ayah sangat jauh berbeda.
"Ya, aku sudah bulat paman. Jika aku memutuskan untuk pergi, mau ditaruh mana wajahku dihadapan ayah kelak? Asal paman tau, ayah pernah berujar padaku bahwa aku lahir di tanah merah ini maka aku pula harus mengabdi di tanah merah ini," ucapku tanpa ragu. Aku merasa ayah tersenyum disana mendengar perkataanku.
"Ya sudah kalau begitu, akan kusampaikan pada meijen keputusanmu," setelah itu paman pulang meninggalkanku bersama ayah.
Aku terduduk memegang batu bertuliskan nama ayah. Aku rindu padanya. Namun, aku belum siap bertemu dengannya. Aku belum menunaikan janjiku. Janji untuk mengubah negeri ini. "Tunggu beberapa saat lagi ayah, demi memakmurkan negeri, tak perlu ku mencari emas di negeri sebrang. Aku bisa menggali sendiri disini. Benar kan ayah?"
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tawaran
Short Story"Untuk memakmurkan negeri ini, tidak perlu ku cari emas di negeri sebrang. Aku bisa menggalinya sendiri disini. Benar kan, Ayah?" 🌠Nasionalisme Cerita pendek untuk memperingati Hari Bahasa Nasional