“I would know him by touch alone, by smell; I would know him blind, by the way his breaths came and his feet struck the earth. I would know him in death, at the end of the world.”
The Song of Achilles, Madeline Miller
…..
Musim gugur, 1948
Kau berdiri mematung di teras kamar tidur bergaya baratmu, seperti hari-hari sebelumnya, kau hanya mengenakan sebuah kemeja sutra berwarna putih dengan bawahan berpotongan pinggang tinggi, memperlihatkan betapa rampingnya dirimu. Kau tak menyukai penampilan seperti itu, namun dia menyukainya, dan pelayan hanya menyediakan hal yang sama.
Memandang di kejauhan, daun-daun pepohonan mulai berubah warna kemerahan; sebagian telah jatuh mengotori halaman. Angin musim gugur bertiup perlahan, menggoyangkan gorden tipis di belakangmu, kau sedikit gemetar, namun kau bahkan tak repot untuk meninggalkan tempatmu berpijak. Kau terlalu sibuk mengira-ngira seperti apa dunia luar; bertanya-tanya apakah suasana perang masih memanas? Bagaimana kabar keluarga dan teman-temanmu, bagaimana rasanya bisa berbaur lagi, bagaimana, bagaimana dan bagaimana terus saja berputar-putar di benakmu.
Kau ingat dulu jauh sebelum bertemu dengannya pernah memiliki kehidupan yang cukup menyenangkan, kau di cintai dan di kagumi banyak orang, seorang biksu bahkan mengatakan pada ibumu ketika kau masih dalam kandungan, kelak kau akan menjadi pemenang di puncak dunia, kau di takdirkan seperti burung, terbang bebas mengepakan sayap kemana angin membawamu.
Tapi lihat sekarang, sayapmu telah di patahkannya, dia pernah mengatakan tanpa sayap pun kau juga begitu indah di matanya, jadi dia merenggutnya tanpa kau bisa mencegahnya.
Sering kali kau bertanya-tanya bagaimana ini awalnya?
Ah benar!
Kau ingat dia adalah salah satu dari sekian banyak prajurit muda malam itu yang menonton pertunjukanmu. Kau ingat bagaimana wajahnya ketika ia dengan malu-malu menemuimu di belakang panggung, membawa rangkaian bunga dengan pita hijau, sebagai perkenalan untukmu.
Kau tersenyum seperti biasanya, menerima rangkaian bunga dengan ucapan terima kasih, dan dia yang berusaha beraksi seakan tak peduli. Menurutmu dia cukup manis, dan melihat dari fitur wajahnya, dia terlihat sangat muda, jadi kau menepuk kepalanya dengan pelan sambil menjanjikan pertemuan berikutnya.
Yang kau tidak tahu adalah betapa ekspresi kekanak-kanakannya berubah begitu cepat ketika kau membalikan punggung, berlalu darinya. Wajah itu berubah datar, dan matanya menatap punggungmu tajam, tangan mengepal penuh tekat.
Ya, ujarnya, sampai jumpa di waktu berikutnya dan berikutnya.
Kau berjengit ketika merasakan sebuah lengan melingkari pinggangmu, berusaha untuk tidak bergetar dan mendorongnya menjauh, dia tertawa, suaranya dalam, bertanya apa yang kau pikirkan hingga tak menyadari kedatangannya.
Tanganmu mengepal di kedua sisi tubuhmu, hingga perlahan kau mengangkat salah satu dari mereka; menempatkannya di atas sepasang lengan yang memeluk pinggangmu, menepuknya lembut sambil mengatakan kau hanya melamun.
Dia hanya mendengus mendengar jawabanmu, dan melanjutkan memelukmu semakin erat, dia menyandarkan dagunya di bahumu, terkadang dia akan mengecup leher jenjangmu, membisikan hari-harinya dengan nada mengeluh, lalu kau akan dengan alami menepuk kepalanya seakan menenangkan.
Kau dan dia tahu jawaban sebenarnya, namun kalian lebih dari tahu jika itu adalah tabu.
Dia melepaskan pelukannya padamu, menarikmu masuk, di dalam lebih hangat ujarnya. Kau enggan, bahkan terlintas untuk melompati balkon, kau tidak peduli jika kau mematahkan lehermu dalam prosesnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Script of BJYX
FanfictionWang Yibo dan Xiao Zhan dalam berbagai peran. Berisi fanfiksi panjang dan pendek WangXiao, Setiap bab tidak memiliki hubungan sama sekali.