Penulis Hebat Itu Ya Kamu!

16 0 0
                                    

Aku masih termenung di depan laptop kesayangan yang setia membuatku terjaga sepanjang malam. Aku kembali menghela napas panjang dan menyugar rambutku frustasi. Ini sudah hampir dua hari lamanya namun karya yang baru saja aku publikasikan tidak menujukkan adanya kehidupan. Lihatlah, sampai saat ini belum ada yang berminat untuk membaca karyaku. Oh ayolah, apa memang sesulit ini mencari pembaca setia? Aku cukup lelah untuk menelan kembali harapan semu yang tak pernah kutemui.

Demi menjemput rasa kantukku, aku mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang. Biasanya, seusai terkena radiasi cahaya dari ponsel rasa kantukku selalu hadir. Aku membuka laman Instagram mencari tahu keadaan dunia saat ini melalui aktivitas orang-orang yang aku ikuti. Tiba-tiba rasa kantukku meluap begitu saja saat melihat posting-an milik teman lamaku.

Yeay! Big thanks for the six thousand readers! I'm so excited for this!

Seperti itulah caption yang terpampang. Entahlah, aku harus ikut bahagia atas pencapaiannya atau malah meratapi nasib sendiri karena tak bisa sepertinya. Bodoh, aku selalu merasa iri hanya karena melihat kesuksesan seseorang. Tapi jika boleh jujur, aku ingin sekali memiliki pembaca setia sebanyak dan seantusias itu. Apa boleh buat? Jangankan pembaca setia, pembaca yang hanya sekadar mampir saja tidak ada. Nasib.

Aku kapan bisa kayak April?

Ayah menepuk pundakku pelan. Jangan lupakan senyuman hangatnya itu senantiasa membingkai wajahnya yang masih tampan nan rupawan. Aku tertawa kecil ketika tangan kekarnya mengusap pelan pucuk kepalaku dengan sayang. Sesaat ia melirik laptopku yang belum sempat aku tutup. Seakan mengerti dengan apa yang baru saja terjadi pada putrinya ini ia kembali mengulas senyumn hangatnya.

"Sampai kapan kamu mau bebanin pikiran dengan mikirin pembaca ceritamu, Nak? Sudah, tidak apa-apa. Bukan berarti karyamu nggak bagus, kan?" tuturnya yang bukan baru sekali dua kali saja ia melihatku seperti ini.

"Karya aku sama sekali nggak ada yang baca. Beda sama April yang pembacanya mebludak setiap harinya." sergahku menatap nanar laptop yang sudah tertutup.

Ayah menautkan rambutku yang nakal ke daun telinga sesekali mengecup pelan pucuk kepalaku. Sepertinya ayah kecewa dengan sikapku yang selalu sepesimis dan perasaan iri yang tak luput menghiasi hari-hariku. Apa salah menginginkan hal yang sama seperti orang lain? Terlebih itu adalah sebuah kesuksesan.

"Nak, tujuan kamu menulis itu untuk apa?" tanya ayah mengambil kursi meja rias dan memutar tubuhku agar bisa berhadapan dan menatap mata hitam pekatnya.

Aku membasahi bibir bawah dan mengigitnya pelan, "Menulis itu hobby aku, Yah. Bahkan ayah tahu itu, dari dulu aku suka banget menulis. Tujuan aku .. Pengin jadi penulis yang bisa nerbitin buku best seller, terkenal, dapat royalti, dan bisa banggain ayah tentunya."

Ayah menggeleng pelan mendengar jawabanku. Aku hanya diam menunggu ayah kembali bersuara. Bukannya bersuara ayah malah mengambil notes dari meja belajar lalu penanya menari di atasnya. Ia sedang menuliskan sesuatu untukku. Perasaanku menjadi tak keruan saja. Apa yang sebenarnya ayah tulis? Mengapa tak dibicarakan saja? Aku harus tenang.

"Ini, ayah kembali ke kamar. Jangan tidur terlalu larut lagi, Nak," pamitnya lalu berlalu menggapai kamarnya yang berada di lantai satu.

Mataku mulai bergerak membaca kalimat demi kalimat yang ayah tulis.

Rezeki setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Rezeki orang lain dan rezekimu itu mustahil sama. Kamu hanya perlu meyakinkan kembali pada dirimu tentang apa yang harus kamu jalani. Tidak ada yang bilang bahwa menulis itu mudah. Ada tantangan tersendiri yang terkadang membuat orang-orang takut untuk bermimpi menjadi seorang penulis. Mulai dari sekarang kamu harus bisa tanamkan dalam diri kamu bahwa kamu menulis untuk menyimpan peradaban pada suatu hari nanti. Bukan hanya sekadar ingin mendapatkan pembaca yang membludak seperti yang kau bilang. Teruskan menulis, jangan pusingkan angka pembaca yang hanya bisa dihitung dengan jari. Kamu itu berharga, Sayang. Kamu itu penulis terhebat yang ayah miliki. Dan ingat, semua itu butuh proses. Kamu belum merasakan semua prosesnya. Tetap semangat berkarya, Sayang. Ayah selalu doakan yang terbaik buat kamu.

Aku meremas pelan kertas yang tulisannya sudah tak terbentuk karena tangisanku yang jatuh. Aku terisak begitu saja saat membaca tulisan tangan ayahku yang rapih dan indah itu. Makna yang terkandung di dalamnya benar-benar membuat diriku tersentil. Seharusnya, aku tak perlu menyimpan perasaan iri pada orang lain. Allah juga tak akan menukar rezeki para hamba-Nya. Akan tiba saatnya kebahagiaan itu juga hinggap dalam hidupku.

Aku menyadari kebodohanku selama ini. Sudah banyak hal yang membuat hatiku mengerling sakit hanya karena perasaan tak senang dengan pencapaian seseorang. Sudah beribu kali aku menyalahkan takdir yang tak pernah berpihak padaku. Aku merasa sangat kecewa pada diriku sendiri. Aku sama sekali tak percaya dengan kemampuan yang aku miliki. Aku melakukan kesalahan lagi.

"Aku harus belajar berdamai dengan diriku sendiri. Kalau mereka bisa kenapa aku nggak? Aku pasti bisa." ucapku bermonolog dan lantas merapihkan buku-buku ke dalam ranselku. Menyimpan kembali laptop hadiah dari ayah itu pada tempat semula.

Aku bergegas membersihkan diri sebelum tidur. Seperti biasanya, memang sudah menjadi suatu hal yang mesti dilakukan sebelum menyelami mimpi yaitu menggosok gigi dan berwudhu. Dari kecil ayah selalu menanamkan tindakan baik ini hingga kini menjadi sebuah kebiasaan yang tak dapat dihindari.

Aku merangkak naik ke ranjang seraya menarik selimut tebal yang akan melindungi  tubuh mungilku dari dinginnya malam. Kebetulan, malam ini hujan tengah mempunyai itikad baik untuk mengguyur sawah para petani yang hampir tandus dan kekeringan. Semesta tengah berbaik hati pada kami rupanya.

Bibir mungilku komat-kamit melantunkan doa sebelum tidur yang sudah aku hafal sejak menginjak usia lima tahun. Benar, ayah memang sosok religius yang tekun dengan pembawaannya yang tenang. Ia juga pernah menjadi guru ngaji saat masih remaja di kampung halamannya. Aku merasa sangat beruntung.

Begitu banyak pelajaran yang baru saja aku ambil hari ini. Perihal tujuan hidup yang akan aku jalani kedepannya. Lagi, aku mendapatkan wejangan khas itu dari ayah tercintaku. Sosok yang tak henti-hentinya menunjukkan keajaiban pada setiap lembaran hidupku. Sosok yang sangat ingin aku berikan kebahagaiaan suatu hari nanti dengan pencapaian dari sosok putri kecilnya ini.

Menulis untuk diri sendiri dan bentuk wujud ketertarikan akan dunia kepenulisan. Bukan semata-mata ingin mencari atensi apalagi sensasi publik yang tengah hingar bingarnya mengidolakan penulis acungan jempolnya. Memang ada, keinginan itu naluri dari para penulis pemula seperti diriku. Siapa pula yang tak ingin memiliki pembaca setia yang bejibun? Bohong, jika aku tak ingin hal itu juga terjadi padaku.

Tapi aku sadar, memusingkan angka pembaca hanya akan membuat diriku lelah sendiri dengan keadaan. Sikap pesimis pun menjadi sisi negatif yang selalu aku miliki. Karena apa? Hanya karena memusingkan angka pembaca yang tak kunjung hadir dalam karyaku. Aku merasa menyesal karena telah menyiksa diriku sendiri dengan sikapku yang selalu overthinking seperti itu.

Mulai sekarang aku harus lebih fokus pada tujuanku yang sebenarnya. Melanjutkan  menulis dengan terus mempelajari dan terjun langsung pada bidang tersebut. Memahami dan sering berdiskusi dengan para penulis berpengalaman. Mengikuti berbagai kegiatan kepenulisan untuk memupuk bakat tulisku dengan orang-orang hebat.

Tak ada waktu lagi untuk memusingkan angka pembaca. Aku harus bangkit dan membuktikannya sendiri bahwa aku bisa seperti mereka. Aku bisa menjadi penulis hebat seperti yang  ayah katakan. Aku akan membuat ayah mengulas senyum hangatnya atas pencapaianku suatu saat nanti.

Aku adalah penulis hebat untuk diriku sendiri.

***

Nasyid Syidah's story in your area!

Doain ya manteman, ini cerpen yang akan aku ikutin untuk antalogi di kelas menulis. Semoga diacc gitu kan haha.

Oke babay,

Tbc🥀

One Shoot StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang