"Kak, maaf. Memang aku tidak bisa menepati sebuah janji. Tapi pergi untuk mencari sebuah ilmu bukankah itu sebuah kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan?." Ia hanya bisa menunduk. Tak berani menatap orang yang ada di depannya.
"El, aku ga pernah marah sama keputusan kamu untuk pergi. Itu juga hak kamu untuk mau lanjut kemana. Aku cuma pengen kamu ingat satu hal. Kayak yang kamu bilang dulu, bahwa jangan pernah menyesali keputusan apapun yang telah kamu buat. Kalau kamu kecewa sama itu jangan terlarut-larut dalam kekecewaan. Tapi bangkit. Terus bangkit sampai kekecewaan itu malu sama diri kamu. Aku berharap kamu ga ngalami itu semua. Toh aku pun juga ga bisa maksa kamu buat bertahan."
Seolah tahu keadaan, angin di pantai bergerak dengan lambat. Derai ombak yang mendayu, dengan langit yang mendung. 'Tak ada yang berani berbicara lagi. Semuanya terdiam, bergelut dengan pemikiran nya masing-masing. Menyusun kalimat-kalimat yang mungkin akan menjadi percakapan terakhir untuk mereka. Memang waktu selalu kejam, untuk perantara yang takkan tersampaikan. Menerkam diam-diam lalu membunuhnya perlahan. Waktu. Iya waktu.
"Kak Ar.." Sungguh dia tak sanggup lagi untuk berbicara. Semua peristiwa yang dialaminya. Semua sengsara dan bahagianya selama ini seolah berputar-putar di otaknya. Dia sudah tidak bisa lagi berfikir. Pandangannya sedikit berkabut dan berkunang-kunang.
"Camellia. Aku.. El kamu.. Kamu kenapa.. Bangun. Tolong.. Ellll.."
Sungguh tidak ada yang tahu takdir seperti apa yang akan dilalui oleh setiap insan. Manusia selalu datang dan pergi. Begitu pula dengan waktu, yang akan senantiasa bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
CamRayn
Teen FictionSekarang. Di dunia yang serba modern. Krisis identitas yang merajalela. Gengsi dan eksistensi yang menjadi keharusan. Semua itu salah. Salah. Padahal hidup itu ga cuma masalah filantropi, apatis maupun intelektual. Tetapi juga tentang memanusiakan m...