Naruto

1.7K 162 48
                                    

Hari itu ... kupikir dia bunuh diri.

"... aku ingin berbicara denganmu ... berjalan di sampingmu ... aku ingin bersamamu. Kau yang telah mengubahku, senyummu menyelamatkanku. Jadi aku tidak takut mati melindungimu. Karena aku ... mencintaimu."

Tak terbayang seorang yang cerdas akan menyatakan perasaannya kepada orang bodoh.

Ketika dia kembali menyerang Pein dan tubuhnya terpental, kupikir malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di sana siap menghunuskan tombaknya.

Dia seorang yang pintar dan menjadi bodoh.

Untuk apa melakukan hal berbahaya seperti itu?

Hinata melihat yang seharusnya ia abaikan. Tuli dari hal yang harusnya ia dengar. Jika saat itu dia mati, dia pikir akan sejauh apa aku bisa memaafkan diriku sendiri?

Aku suka dengan caranya yang mengejutkan, tetapi konfensi itu cukup sekali dan tak pernah diulanginya.

Jujur aku ragu, Hinata.

Kelas bangsawan bercinta dengan kasta biasa? Bukankah terdengar seperti dongeng tidur yang fana?

Jika aku yang harus bergerak untuk memulai, apakah orang sepertiku akan diterima oleh Hyuuga?

Paman Hiashi kuyakin bukanlah pria yang suka cerita kepahlawanan.

.

.

.

"Apakah memandang dari jauh sudah cukup?"

Suara Shikamaru seperti ombak yang menggulung lamunanku. Menghentak cukup keras.

Dengan tangan bertopang dagu dia menatapku seraya menaik-naikkan sebelah alisnya. Sangat menyebalkan. Aku paham betul arti tampang menyepelekan itu.

"Kau pasti tidak berani mendekatinya, 'kan? Huh, miris. Hinata bukan tipe agresif seperti Sakura yang berteriak Sasuke ... Sasuke ... saat pria itu muncul," ucapnya menjeda. Entahlah, sejak hubungannya dengan Temari maju satu langkah, Shikamaru mulai bertingkah seperti motivator cinta yang tahu segalanya.

"Hinata tipe yang tenang dan pintar menyimpan sesuatu." Imbuh pria itu.

Aku menghela napas. Mengosongkan paru-paru dan mengisinya dengan oksigen baru.

Desir hawa musim dingin menyentuh epidermisku. Membuat bulu tanganku sesaat berdiri sebelum aku mengusapnya.

Dari sini—atap akademi, netraku sedetik pun tak beralih dari gadis berambut gelap di bawah sana. Aku sudah seperti Mitsuhide yang diam-diam mengamati Oichi. Mencuri senyumannya dengan mataku yang tak tahu diri.

Dia bersama anak-anak tengah mempraktikan cara memegang kunai dengan benar agar tak melukai tangan. Wajahnya yang ceria memperlihatkan bila Hinata begitu menikmatinya.

Yah, dalam satu Minggu kami mendapat tiga kali kelas mengajar genin baru. Sistim rolling dan diacak. Tidak ada tim tujuh, lima, empat, atau berapa pun. Kami bergerak sesuai arahan Hokage Keenam.

"Cepat hampiri dia!" Shikamaru menepuk bahuku. Mendorong-dorongku seolah aku harus lompat dari atap sekarang juga.

"Ayolaahh!"

Apa dia tidak mengerti bila suara jantungku seperti kavaleri yang hendak berperang? Gemuruh di hatiku tak dapat kuredakan. Semakin aku tekan, perasaan ini justru meluap.

Saigo no Yuki [HIATUS] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang