A Real Fairytale

766 6 3
                                    

PROLOGUE

SMA itu seperti fairytale. Itu menurutku sih. Tapi serius! Fresh start, naksir kakak kelas, teman-teman baru, highschool drama... Just what I need.

Aku tadinya berencana melenggang melalui gerbang Baccalaurate High School dengan headset yang menyanyikan Into The New World-nya Girls' Generation ke telingaku. Cocok sekali bukan? Into The New World, into the high school world.

Aku dan sahabat-sahabat terdekatku, Bella, Alice, Rika, Iru dan Aira sudah lulus tes awal masuk Baccalaurate Academy. Tinggal menunggu hasil ujian nasional, memberikan kopian ijazah yang sudah dilegalisir dan aku akan hidup bahagia di Bacc. Maksudku, semua temanku masuk Bacc, tentu mudah sekali beradaptasi bukan? Jadi anak eksis pun akan semudah membalikkan tangan. Tiga tahunku di SMA akan menjadi tiga tahun terindah yang dipenuhi tawa, keceriaan, party sampai larut malam, pesta menginap dan petualangan! Benar-benar seperti fairytale!

Tadinya aku berpendapat seperti itu, sampai hasil ujian nasional diumumkan. Nilaiku selisih sedikit sekali dengan persyaratan minimum untuk masuk Bacc, namun cukup untuk masuk sekolah kedua terbaik.

Princeton High School.

Sekolah supermewah yang dipenuhi berbagai kasus, tawuran, bullying, dan senioritas yang di luar batas kewajaran. Sekolah dimana senior adalah pemegang kekuasaan, pembuat hukum dan pengeksekusi. Sekolah para anak eksis. Sekolah artis. Sekolah untuk murid yang punya tingkat intelegensia, uang dan gaya yang sama tinggi...

Semua teman dekatku diterima di Baccalaurate High School, sekolah yang kuidam-idamkan. Teman-teman SMP-ku yang masuk Princeton adalah anak-anak eksis yang aku pribadi tidak suka dengan mereka dan mereka juga tidak menyukaiku. Teman baru? Anak pemalu sepertiku, mana bisa berteman? Jangankan berteman, bertahan hidup saja sulit. Aku juga bukan anak orang kaya, jelas itu sama-sekali tidak akan membantuku di sekolah seperti ini. Aku suka K-Pop, dan dulu di SMP itu dianggap alay. Bagaimana kalau aku dianggap alay? Bagaimana kalau aku dikucilkan? Bagaimana kalau aku dilabrak? Tidak mungkin aku hadapi sendiri. Bagaimana kalau aku....

Benakku penuh pertanyaan tak terjawab...

Dan bahkan saat menandatangani lembar terakhir formulir penerimaan murid baru pun, aku masih bertanya-tanya...

Apa aku sudah kehilangan kewarasanku, sampai berani mendaftar ke sekolah ini?

Mungkin, memang fairytale itu bukan cerita tentang kebahagiaan, namun cerita tentang bagaimana meraih kebahagiaan itu sendiri...

A Real FairytaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang